Newmont Reklamasi 770 Hektare Lahan di Sekongkang

id PTNNT

Newmont Reklamasi 770 Hektare Lahan di Sekongkang

Jalan di area tambang Newmont dikitari hutan yang dihijaukan program reklamasi (Vivi)

Meski perusahaan menghadapi sejumlah tantangan, dan kami tengah melakukan langkah untuk meminilisir pengeluaran yang tidak perlu, tapi tanggung jawab sosial seperti reklamasi untuk pelestarian lingkungan, tetap tidak kami abaikan
Pelestarian lingkungan di area pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Kabupaten Sumbawa Barat tetap dilakukan, meski perusahaan ini tengah menghadapi berbagai tantangan terkait keberlangsungan operasional agar dapat terus berjalan pada tahun-tahun mendatang.

"Meski perusahaan menghadapi sejumlah tantangan, dan kami tengah melakukan langkah untuk meminilisir pengeluaran yang tidak perlu, tapi tanggung jawab sosial seperti reklamasi untuk pelestarian lingkungan, tetap tidak kami abaikan," kata Senior Manager Operation PTNNT Wudi Raharjo.

Dikatakan Wudi, kegiatan reklamasi hutan sudah dilakukan sejak tahun 2005 dengan target 30 hektare lahan per tahun. Biaya setiap reklamasi 30 hektare adalah USD 7 juta, yang digunakan untuk pembelian pupuk, bibit tanaman, ongkos tenaga kerja, dan lainnya.

Secara keseluruhan luas wilayah pertambangan PTNNT adalah 66.000 hektare sesuai Amandemen KK 2014, dan luas proyek Batu Hijau mencapai 37.730 hektare. Lahan yang telah direklamasi hingga kini mencapai 770 hektare lahan, terletak di East Dam dan Tongoloka, yang berada di wilayah Kecamatan Sekongkang.

Kegiatan reklamasi dilakukan begitu ada wilayah penambangan yang tidak dipergunakan lagi. Bahkan, jika ada proses pembukaan lahan untuk jalan, maka sekaligus dilakukan proyek reklamasi. Tujuan penggiatan reklamasi selain untuk pelestarian lingkungan, juga untuk menjaga wilayah setempat supaya tidak longsor.

Menghijaunya alam yang telah direklamasi, membuat beberapa satwa menemukan habitat yang sesuai untuk tumbuh dan berkembang. Beberapa satwa yang dapat dijumpai pada lahan reklamasi yang telah menjadi kawasan hutan itu, antara lain monyet, ayam hutan, babi hutan dan beragam burung seperti burung kakaktua jambul kuning, yang dikenal sebagai satwa endemik di beberapa hutan kawasan Sumbawa Barat.

Selain menjaga lingkungan dengan melakukan reklamasi, PTNNT juga melakukan pengelolaan air tambang yang mengandung keasaman dengan kadar tertentu, agar tidak berimbas buruk kepada alam.

Wudi menjelaskan, pengelolaan air tambang dilakukan dengan cara sedapat mungkin memisahkan air yang tidak terdampak dengan mengalirkannya langsung ke sungai. Sedangkan untuk air yang terdampak, akan dibuatkan kolam-kolam penampungan supaya tidak meluap ke sungai. Kolam-kolam penampungan itu berada di wilayah Katala, Tongoloka, serta Santong I, II dan III.

Selanjutnya, air terdampak itu dipompa ke tempat pengolahan untuk diproses, sebelum akhirnya dilepaskan ke lautan setelah lebih dahulu dimonitoring agar sesuai kualitas air laut. Jika semula air itu memiliki pH 3-4, maka ketika dilepaskan di laut setidaknya mencapai pH 7.


                                     Maret 2015

General Supervisor Komunikasi PTNNT Ruslan Ahmad, mempertegas, bahwa memang ada tantangan sulit yang dihadapi perusahaan terkait izin ekspor yang hanya sampai Maret 2015, dan setelah itu belum ada kepastian mengenai kelanjutan operasional PTNNT.

"Tapi kita tetap optimistis karena telah melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah untuk membahas izin ekspor dan renegosiasi Kontrak Karya. Mudah-mudahan setelah upaya ini, kita mendapatkan izin tersebut," ujar Ruslan.

