Gonjang Ganjing Pengusaha Lingkar Tambang Sumbawa Barat

id Pengusaha Sumbawa

Gonjang Ganjing Pengusaha Lingkar Tambang Sumbawa Barat

Suasana area lingkar tambang menjadi lengang karena sebagian karyawan PT NNT sudah dirumahkan (Suhaedi)

Pemerintah pusat sebaiknya memperhatikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari adanya operasi tambang Newmont ini. Saya yakin maksud pemerintah baik, tapi tidak harus dengan memiskinkan rakyatnya
Pemberlakuan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) beserta Peraturan Pemerintah (PP) No 1 tahun 2014 sebagai aturan pelaksanaannya bagai mendung hitam tebal bagi sejumlah pengusaha di wilayah lingkar tambang Sumbawa Barat.

"Bagaimana tidak mendung tebal, jika aturan pelaksanaannya disertai adanya kebijakan bea keluar ekspor secara progresif, tentu akan menjadi pemicu perusahaan tambang merumahkan sebagian besar karyawannya," kata Direktur PT Gita Usaha Mandiri (PT GUM) H Abdul Gani Idang, salah seorang pengusaha jasa transportasi di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan nada lesu.

Akibatnya, karyawan PT NNT yang sudah mendapat surat pemutusan kontrak kerja, kini mulai angkat kaki dari Sumbawa Barat. Situasi di wilayah pertambangan menjadi lengang.

"Karyawan yang sudah dirumahkan perusahaan, otomatis pergi meninggalkan Sumbawa Barat. Dan kalau Newmont benar-benar menghentikan kegiatan operasi, saya rasanya tidak punya masa depan lagi," ujar Gani.

Menurut dia, pernyataan itu dilandasi alasan kuat, sebab modal yang digunakan untuk membiayai bisnisnya di bidang jasa transportasi itu didapatkan dari pinjaman bank, yang nilainya mencapai Rp25 miliar.

Pinjaman itu digunakan sebagai uang muka untuk membeli sebanyak 20 unit bus dan 11 unit kendaraan roda empat lainnya. Kendaraan-kendaraan itu dipakai untuk jasa transportasi bagi karyawan PTNNT.

"Dari 20 unit bis yang saya miliki, hanya dua unit yang dioperasikan. Sisanya diparkir tanpa ada kejelasan kapan dioperasikan. Mau tidak mau akhirnya perusahaan pun harus `memarkirkan` karyawan yang berjumlah sekitar 400 orang," kata lelaki yang merupakan warga Sekongkang, Sumbawa Barat itu.

Dia melanjutkan, sejak kontrak perusahaannya diputus PT NNT, dirinya tak mampu lagi membayar cicilan kendaraan beserta pinjaman yang diambil dari pihak bank.

"Kalau masalah ini terus berlangsung dan tidak ada kebijakan baru dari pemerintah pusat, rasanya saya sudah hilang akal menghadapinya. Tidak tahu lagi harus bagaimana," ujar Gani.

Terkait pinjaman dari pihak bank, Gani harus merelakan aset berupa tanah, bangunan dan barang berharga lainnya menjadi agunan.

"Jika pihak bank mengambil dan menyita agunan itu, habislah saya. Belum termasuk seluruh kendaraan yang dalam proses dicicil, akan diambil pihak dealer yang sudah mulai dicicil sejak 11 bulan lalu. Sekarang ini saya sudah tidak punya apa-apa lagi. Kontrak saya diputus perusahaan, cicilan sudah menunggak 1 bulan. Itu artinya, nasib saya menghitung hari," kata Gani sembari mengusap air matanya.

Dikatakan dia, sebenarnya keberaniannya untuk mengambil kendaraan tersebut guna men-support perusahaan tambang di sektor jasa transportasi, dengan uang muka sebesar Rp100-an juta per unit kendaraan roda empat, serta Rp300-an juta setiap 1 unit bus, lantaran adanya kontrak kerja yang tetap dengan pihak perusahaan.

"Saya sudah perhitungkan dengan mengambil uang bank, serta cicilan kendaraan diperkirakan akan kembali dalam tiga tahun ke depan. Dari kontrak itu pun, saya tidak mengambil untung, cukup membayar gaji sopir dan membayar cicilan kendaraan serta bank. Saya hanya mendapatkan untung dari manajemen `fee` yang besarnya hanya 10 persen dari biaya kontrak," kata Gani, yang juga memiliki usaha di bidang `power` dan konstruksi.

