`Kuasai` Tanah Pura Berujung di Pengadilan

id Pura Ibu

`Kuasai` Tanah Pura Berujung di Pengadilan

Pura Ibu di Dusun Lamper (Ist)

Bagaimana nanti kami bersembahyang, kalau kepemilikan pura atas nama pribadi?
Sorot matanya terlihat menyirat kuat, memancarkan tekad bergelora yang tak henti memercik di relung hatinya demi memperjuangkan tanah pura leluhur, yang kini direnggut seseorang.

"Tanah itu merupakan kawasan Pura Ibu, terletak di Dusun Lamper, Desa Jagaraga, Koripan, Kabupaten Lombok Barat. Luasnya sekitar 902 meter persegi," ujar Wayan Suena menuturkan kisahnya.

Pria yang membuka usaha travel di Bali ini melanjutkan, tanah yang menjadi objek sengketa itu pada mulanya milik Ni Komang Retu, yang diperoleh dari leluhurnya bernama Ketut Onceng.

Semasa hidupnya, Retu tidak menikah dan memilih mengasuh seorang anak, Komang Rusta, untuk menemani hidupnya.

Seiring perjalanan waktu, akhirnya pada April 2013 lalu, Retu meninggal dunia. Di sinilah akhirnya terungkap, bahwa 10 lahan milik Retu, telah disertifikatkan atas nama Rusta, termasuk tanah di wilayah Pura Ibu.

Kontan saja, 10 keponakan Retu mempertanyakan keabsahan sertifikat itu. Hal ini disebabkan Rusta yang bukan pewaris langsung dari Retu,  tapi mengapa bisa mendapatkan seluruh hak waris atas tanah leluhur itu.

"Sebenarnya, yang sangat kami sesalkan, mengapa tanah Pura Ibu ini bisa disertifikatkan atas nama pribadi. Tanah ini merupakan milik bersama, milik umat Hindu. Bagaimana nanti kami bersembahyang, kalau kepemilikan pura atas nama pribadi?" kata Suena, yang merupakan salah seorang cucu dari Retu.

Setelah berunding dengan seluruh keluarga besar, ujar Suena, akhirnya mereka memutuskan untuk menggugat Rusta, dengan dasar gugatan karena telah menguasai lahan Pura Ibu, padahal dia bukan ahli waris langsung dari seluruh harta peninggalan Retu.

"Kami menggugat, juga dengan tujuan untuk mencegah dan meredam emosi massa, karena sebelumnya puluhan warga tersulut emosinya begitu mengetahui lahan pura malah disertifikatkan atas nama pribadi, yakni Rusta," katanya.

Suena meneruskan, delapan di antara 10 keponakan Retu yang sesungguhnya ahli waris, adalah pria yang tidak menguasai baca tulis, sehingga Rusta leluasa melancarkan aksinya dalam `menguasai` tanah itu.


        10 Lahan

Penasihat hukum penggugat Ida Made Santi Adnya SH MH menyebutkan, Rusta sudah resmi menjadi tergugat di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat, dengan nomor gugatan 127/PDT.G/2013/PN.MTR.

Ida Made Santi Adnya mengaku tidak habis mempertanyakan selama ini, mengapa bisa terbit sertifikat pada 10 bidang lahan milik Retu, sedang Rusta sama sekali bukan termasuk ahli warisnya, dan  belakangan malah mengklaim sebagai pewaris tunggal.

"Kuat dugaan tergugat ini memalsukan silsilah keluarga, hingga bisa merampas hak orang lain. Pewaris yang sebenarnya adalah 10 orang keponakan Retu, karena selama hidupnya Retu tidak menikah dan tidak memiliki keturunan sendiri," ujar Adnya.

Terkait tanah di wilayah Pura Ibu, dia menjelaskan, tanah itu disertifikatkan Rusta dengan nomor: 104. "Sebelumnya, tanah itu juga telah disertifikatkan Retu dengan nomor: 164," kata dia.

Dia meneruskan, Rusta selama ini mengklaim kalau bidang 10 tanah itu didapatkan secara hibah dari Retu, termasuk tanah di wilayah Pura Ibu.

"Kami sudah memblokir 10 lahan yang telah diklaim Rusta itu ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Barat, dengan harapan agar sertifikat tidak dapat dikeluarkan lagi," tuturnya.

Selain memblokir, kata Adnya, pihaknya juga telah mengajukan sita jaminan ke PN Mataram dan kasusnya pun masih bergulir di ranah peradilan.


        Terlambat Menuntut

Berbeda dengan Adnya, Kepala Dusun Lamper Komang Katon mengatakan tidak habis pikir mengapa masalah tanah dengan tergugat Rusta tidak kunjung terselesaikan.

"Setahu saya, dulu sekitar tahun 1985 tanah itu sudah dipermasalahkan, dan sudah dimenangkan Rusta di pengadilan," kata Katon.

Dia berujar, sebenarnya pihaknya mempertanyakan, kenapa setelah Retu meninggal dunia malah kembali muncul gugatan terhadap Rusta. Jika menuntut hak, mestinya sewaktu Retu masih hidup, agar tidak terlambat, katanya dengan nada menyesalkan.

Menurut Katon, kepemilikan sertifikat atas nama Rusta itu sama sekali tidak mencurigakan, karena di dalamnya telah ada keterangan saksi dari kepala dusun, kepala desa dan pekasih, yang menjabat saat itu.

"Sama sekali tidak ada keanehan, apalagi sepengetahuan saya, sejak kecil Rusta tinggal bersama Retu di lahan yang menjadi objek sengketa itu," kata Katon, menerangkan.

Perihal kepemilikan lahan itu oleh Rusta, kata dia, karena memperolehnya secara hibah dari Retu. "Tidak aneh kalau Rusta memperoleh lahan secara hibah, karena sejak kecil memang Rusta tinggal dengan Retu. Jadi apanya yang aneh kalau kemudian Retu menghibahkan tanahnya kepada Rusta?," ujarnya balik bertanya.

Menanggapi hal itu, Adnya menyatakan, justu aneh kalau Rusta mendapat hibah dari Retu, dikarenakan Rusta bukan pewaris langsung dari Retu.

"Kami heran, bukan pewaris langsung mengapa Rusta bisa mendapatkan sertifikat atas sepuluh bidang tanah milik Retu tersebut?" kata Adnya, seraya menambahkan, kuat dugaan Rusta telah memalsukan silsilah keluarga.

Berkaitan dengan perbuatan orang yang mengaku pewaris tunggal dari tanah milik leluhur Retu itulah, kata dia, pihak penggugat juga sudah melaporkan Rusta selaku orang yang telah melakukan tindak penggelapan dan pemalsuan.

Mereka yang bertindak selaku penggugat tercatat atas nama Made Selopog, Made Saka, Ketut Japa, Gede Suta, Wayan Kerenceng, Ketut Lulut, Made Bagiana, Wayan Sudana dan Komang Gumbreg, yang seluruhnya adalah keponakan Retu berdasarkan garis purusa (patrilinear).

*) Penulis buku dan artikel