Ruslan melanjutkan, tantangan lain yang dihadapi PTNNT adalah berdasarkan UU Minerba bahwa pada awal 2017, maka mineral harus dimurnikan di dalam negeri. Di lain pihak, smelter yang ada di dalam negeri baru terdapat di Gresik.

Menghadapi hal ini, PTNNT sudah melakukan kesepakatan kerja sama dengan Nusantara Smelting dan PT Indosmelt, dikarenakan kedua perusahaan itu telah mengumumkan mau membangun smelter.

Pembangunan smelter di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sulit dilakukan karena memerlukan sumber listrik yang besar. Sementara keberadaan sumber listrik yang besar saat ini, berada di Pulau Jawa dan Bali.

Di samping itu, kesulitan lain merealisasikan hal tersebut di Sumbawa, disebabkan pembangunan smelter memiliki produk sampingan, yang salah satunya dapat dijadikan bahan baku semen. Padahal Pulau Sumbawa tidak memiliki pabrik semen untuk dapat menampung produk sampingan smelter.

"PTNNT sudah menyerahkan uang jaminan sebesar USD 25 juta untuk pengembangan smelter yang akan dibangun oleh PT Freeport, tapi belum ditentukan mau didirikan di mana. Ini menunjukkan kami selalu siap mematuhi aturan pemerintah. Bahkan, kami juga telah mematuhi pembayaran kenaikan royalti dan adanya bea ekspor sebesar 7,5 persen. Pengurangan tarif disesuaikan dengan rencana pengembangan smelter. Ini tentu menjadi beban tambahan bagi PTNNT dalam menjalankan kelangsungan operasional," ucap Ruslan, seraya merinci bahwa kenaikan royalti tembaga lebih dari 300 persen lebih tinggi menjadi 4.0 persen dari harga jual, dan kenaikan royalti emas lebih 175 persen lebih tinggi menjadi 3.75 persen.

Dia menyatakan, sekarang ini operasional minning telah mencapai fase VI. Untuk melakukan operasional itu, PTNNT melakukan peminjaman pada bank nasional sebesar USD 600 juta. Pembayaran uang pinjaman itu akan dilakukan pada tahun 2015 - 2017. Sedangkan untuk melanjutkan pada fase VII, perusahaan paling tidak membutuhkan dana USD 1,8 miliar sampai USD 1,9 miliar.

"Untuk itu, Newmont memerlukan kembali pinjaman dana dari bank lebih dari USD 1 miliar supaya dapat melanjutkan operasional ke fase VII," ujarnya.

Dana operasional selain untuk membeli beberapa penggantian peralatan yang sudah aus, juga untuk membayar karyawan yang saat ini jumlahnya mencapai 3.800 orang, serta untuk biaya kerja sama dengan 3.600 mitra.

Penggantian peralatan memang menghabiskan dana yang amat besar, karena pengangkutan material tambang menuju lokasi `crushing` atau penghancuran, menggunakan `haul truck`. Kekokohan haul truck ini, berkat penggunaan beberapa ban ekstra besar. Masing-masing ban, harganya sekitar Rp200 juta.

Haul truk ini setiap harinya mengangkut berton-ton material, dari lokasi pertambangan yang kedalamannya mencapai minus 240 di bawah permukaan laut. Rata-rata setiap hari keseluruhan haul truck itu mengangkut hingga 450 ribu ton material. Namun tidak semua material bebatuan itu mengandung unsur bernilai ekonomis, karena 25 persennya adalah tanah dan masih ada kandungan lain yang tidak potensial sebagai produk ekspor.

"Ya tapi kami tetap optimistis, pada fase VI ini pertambangan menghasilkan mineral dengan kadar yang bagus sehingga akan diperoleh dana untuk membayar hutang dan melanjutkan kelanjutan fase VII nanti," kata dia.

Menurut Ruslan, jika berhasil menyelesaikan operasi hingga periode `mine closure` maka ribuan karyawan dan kontraktor akan tetap dapat menghidupi keluarganya, kegiatan ekonomi di Sumbawa Barat dan NTB bertumbuh dengan kian sehat, serta kegiatan `corporate social responsibility` (CSR) dapat terus berlangsung.

*) Penulis buku dan artikel