Pengamat: Kebijakan Pragmatis Berpotensi Tidak Tercapainya Pajak

id Realisasi Pajak

Pengamat: Kebijakan Pragmatis Berpotensi Tidak Tercapainya Pajak

Dr M Firmansyah (1)

"Mampukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mencapai target yang fantastis tersebut,"
Mataram, (Antara NTB) - Pengamat Ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai berbagai kebijakan pragmatis yang dikeluarkan oleh sejumlah menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo berpotensi menyebabkan tidak tercapainya target penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp1.300 triliun.

"Mampukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mencapai target yang fantastis tersebut," katanya di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu.

Ia juga menyebutkan realisasi penerimaan pajak pada 2014 mencapai Rp 1.143,3 triliun atau sebesar 91,75 persen dari target yang dipatok pada APBN Perubahan 2014 sebesar Rp1.246,1 triliun.

"Tidak tercapainya target pajak pada 2014, tentu masih merupakan peran dari pemerintahan sebelumnya," ujar Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Mataram ini.

Menurut Firmansyah, jika para menteri dalam kabinet Jokowi-JK, masih suka mengeluarkan kebijakan pragmatis dan mengabaikan efek luas dari kebijakan tersebut, maka target penerimaan pajak pada 2015 yang sudah ditetapkan sulit direalisasikan.

Ia mengatakan, ada beberapa contoh kebijakan yang akan berpeluang menurunkan penerimaan pajak ke depan.

Pertama kebijakan pelarangan rapat di hotel. Kebijakan itu menyebabkan omzet pemasukan hotel menjadi berkurang.

Ketika ada kegiatan meeting, incentive, convention, exhibition (MICE), hotel akan memasok bahan makanan dari pihak pengusaha lain.

"Tapi dengan adanya larangan rapat di hotel untuk para aparatur pemerintah, maka pemasukan hotel menjadi berkurang dan banyak pemasok bahan makanan, terutama hasil pertanian berpotensi gulung tikar," ucapnya.

Kedua, kebijakan penghapusan "low cost carrier" (LCC) untuk pesawat terbang. Kebijakan ini akan berdampak lebih luas lagi, terutama dari sisi jumlah kunjungan wisatawan.

Berkurangnya jumlah wisatawan yang berkunjung tentu akan mempengarugi tingkat hunian kamar hotel menjadi relatif rendah. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi penerimaan pajak dari hotel dan restoran.

"Ingat pajak hotel dan restoran adalah penyumbang kedua terbesar pendapatan pemerintah setelah minyak dan gas, bahkan sampai Rp50 triliun per tahun," kata Firmansyah.

Ia juga menilai jika mengharapkan turis asing untuk menginap di hotel sangat tidak mungkin. Terlebih, Pemerintah Amerika Serikat, baru-baru ini memberlakukan larangan berkunjung ke Surabaya bagi warganya.

Oleh sebab itu, pemerintah harus memahami bahwa pengeluaran pemerintah (government spending) merupakan investasi juga.

Artinya, keuntungan hotel dan para pelaku usaha jasa pariwisata akan kembali lagi ke pemerintah, baik secara finansial maupun nonfinansial.

"Jadi, menurut pendapat saya, para menteri dalam kabinet Jokowi-JK, perlu melakukan kajian mendalam sebelum menelurkan kebijakan strategis," katanya. (*)