Kelompen, Prestise Sandal Kayu ala Yogyakarta

id Sandal kayu

Kelompen, Prestise Sandal Kayu ala Yogyakarta

Produk sandal kayu Kloom Clogs (Ist)

Ketika berada di Jepang dan bertemu dengan teman-teman dari berbagai negara, seperti Skandinavia, perspektif saya tentang sandal kayu mulai berubah
Yogyakarta bukan hanya selarik kisah tentang destinasi candi-candi kuno, namun Kota Gudeg ini juga memiliki cerita tentang pembuatan sandal kayu yang semula tampil sarat kesederhanaan, berubah menjadi karya menawan yang banyak dipesan konsumen mancanegara.

Sandal kayu atau sering disebut kelompen, dahulu terlihat amat bersahaja, dibuat dengan memadukan bahan kayu dan karet hitam, serta sering dipakai masyarakat ketika musim hujan tiba. Sama sekali tanpa mengusung kesan prestise bagi pemakainya.

"Namun, ketika berada di Jepang dan bertemu dengan teman-teman dari berbagai negara, seperti Skandinavia, perspektif saya tentang sandal kayu mulai berubah. Saya jadi tertarik karena melihat teman-teman memakai sandal kayu, tapi penampilannya sangat menarik," kata Nadia Mutia Rahma, pemilik usaha sandal kayu yang mengusung merek Kloom Clogs.

Nadia melanjutkan, ketertarikan itu ditindaklanjuti dengan keinginan menjadikan sandal kayu sebagai lahan usaha, mengingat di Indonesia, bahan kayu tergolong melimpah dan produk itu belum banyak dilirik sebagai objek bisnis.

Alasan lain menjadikan kayu sebagai bahan baku, menurut Nadia, dikarenakan kayu memiliki daya tarik tersendiri. Baik dilihat dari sudut pandang seni maupun furniture, sehingga Nadia meyakini bahwa sepatu atau sandal yang dipadupadankan dengan kayu akan memiliki daya jual.

Keyakinan ini membuat wanita kelahiran 12 Juni 1989 ini tekun mempelajari seluk-beluk pembuatan sandal berbahan baku kayu. Tidak kurang waktu dua tahun dijalani Nadia untuk proses belajar, sampai akhirnya ia yakin mampu bisa membuat produk yang menarik, sekaligus nyaman dipakai.

"Pada akhir 2009, ketika usia saya menginjak 21 tahun, saya resmi membuka `workshop` di Yogyakarta. Mengapa memilih Yogyakarta, sebab selain tempat domisili dan tanah kelahiran, daerah ini juga disebut kota pelajar. Produk saya memang menyasar kalangan pelajar hingga usia paruh baya," kata Nadia.

Saat mengawali usaha, Nadia mengaku menyiapkan uang yang cukup banyak, hasil dari bekerja sebagai karyawan `part time` semasa masih tinggal di Jepang. Dia sama sekali tidak mengandalkan uang dari orang tua, karena ingin menunjukkan kesungguhan atas pilihan usaha yang digelutinya.

"Modal yang saya siapkan, kira-kira setara dengan harga dua rumah di kawasan Karangkajen, Yogyakarta," katanya.

Meski modal sudah siap, wanita ini tidak begitu saja bisa langsung menjalankan usaha. Dia menghadapi kendala kesulitan mencari tenaga perajin sandal dan sepatu kayu, yang sesuai dengan yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan perajin hanya terampil membuat sandal atau sepatu dengan model standar, tanpa sentuhan inovasi sesuai perkembangan tren. Padahal di lain pihak, Nadia menginginkan produk buatannya memiliki desain perpaduan tradisional dan modern.

Perlahan-lahan, seiring pengarahan yang diberikan, perajin akhirnya bisa mewujudkan keinginan Nadia untuk membuat sandal dan sepatu kayu berbahan lokal tapi bercita internasional.


                             Murni Lokal



"Produk saya murni lokal, karena negara kita sudah memiliki bahan baku yang berlimpah, jadi tidak pernah kesulitan mendapatkannya," ujarnya.

Bahan baku kayu, ujar Nadia, menggunakan kayu mahoni, jati muda dan sampang, yang berasal dari daerah Malang, Jawa Timur. Walaupun menggunakan bahan baku kayu, akan tetapi produk sandal atau sandal sama sekali tidak berat bobotnya.

Nadia menyatakan, membutuhkan teknik tersendiri pada kayu, di mana ada proses pengambilan getah, penjemuran dan perendaman selama beberapa jam, hingga bisa membuat kayu menjadi ringan sekaligus tahan lama.

Dia melanjutkan, ciri khas produknya ada pada anatomi alas kaki dan profil ukiran di samping, dan menggunakan stepler yang kedalamannya 1,2 cm. Ciri lain, desain produknya memiliki tampilan unik, salah satunya dipadukan dengan batik tulis berkualitas.

"Ide tentang bentuk sandal atau sepatu disertai aksesorisnya mengalir begitu saja. Kadang ada juga pemesan yang memberikan ide, bagaimana bentuk sandal kayu yang diinginkan," ucap lulusan KAI Japanase School - Jepang ini.

Rata-rata per bulan, Nadia mampu memproduksi 1.000 pasang sandal dan sepatu untuk memenuhi permintaan konsumen lokal dan mancanegara. Khusus untuk konsumen luar negeri seperti Denmark, Yunani, Swedia dan lainnya, Nadia membuat produk yang disesuaikan ukuran kaki masyarakat mancanegara yang lebih lebar dan panjang.

Harga sandal dan sepatu kayu yang dipatok berada pada kisaran Rp350 ribu sampai Rp1,2 juta. Usaha ini mampu menghasilkan omzet kotor Rp90 juta - Rp200 juta per bulan.

Waktu pertama kali dirilis, produk itu dipajang di sosial media. Tak disangka, produk sandal dan sepatu itu mendapat respons positif serta langsung banyak yang memesan pada Nadia. Belakangan, Nadia sengaja membuka stokis di wilayah Bumi Serpong Damai, serta mengandalkan pameran untuk mengenalkan produk ke masyarakat.

Pengenalan produk ini, selain membuat konsumen meluas di berbagai pelosok Nusantara hingga mancanegara, juga sering kali menimbulkan peniruan di kalangan pengusaha fashion. Namun, Nadia tidak gentar menghadapi, karena hal itu justru membuatnya makin terpacu untuk membuat desain yang lebih kreatif.

"Desain kreatif kami yang membuat produk Kloom Clogs memiliki pasar tersendiri di kalangan pencinta fashion. Tidak hanyasebatas masyarakat kebanyakan, sejumlah tokoh nasional atau selebriti Indonesia juga sering pesan sandal dan sepatu pada kami," kata wanita yang semula bercita-cita sebagai arsitek ini.

Nadia menyatakan, ia memiliki harapan supaya bisnis yang digelutinya mendapat dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah, sebagai langkah memberdayakan UKM.

"Mimpi terbesar kami adalah bisnis ini bisa berkembang dan mampu bersaing di kancah fashion internasional," katanya dengan nada optimistis.

*) Penulis buku dan artikel