DPR Inginkan IPM NTB Naik dari Terendah

id IPM NTB

DPR Inginkan IPM NTB Naik dari Terendah

Data kondisi IPM NTB yang dipaparkan pada saat kunjungan anggota Komisi XI DPR RI, Jumat. (AntaraMataram/Awaludin) (1)

"Kami ingin tahun depan indeks pembangunan manusia (IPM) Nusa Tenggara Barat (NTB) naik, kalau bisa mencapai 72 persen, sehingga bisa berada di papan tengah dari 34 provinsi di Indonesia,"
Lombok Barat, (Antara NTB) - Anggota Komisi XI DPR RI menginginkan indeks pembangunan manusia di Nusa Tenggara Barat mengalami kenaikan agar tidak lagi berada di posisi terendah kedua dari 34 provinsi di Indonesia.

"Kami ingin tahun depan indeks pembangunan manusia (IPM) Nusa Tenggara Barat (NTB) naik, kalau bisa mencapai 72 persen, sehingga bisa berada di papan tengah dari 34 provinsi di Indonesia," kata Ketua Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu, ketika mengadakan pertemuan dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kalangan perbankan di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat.

Anggota Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) daerah pemilihan Sumatra Utara itu berada di NTB bersama dengan tujuh anggota Komisi XI DPR RI lainnya dalam rangka kunjungan spesifik untuk mendapat berbagai masukan terkait dengan tugas pokok dan fungsinya di sektor perbankan dan keuangan.

Hadir pada pertemuan itu, Sekretaris Daerah (Sekda) NTB H Muhammad Nur, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Juda Agung, Kepala Departemen Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Iwan Lubis, Kepala Perwakilan BI NTB Prijono, dan Kepala Perwakilan OJK NTB Yusri, serta sejumlah pimpinan cabang bank umum nasional di NTB.

Menurut dia, jika NTB mampu meningkatkan IPM, tentu akan berkontribusi terhadap target pembentukan IPM nasional sebesar 69,4 persen pada 2015 dengan sistem perhitungan baru.

"Itu angka nasional atau akmulasi dari IPM seluruh daerah di Indonesia. Kami berharap perbankan di NTB, bisa memberikan kontribusi terhadap perbaikan IPM," ujarnya.

Anggota Komisi XI DPR RI Willgo Zainar menambahkan upaya menuju peningkatan IPM NTB harus dipikirkan bersama, termasuk oleh kalangan perbankan di daerah itu.

Pihaknya juga akan mengupayakan agar dana "corporate social responsibility" atau pertanggungjawaban sosial perusahaan industri perbankan bisa menstimulus sektor kesehatan dan pendidikan, di samping ekonomi masyarakat yang menjadi indikator pembentukan IPM.

"Sangat memprihatinkan memang, secara visual kami tidak percaya NTB berada di posisi dua terendah dari 34 provinsi di Indonesia, posisi IPMnya," kata Willgo politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), daerah pemilihan NTB.

Kepala Kantor Perwakilan BI NTB Prijono, memaparkan IPM provinsi ini pada 2013 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) setempat sebesar 67,73, berada di bawah IPM nasional sebesar 73,81.

"Jika dilihat berdasarkan kota/kabupaten di Provinsi NTB, hanya Kota Mataram saja yang posisi IPM-nya sudah berada di atas nasional, sebesar 74,58 persen," katanya.

BPS NTB merilis penyebab masih rendahnya IPM NTB karena masih lemah di sektor kesehatan dan pendidikan masyarakat, sedangkan indikator ekonomi dinilai sudah relatif bagus.

Posisi IPM NTB saat ini berada di atas Provinsi Papua yang berada di urutan paling rendah di Indonesia, namun NTB berada di bawah Provinsi Papua Barat.

NTB masih kalah dengan Papua Barat dari segi dimensi kesehatan. Sektor ini masih perlu mendapat perhatian karena masyarakat NTB masih ada yang buang air besar sembarangan.

Sementara dari sisi rumah sehat, NTB sudah hampir sama dengan Provinsi Papua Barat. NTB hanya unggul dari sisi pemanfaatan sarana kesehatan dan peran serta rumah tangga terhadap sanitasi lingkungan dibanding dengan Provinsi Papua Barat.

BPS NTB juga menyebut secara absolut, jumlah tenaga medis, perawat dan bidan di daerah ini relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain, tetapi rasio tenaga kesehatan (per 100.000 jiwa) justru lebih rendah. Artinya NTB masih kekurangan tenaga kesehatan.

Sementara dari dimensi pendidikan, persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang belum pernah sekolah relatif tinggi, sehingga menyumbang angka masyarakat buta huruf.

Demikian juga dengan angka "drop out" atau putus sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas masih relatif tinggi, terutama pada jenjang sekolah dasar. (*)