Fraksi PDIP "walk out" Pelantikan Pimpinan DPRD

id PDIP

Fraksi PDIP "walk out" Pelantikan Pimpinan DPRD

Ilustrasi - PDI Perjuangan (Ist)

Kami memandang hasil penetapan pimpinan yang dilaksanakan 7 Oktober 2014 tidak melalui mekanisme yang benar. Sebab, dalam usulan pengangkatan pimpinan DPRD NTB ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat
Mataram,  (Antara) - Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan aksi "walk out" saat rapat paripurna istimewa pelantikan empat pimpinan definitif DPRD Nusa Tenggara Barat karena dinilai cacat hukum.

"Kami memandang hasil penetapan pimpinan yang dilaksanakan 7 Oktober 2014 tidak melalui mekanisme yang benar. Sebab, dalam usulan pengangkatan pimpinan DPRD NTB ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat," kata Ruslan Turmuzi di Mataram, Kamis.

Seharusnya, kata Ruslan Turmuzi, surat keputusan (SK) DPRD NTB No 11/KPTS/DPRD/2014 tanggal 7 Oktober 2014 tentang usulan pengangkatan pimpinan DPRD NTB yang dijadikan sebagai dasar untuk memproses usulan peresmian pimpinan DPRD NTB di Kementerian Dalam Negeri, harus mendapat persetujuan di dalam tata tertib DPRD.

Kalau merujuk pasal 327 ayat 2 UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, dan pasal 67, bahwa setiap parpol yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD berhak menduduki kursi pimpinan DPRD, setelah melalui usulan tersebut, kemudian pimpinan parpol meneruskannya ke pimpinan DPRD untuk ditetapkan.

Namun, dalam praktiknya pimpinan sementara DPRD tidak mengumumkan hal itu di dalam rapat paripurna di DPRD NTB.

"Ini tiba-tiba sudah ada SK Menteri Dalam Negeri. Padahal, jika merunut aturan, semestinya ini tidak boleh terjadi jika saja pimpinan menaati isi undang-undang, tetapi apa yang terjadi hari ini, tidak

diikuti oleh pimpinan. Kalau sudah seperti ini, pelantikan pimpinan sudah cacat secara hukum," ujarnya.

Ia menambahkan, pasal 72 dan pasal 80 PP nomor 16 tahun 2010 menyebutkan, setiap keputusan rapat DPRD baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Tapi, dalam rapat paripurna DPRD NTB yang dilaksanakan 7 Oktober 2014, ketua sementara Hj Isvi Rupaida, membuat keputusan sendiri tanpa mempertimbangkan anggota DPRD. Bahkan, fatalnya lagi terkait hasil keputusan tersebut, ketua sementara tidak memerintahkan sekretaris dewan untuk membacakan rancangan surat keputusan DPRD tentang penetapan pimpinan DPRD.

Oleh karena itu, memperhatikan amanah pasal 67, 72, dan pasal 80 PP nomor 16 tahun 2010 dan pasal 328 ayat 6 UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, serta peraturan DPRD tentang tata tertib yang belum ditetapkan, maka Fraksi PDIP menyatakan penetapan pimpinan DPRD NTB pada paripurna DPRD NTB 7 Oktober 2014 dinyatakan tidak sah.

"Prosesnya bertentangan dengan peraturan perundang undangan serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk memproses peresmian pimpinan definitif DPRD NTB kepada Kementerian Dalam Negeri," katanya.

Sementara itu, Ketua DPRD NTB yang baru dilantik Umar Said mengaku belum mengetahui secara pasti apa tuntutan yang dilayangkan Fraksi PDIP. Namun, pihaknya berjanji akan mempelajari apa yang menjadi tuntutan fraski tersebut.

"Selaku pimpinan, kami pastinya membutuhkan kekompakan dari semua anggota, karena itu apa yang menjadi tuntutan Fraksi PDIP akan kami tindak lanjuti di tingkat pimpinan," katanya.

Namun ia menolak jika hal tersebut dikaitkan dengan koalisi merah putih (KMP) yang menguasai kursi pimpinan di DPRD NTB, termasuk adanya argumen yang menyatakan bahwa penetapan pimpinan cacat prosedur.

"Yang jelas, penetapan pimpinan sudah melalui mekanisme dan aturan seperti yang tercantum dalam UU MD3. Dan penetapan pimpinan ini tidak ada kaitannya dengan koalisi Indonesia hebat dan koalisi merah putih," tegas Umar Said.