Kasus tanah di trawangan dilayangkan ke pengadilan

id Kasus Tanah

"Kenapa secepat itu ditahan, padahal klien kami belum juga diperiksa terkait kasus yang melaporkan dirinya"
Mataram (Antara NTB) - Kasus tanah di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, dilayangkan secara perdata ke Pengadilan Negeri Mataram oleh penasihat hukum Akmaludin, tersangka yang dituding telah melakukan pencemaran nama baik terhadap PT ADA.

Pengajuan gugatan perdata yang dilayangkan penasihat hukum Akmaludin, Cyrilus tony Hoban ke Pengadilan Negeri Mataram itu dilakukan karena kasus yang menjerat kliennya dianggap aneh karena baru dua hari dilaporkan ke Polres Lombok Barat, kliennya langsung ditetapkan sebagai tersangka.

"Kenapa secepat itu ditahan, padahal klien kami belum juga diperiksa terkait kasus yang melaporkan dirinya," kata Cyrilus tony Hoban didampingi rekannya Lilik Nuraeni Arianti saat dikonfirmasi wartawan.

Cyrilus menjelaskan bahwa kasusnya masuk ke Polres Lombok Barat pada 15 April 2015, namun dua hari kemudian, tepatnya pada Jumat (17/4), kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Lombok Barat.

Akmaludin dilaporkan dengan tuduhan pengancaman kepada PT ADA dan diduga telah melanggar Pasal 335 Ayat 1 Ke 1 KUHP. Namun dalam penetapannya sebagai tersangka, kliennya itu dituding telah melakukan pencemaran nama baik.

"Ini yang aneh, jadi seperti ada yang janggal," ujarnya.

Lebih lanjut, kini Akmaludin telah ditahan di Polres Lombok Barat karena pada Jumat (17/4), kliennya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

"Surat perintah penahanannya itu kosong. Seharusnya polisi menahan disertai dengan surat perintah penahanan yang lengkap," katanya.

Selebihnya, ia mengatakan jika kliennya masih tetap ditahan, dirinya selaku penasihat hukum akan mengambil langkah praperadilan.

Diceritakan, kasus tersebut berawal dari transaksi tanah yang berlokasi di Gili Trawangan, Desa Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Akmaludin membeli tanah seluas 9.372 meter persegi dari Trie Rully Stiamdari.

Transaksi jual beli tanah itu dikuatkan oleh Notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), Eddy Hermansyah pada tahun 2009. Tanah dengan nomor sertifikat 155 itu, langsung dibaliknamakan atas nama Akmaludin.

Namun pada tahun 2010, sertifikat tanah itu dimohonkan pembatalan di meja PTUN. Permohonan itu diajukan oleh Robert Frederick Nolting, mantan suami Trie Rullu Stiamdari.

Seharusnya, lanjut Cyrilus, PTUN melibatkan kliennya selaku pemilik sertifikat tanah. Namun, dalam kenyataannya PTUN tidak memanggil atau melibatkan kliennya dalam urusan tersebut.

"Tanpa sepengetahuan klien kami, PTUN langsung mengabulkan permohonan RObert," katanya.

Lebih lanjut, untuk meluruskan sengketa tersebut, kliennya melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Mataram, tertanggal 6 April 2015, dengan nomor perkara 62/PDT.G/2015/PN.MTR.

Terlebih lagi, pihaknya sudah melayangkan pengaduan ke pihak Polda NTB. Cyrilus, melaporkan Robert, Trie, BPN, dan PT ADA karena diduga telah melanggar Pasal 372 KUHP Junto Pasal 378 KUHP Junto 335 KUHP Junto 336 KUHP Junto 385 KUHP Tentang penggelapan terhadap tanah orang lain.

"Kami mengadukannya ke Polda NTB pada 23 Maret 2015 dan sudah ditindaklanjuti," ucapnya.

Terkait kasus tersebut, Kasat Reskrim Polres Lombok Barat AKP Sidik Pria Mursita saat dikonfirmasi, mengaku, kasusnya berawal dari pernikahan Trie dengan Robert yang berujung perceraian.

Robert, membeli tanah di Gili Trawangan dan sertifikat tanah itu mengatasnamakan Trie. "Sertifikat itu dibawa pulang oleh Robert ke negaranya," ujar Sidik.

Setelah lama ditinggalkan, tanpa sepengetahuan Robert, Trie menjual kepada Akmaludin. Saat proses jual beli itu, sertifikat tanah tersebut dibuat baru oleh Trie.

Kemudian, tahun 2010, Robert malah menjual tanah tersebut kepada PT ADA, langsung dengan direkturnya yakni Hery dan langsung dikelola dengan adanya pembangunan.

Mengetahui hal itu, Akmal yang telah membeli tanah dari Trie, kemudian menegur PT ADA, karena tanah tersebut telah dibayar lunas kepada mantan istri Robert.

Sehubungan hal itu, Robert kemudian mengajukan permohonan pembatalan ke PTUN mengenai sertifikat tanah yang mengatasnamakan Akmaludin. Bahkan, kata Sidik, Mahkamah Agung telah ingkrah mengeluarkan putusannya.

Sehingga, pascaputusan itu PT ADA melanjutkan aktivitas pembangunannya di atas lahan tersebut.

Kemudian, kata dia, dalam sebuah kesempatan, Akmaludin menghadang pembangunan PT ADA di atas lahan tersebut dan mengancam "security" setempat dengan senjata tajam.

"Jadi atas dasar itu, Akmaludin kami tahan dengan sangkaan pengancaman dengan senjata tajam berupa parang," ujar Sidik. (*)