Pengamat: program kemaritiman terkendala dukungan industri perbankan

id Sektor Maritim

Mataram (Antara NTB) - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai program unggulan Presiden Joko Widodo di sektor kemaritiman masih terkendala dukungan industri perbankan yang menyalurkan kredit atau pembiayaan. "Perbankan masih benar-benar belum yakin sektor maritim dapat menguntungkan. Kekhawatiran kredit macet masih saja menghantui bank," kata Dr Firmansyah, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan di sektor maritim baru mencapai 2,38 persen dari total penyaluran pembiayaan perbankan, atau sebesar Rp85 triliun dari total uang yang disalurkan untuk kredit sebesar Rp3.600 triliun pada 2014. Menurut Firmansyah, pemerintah juga belum sepenuhnya satu kata dalam membangun sektor kelautan dan perikanan. Sebagai contoh, pajak yang ditetapkan pada sektor perikanan masih cukup tinggi, bahkan perbedaannya puluhan persen lebih tinggi dari negara lain. "Dari situ saja dapat dilihat, berat untuk berharap nelayan bisa bersaing. Harusnya bila ingin fokus membangun sektor maritim semua aspek penghambat sudah disisir pemerintah," katanya. Di samping itu, kata dia, bunga redit yang harus ditanggung nelayan masih berkisar 10-12 persen, jauh di atas bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7,5 persen. "Ini menjadi masalah, kenapa tinggi sekali bunga kredit nelayan? Bila pembangunan belum satu kata seperti ini maka pembangunan sektor maritim tidak akan berjalan lancar kedepan," katanya. Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Universitas Mataram (Unram) ini juga menilai masalah paling mendasar dalam bisnis perbankan adalah adanya kepastian, keberlanjutan dan keuntungan usaha yang akan dibiayai. Hal itu merupakan standar bank yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, walaupun Presiden sekalipun yang menawarnya. Sementara itu, nelayan Indonesia sebagian besar belum menunjukan kapasitas kepastian dan keberlanjutan usahanya. Misalnya, bagaimana mengatasi iklim atau cuaca buruk, bila nelayan tidak melaut, sehingga bisa berimbas pada pembayaran angsuran pinjaman jika mereka mengakses permodalan di bank. Selain itu, bagaimana memastikan peningkatan jumlah tangkapan, sehingga memberi keuntungan yang terus meningkat bagi nelayan. "Masalah infrastruktur pada sektor maritim juga masih belum cukup memadai," ujarnya. Dari berbagai permasalahan itu, kata Firmansyah, dapat dipahami bagi bank, bahwa sektor maritim belum memberi jaminan keuntungan bagi industri perbankan, meskipun potensi kelautan dan perikanan Indonesia dikatakan lebih dari Rp1.500 triliun. Ia juga sepakat OJK perlu terus mengontrol dan mengamati sektor pembiayaan nelayan, terutama dari aspek kredit maupun asuransi. Pemerintah juga jangan sekedar mendorong dan menyarankan bank untuk melirik sektor maritim. Apa yang bisa dilakukan pemerintah dan menjadi kewenangannya harus berani dieksekusi untuk membangun sektor maritim, mulai dari pajak rendah, adanya insentif untuk nelayan. Selain itu, membangun infrastruktur yang memadai dan menjadikan nelayan "bankable" dengan melatih membangun usaha yang berkelanjutan dan berbagai unsur lain. "Bila tidak ditinjau ulang lagi faktor-faktor penghambat pembangunan maritim pada 2015 ini, maka pembangunan maritim hanya akan jadi wacana saja. Tentu kita tidak berharap demikian," kata Firmansyah.