Pejuang Air di Dataran Dahaga

id Lalu Slamet

Pejuang Air di Dataran Dahaga

Lalu Slamet bertahun-tahun berjuang membelah bukit agar penduduk Ijo Balit terlepas dari kekeringan (Tri Vivi Suryani)

Saya dan beberapa penduduk membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk membelah bukit dan membuat terowongan itu. Tapi, setelah melihat air yang kemudian tiada putus mengalir dari sungai menuju kampung kami, segenap kelelahan itu terbayarkan
Dataran itu, semula merupakan bentangan tanah yang kering, di mana tumbuh-tumbuhan meranggas, debu-debu beterbangan dan sebagian besar penduduk menatap sayu pada perbukitan Ijo Balit yang mengering, dengan sorot mata tanpa pengharapan akan masa depan.

"Satu-satunya mata pencaharian penduduk adalah menambang pasir atau batu. Tidak ada alternatif pekerjaan lain. Ketiadaan air, membuat warga tidak bisa beternak atau mengupayakan lahan pertanian," kata Lalu Slamet Suryawan Sahak, salah seorang penduduk di Kelurahan Ijo Balit, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Di tengah-tengah kehidupan berlumur debu ini, Lalu Slamet pun turut larut melakoni kehidupan sebagai penambang pasir di lahan miliknya seluas 20 hektare, demi menggerakkan roda perekonomian keluarganya.

Namun, dalam perjalanan waktu, pada lahan itu pun membentuk kubangan besar, sehingga menerbitkan ide di pikiran Lalu Slamet untuk membuatnya menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat. Dalam mimpi yang digagasnya, lelaki itu membayangkan lahan itu dapat diubah menjadi kolam pemandian yang indah.

Ide kontroversial ini, langsung saja menimbulkan cibiran bagi sebagian masyarakat. Meski Lalu Slamet adalah seorang lulusan jurusan teknik arsitektur di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, namun ide mengubah lahan meranggas menjadi kolam pemandian, dinilai sudah jauh melenceng dari kewajaran.

"Saya sempat dianggap masyarakat sebagai orang gila, karena desa saya adalah dataran tanpa air. Ibarat dataran yang dahaga, namun saya malah mencetuskan ide membuat kolam pemandian. Tapi saya tidak menyerah. Saya harus bisa membuktikan, itu tekad saya," ujar ayah tiga anak ini.


                Membelah Bukit di Lendang Panas

Di antara cekungan lahan itu, pada tahun 1994 Lalu Slamet mulai menyisihkan batu-batu besar hasil penggalian dan menyiapkan jalan yang memadai.

Seiring dengan itu, lelaki ini mulai memikirkan langkah-langkah untuk mendatangkan air. Bahkan, Lalu Slamet tidak hanya terpikir mendatangkan air untuk mengaliri lahan miliknya, namun juga memperjuangkannya bagi warga yang lain.

Berhari-hari mengamati kontur wilayah desa, Lalu Slamet kemudian memikirkan satu langkah yang dianggapnya paling rasional. Dia bertekad membelah bukit, dan menggunakan metode sodetan agar air Sungai Sordang yang selama ini terbuang ke laut, dapat dimanfaatkan.

"Kalau air itu dapat dibelokkan ke desa kami, tentu sangat besar artinya bagi masyarakat yang sudah ratusan tahun hidup dalam belenggu kekeringan. Saya bertekad memutus rantai kekeringan agar daerah kami tidak terus-menerus mendapat cap sebagai `lendang panas`, yakni padang rumput yang gersang. Ini makanya saya memiliki ide membelah bukit," katanya.

Namun, ide membelah bukit itu lagi-lagi membuat Lalu Slamet menuai cibiran. Dan lagi-lagi, lelaki ini tiada gentar menghadapi. Dibantu beberapa warga yang mempercayai cita-citanya, Lalu Slamet kemudian mengayun linggis di atas perbukitan.

Hari berganti dan tahun berlalu di bawah paparan terik matahari, Lalu Slamet tetap meneguhkan niatnya untuk membelah bukit, sehingga lama-lama upaya itu membuahkan hasil. Bukit yang semula utuh tegak, akhirnya membelah.

Lalu Slamet melanjutkan langkahnya dengan membuat terowongan yang dibuat sepanjang empat kilometer. Terowongan itu dibuat mulai dari sungai, melintasi bukit, kemudian menuju perkampungan tempat Lalu Slamet bermukim.

"Demi memperjuangkan mimpi mendatangkan air ke desa, saya dan beberapa penduduk membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk membelah bukit dan membuat terowongan itu. Tapi, setelah melihat air yang kemudian tiada putus mengalir dari sungai menuju kampung kami, segenap kelelahan itu terbayarkan," ujar Lalu Slamet dengan mata nyaris berkaca-kaca.

                Lembah Hijau

Kehadiran air di perkampungan gersang itu, seketika disambut suka cita oleh penduduk. Air membuat bumi kemudian menghijau, tatkala penduduk mulai mengupayakan tanaman palawija di lahan yang semula kering kerontang.

Bagi Lalu Slamet, kehadiran air ini merupakan panggilan untuk merealisasikan cita-citanya. Setelah mempersiapkan kubangan, membangun danau besar, disertai pembangunan taman bermain dan penghijauan dengan tanaman langka, akhirnya sebuah objek wisata `Lembah Hijau` pun hadir sebagai tempat rekreasi bagi warga Labuhan Haji dan sekitarnya.

Setelah Lembah Hijau hadir, sedikit demi sedikit kesejahteraan masyarakat turut meningkat. Sebagian penduduk ada memilih profesi sebagai tukang ojek, penjual makanan atau tukang sapu di sekitar objek wisata.

"Kehadiran air dan Lembah Hijau membuat perekonomian warga menjadi lebih sehat. Warga sekarang bisa menentukan beragam pekerjaan yang dipilih. Entah mau bertanam padi, beternak, berkebun palawija, menanam buah-buahan atau lainnya," kata lelaki yang baru saja menerima penghargaan Liputan 6 Award Kategori Pemberdayaan Masyarakat dari sebuah televisi swasta nasional.

Satu cita-cita telah teraih. Namun Lalu Slamet belum ingin menghentikan langkahnya. Lelaki ini mengharapkan, suatu saat nanti dirinya bisa membangun rumah sakit gratis untuk meningkatkan tingkat kesehatan warga.

Lalu Slamet bahkan sudah menyiapkan lahan perkebunan puluhan hektare yang ditanami ribuan pohon kelapa. Hasil dari pepohonan kelapa ini, direncanakan digunakan untuk membiayai operasional rumah sakit, yang sengaja diperuntukkan bagi warga yang hidup dalam belenggu kemiskinan.

"Saya sudah menyiapkan anak kedua saya untuk menangani rumah sakit. Anak saya Baiq Nurlatifah saat ini menjadi dokter yang bertugas di rumah sakit di Selong. Setelah bertugas di rumah sakit, sore harinya anak saya membuka praktik di rumah," ujar dia.

Praktik ini tanpa ada pengaturan jam. Jam berapapun ada pasien datang, Baiq Nurlatifah akan menangani dan memberi pengobatan secara gratis. Sesekali, ada warga yang memaksakan membayar dengan memberikan uang Rp5 ribu atau Rp10 ribu, walau sesungguhnya sudah diniatkan gratis.

"Dan sesungguhnya inilah kebesaran Tuhan, karena setelah air mengaliri desa kami, warga menjadi lebih sehat secara perekonomian. Mudah-mudahan rumah sakit gratis segera bisa diwujudkan, agar masyarakat secara fisik juga lebih maksimal kesehatannya," katanya.