Romantisme Lantunan Pantun di Ketinggian Udara

id Kiprah Citilink

Romantisme Lantunan Pantun di Ketinggian Udara

Perusahaan penerbangan Citilink yang menyapa penumpang dengan salam pantun (Ist)

Salam pantun oleh seluruh awak kabin kami ini menjadi bagian dari komitmen kami untuk meningkatkan layanan terbaik sesuai dengan semangat Citilink sebagai maskapai `low cost carrier` (LCC), yang `fun, affordable, and reliable`
"Ke pasar membeli buah. Buahnya buah belimbing. Penumpang sekalian selamat berpisah. Terima kasih sudah terbang bersama Citilink."

Suara bening seorang pramugari yang melantunkan untaian pantun itu terdengar di ketinggian udara ketika sebuah pesawat hendak `landing` di Bandara Internasional Lombok (BIL), Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada suatu petang di akhir September 2014.

Pantun merupakan budaya sastra lisan di Nusantara yang belakangan meredup di kalangan masyarakat, namun kini mendadak "terbangkitkan" kembali dengan adanya kebiasaan "menembang" pantun yang dilakukan para pramugari sebuah perusahaan penerbangan nasional Citilink.

Pantun didefinisikan sebagai puisi Melayu asli yang telah begitu menyatu dengan kebudayaan masyarakat. Sebagai salah satu jenis sastra lama, pantun terdiri atas empat baris yang menggunakan pola persajakan ab-ab atau aa-aa, yang berupa sampiran dan isi. Sampiran berada pada bagian baris pertama dan kedua, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah bagian isi dari puisi tersebut.

"Pantun merupakan salah satu jenis dari puisi lama, yang sudah dikenal secara meluas dalam bahasa-bahasa Nusantara. Salam pantun oleh seluruh awak kabin kami ini menjadi bagian dari komitmen kami untuk meningkatkan layanan terbaik sesuai dengan semangat Citilink sebagai maskapai `low cost carrier` (LCC), yang `fun, affordable, and reliable`. Kami yakin ciri khas baru ini, akan memberikan pengalaman terbang tak terlupakan bersama Citilink," kata Vice President Marketing & Communication PT Citilink Indonesia Aristo Kristandyo, dalam sebuah siaran persnya, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, salam pantun menjadi prosedur tetap awak kabin Citilink untuk menyapa seluruh penumpang. Salam pantun akan diucapkan baik sebelum pesawat lepas landas, maupun ketika mendarat di kota tujuan. Isi salam pantun yang menjadi ciri khas Citilink, akan menyesuaikan dengan setiap kota destinasi.

"Bahkan, ada kemungkinan salam pantun ini akan menjadi menarik, kalau ada penumpang yang akan berbalas pantun di atas udara," ujar Aristo.

Arsito melanjutkan, selanjutnya Citilink akan terus menghadirkan inovasi dalam pelayanan pada masa-masa mendatang.

Citilink merupakan anak perusahaan dari PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang menyediakan jasa penerbangan berbiaya murah (LCC). Citilink yang kini memiliki 29 pesawat Airbus A320 melayani penerbangan dengan sistem dari kota ke kota, dengan menggunakan model usaha pesawat berbiaya murah.

Berbasis di Jakarta dan Surabaya, hingga pertengahan September 2014 Citilink telah melayani 168 frekuensi penerbangan harian dari Jakarta (Soekarno-Hatta dan Halim Perdanakusuma), Surabaya dan Batam ke sejumlah kota besar di Indonesia seperti Banjarmasin, Denpasar, Balikpapan, Yogyakarta, Medan, Palembang, Padang, Ujung Pandang, Pekanbaru, Lombok, Bengkulu, Jambi, Semarang, Malang, Kupang, Pangkal Pinang, Tanjung Pandan, Bandung dan Solo.

Menebar pantun, merupakan kiprah inovatif Citilink di tengah persaingan bisnis maskapai penerbangan di Indonesia, yang membawa unsur kebaruan sehingga `mencuri` perhatian tersendiri bagi masyarakat. Pantun, seolah membawa kembali pada ingatan romantisme budaya tutur yang dahulu berkembang pesat dan tak terpisahkan dalam keseharian masyarakat, namun belakangan makin meluntur setelah tergerus kemunculan beragam budaya baru.


                                Penyejuk Perjalanan

Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menyatakan untaian pantun yang diucapkan pramugari ketika pesawat mengudara merupakan hal positif yang berguna sebagai penyejuk perjalanan, dan untuk mengembalikan memori masyarakat pada budaya tutur tersebut.

"Fenomena terlupakannya pantun dari kehidupan masyarakat adalah sesuatu yang patut disesalkan. Dengan diangkatnya kembali pantun oleh pramugari pesawat, akan mendekatkan masyarakat pada budaya itu," katanya.

Puluhan tahun silam, ujar dia, pantun sudah menjadi bagian keseharian warga. Setiap hari, pantun diucapkan dalam bahasa daerah di saat-saat ada kegiatan berkumpul dan menjadi tradisi lisan yang sangat menghibur.

"Di Bali, kegiatan berpantun itu disebut cecangkriman. Setiap ada kegiatan senggang, baik anak-anak maupun orang tua akan berkumpul dan saling berbalas pantun," ucap dia.

Kegiatan berbalas pantun, secara tidak langsung akan memperlihatkan kecepatan, kecerdasan atau kelihaian seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata.

Pantun juga dipergunakan untuk menyampaikan pesan sosial atau keagamaan ke masyarakat, sehingga menumbuhkan kesadaran di kalangan generasi muda tentang moralitas dan mendekatkan mereka pada filosofi keagamaan. Selain itu, pantun juga mengeratkan hubungan pertemanan antargenerasi muda.

Ia melanjutkan, pengucapan pantun di dunia penerbangan, bisa meningkatkan nilai perusahaan bersangkutan, karena mengangkat budaya daerah yang sudah nyaris terlupakan, sehingga ada upaya pelestarian.

Ketut Sumadi menilai, menggunakan pantun sebagai strategi komunikasi adalah langkah tepat sesuai teori kemelekatan hubungan, karena sebenarnya ada keterkaitan emosianal antara masyarakat dengan budaya sastra tuturnya, yang salah satunya berupa pantun. Strategi berpantun juga merupakan cara unik mengemas komunikasi efektif untuk mengikat hati masyarakat.

"Jika perlu, perusahaan Citilink melakukan undian berpantun bagi warga yang bepergian menggunakan pesawat itu. Hadiahnya bisa saja tiket gratis. Tapi esensi sebenarnya bukan hadiah semata, melainkan yang terutama untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat pada pantun," kata Ketut Sumadi yang juga merupakan Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar.

*) Penulis buku dan artikel