Jika dikalkulasikan, Gani harus mengeluarkan anggaran untuk gaji sopir Rp12 juta per unit bus setiap bulannya. Satu unit bus memiliki tiga sopir dengan `shift` berbeda-beda dan masing-masing sopir mendapat gaji Rp4 juta/bulan. Selain membayar sopir, Gani juga harus menangggung biaya pemeliharaan kendaraannya.

"Kalau usaha ini tidak jalan, saya mau bayar karyawan pakai apa? Sementara karyawan saya tidak berasal dari NTB saja, bahkan dari pulau Jawa pun mencari penghidupan di sini. Kondisi mereka saat ini amat memprihatinkan, sayangnya saya tidak bisa berbuat banyak karena sudah tidak punya pemasukan lagi," ucap dia.

Gani tidak membayangkan jika seluruh karyawannya yang berjumlah 400 orang, di mana masing-masing memiliki anak istri, tidak mampu lagi membiayai hidup mereka. Maka ada ribuan orang yang akan menjadi penduduk miskin dan tercipta pengangguran baru.

"Pemerintah pusat sebaiknya memperhatikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari adanya operasi tambang Newmont ini. Saya yakin maksud pemerintah baik, tapi tidak harus dengan memiskinkan rakyatnya," katanya.

                     Pemasok Kebutuhan Sehari-hari

Keresahan akan nasib masa depan pun dialami Anwar HD sebagai pemasok kebutuhan pokok sehari-hari untuk PT Prasmanindo Boga Utama (PT PBU), salah satu supplier PT NNT .

"Sebagai pengusaha lokal, saya hanya bisa pasrah atas pemberlakuan kebijakan pemerintah pusat atas pengenaan bea eksport terhadap Newmont," kata Anwar.

Kebijakan itu, menurut Anwar, berdampak pada operasional PT NNT. Di lain pihak, PT NNT dianggapnya sebagai lokomotif bagi pengusaha-pengusaha di daerah lingkar tambang.

"Karyawan saya jumlahnya 100-an lebih, belum lagi pengusaha lainnya yang jumlahnya mencapai 60 anggota yang tergabung dalam kelompok pengusaha lingkar tambang (KPLT)," kata Anwar, yang juga ketua KPLT ini.

Pengusaha retail yang mulai merintis usahanya sejak PT NNT berdiri itu, menyatakan, terpaksa akan mengambil jalan merumahkan sebagian besar karyawannya yang rata-rata merupakan warga setempat.

Pemberhentian sebagian karyawannya itu akan dilakukan secara bertahap, karena order untuk mensuplai kebutuhan pokok ke PT PBU sudah mulai berkurang.

"Uutang saya di bank Rp1 miliar. Untuk mengurangi beban biaya pengeluaran solusinya dengan cara mem-PHK karyawan. Mau apa lagi?," kata pengusaha asal Sulawesi, yang memiliki dua outlet di wilayah Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) itu.

Utang sebesar itu, katanya, selain untuk membayar gaji karyawan, juga untuk membeli pasokan barang kebutuhan bagi karyawan PT NNT.

Dia berharap pemerintah pusat mau meninjau kembali penerapan kebijakan bea eksport keluar progresif, sebab imbasnya akan berpengaruh besar terhadap pengusaha dan masyarakat sekitar.

Jika pemerintah tetap ngotot menerapkan kebijakan bea eksport keluar, diyakini PT NNT tidak akan beroperasi. Demikian pula roda bisnis di sekitar lingkar tambang pun terhenti.

"Saat ini kami hanya bisa memikirkan bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup karena usaha sudah gonjang ganjing," kata Anwar.

Menurut dia, kebijakan pemerintah pusat itu belum dapat diterapkan saat ini karena berbagai alasan. Selain menimbulkan kekhawatiran bagi karyawan perusahaan, juga meresahkan sebagian masyarakat yang menikmati penghasilan dari keberadaan tambang itu.

"Kami yang tergabung dalam KPLT rencananya akan ke Jakarta untuk memberi masukan kepada pemerintah pusat dan DPR RI untuk meninjau ulang pemberlakuan UU Pertambangan Minerba dan bea keluar eksport progresif," ucap dia.

Roda perekonomian di wilayah lingkar tambang, katanya, cukup besar dan memberikan kesempatan kepada usaha-usaha lainnya untuk tetap bangkit. Lesunya roda perekonomian di wilayah lingkar tambang pascakebijakan pemerintah pusat berdampak pada sektor-sektor lainnya.

*) Kontributor Sumbawa