KPK siap hadapi gelombang praperadilan pascaputusan MK

id KPK Peraperdilan

KPK siap hadapi gelombang praperadilan pascaputusan MK

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto) (1)

"Kalau itu menjadi keputusan, kami mau tidak mau harus siap"
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku siap menghadapi gelombang praperadilan pascaputusan Mahkamah Konsitusi yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

"Kalau itu menjadi keputusan, kami mau tidak mau harus siap. Sejak awal kami siap menghadapi praperadilan," kata pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Rabu.

Pada Selasa (28/4), MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) sehingga mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.

"Sebelum ada putusan itu kan sudah ada praperadilan. Kami sejak awal percaya hakim praperadilan akan memutus secara independen dan melihat kasus per kasus. Artinya kami siap menghadapinya," ungkap Johan.

Namun Johan mengakui bila banyak tersangka yang mengajukan praperadilan maka akan mempengaruhi kinerja KPK.

"Kalau banyak yang praperadilan lagi ya pengaruhlah," ungkap Johan.

Sedangkan Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengungkapkan bahwa gugatan praperadilan bukanlah suatu drama hukum sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

"KPK menghormati apapun putusan MK dan tidak mengkhawatirkan putusan yang memberikan perluasan objek Praperadilan, seperti efek Sarpin, karena kebebasan hakim terhadap kasus-kasus praperadilan dan berbasis prinsip legalitas masih membatasi eksistensi pasal 77 KUHAP," kata Indriyanto melalui pesan singkat.

KPK menyatakan akan menghadapi praperadilan yang mungkin diajukan secara profesional.

"KPK sejak sebelum adanya efek Sarpin, tetap selalu siap menghadapi gugatan-gugatan serupa, jadi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan berlebihan. Gugatan-gugatan apapun bukan sebagai drama hukum, tetapi sesuatu kewajaran yang akan KPK hadapi secara profesional," tambah Indriyanto.

Dalam putusan MK tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal yang dimohonkan Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.

Alasan yang disampaikan hakim konstitusi Anwar Usman adalah bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas.

Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menabahkan frasa minimal dua alat bukti dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebelumnya dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.

Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, lanjut Anwar, menyebutkan penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti.

Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU KPK yang menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.

Dalam putusan ini, tiga hakim dissenting opinion. Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Mereka menganggap dalam Pasal 77, penetapan tersangka tetap bukan menjadi bagian dari obyek praperadilan. (*)

Editor: B Kunto Wibisono