Beras penyumbang kemiskinan di lumbung padi

id Angka kemiskinan

Beras penyumbang kemiskinan di lumbung padi

Seorang pedagang pengecer beras di pasar tradisional Mandalika, Mataram, melayani pembeli. (Foto Antara) (1)

"Ini pukulan bagi pemerintah daerah di tengah optimisme penurunan angka kemiskinan sebesar dua persen setiap tahun"
Mataram, 15/9 (Antara) - Provinsi Nusa Tenggara Barat menyandang status sebagai daerah lumbung pangan karena mampu memproduksi beras jauh melebihi kebutuhan masyarakatnya.

Data Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat produksi padi di daerah itu mencapai 2,1 juta ton pada 2014, sedangkan kebutuhan masyarakat setengah dari hasil produksi, sehingga kelebihannya sebagian dikirim ke daerah lain oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional (Divre) NTB, seperti Bali, Jakarta, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selain itu, para pengusaha dari provinsi lain, seperti Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, juga membeli gabah dan beras hasil produksi petani di NTB, untuk memenuhi kebutuhan di daerahnya.

Namun, predikat sebagai lumbung pangan nasional tidak menjamin masyarakat NTB yang mayoritas petani bisa meningkat kesejahteraannya dan keluar dari garis kemiskinan.

BPS NTB merilis jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 823.890 orang, bertambah sebanyak 7.260 orang atau sebesar 0,05 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada September 2014 sebanyak 816.620 orang.

Selama periode September 2014 - Maret 2015, penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah sekitar 6.570 orang atau dari 385.310 orang pada September 2014 menjadi 391.880 orang pada Maret 2015.

Begitu pula di daerah perdesaan penduduk miskin bertambah sebanyak 0,69 ribu orang atau dari 431.310 orang pada September 2014 menjadi 432.010 orang pada Maret 2015.

"Penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 19,17 persen, bertambah menjadi 19,24 persen pada Maret 2015. Begitu pula untuk penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah, yaitu dari 15,52 persen pada September 2014 menjadi 15,53 persen pada Maret 2015," kata Kepala BPS NTB Wahyudin ketika menyampaikan data kondisi kemiskinan masyarakat NTB, di Mataram, Selasa (15/9).

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung "headcount index", yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK), yang terdiri atas dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan.

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis lemiskinan.

GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita perhari. Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh sekitar 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).

GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.

Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan pada Maret 2015 adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Semester I (konsumsi pengeluaran pada Maret 2015).

Pada 2006, jumlah dan persentase penduduk miskin di NTB bertambah yang disebabkan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Maret dan Oktober 2005. Ini memicu kenaikan inflasi yang cukup tinggi. Akibatnya jumlah dan persentase penduduk miskin menjadi 1.156.144 jiwa atau 27,17 persen dari sebanyak 1.136.524 jiwa atau 25,92 persen pada 2005. Namun, sejak 2007 sampai 2014, persentase penduduk miskin terus mengalami penurunan.

Peningkatan angka penduduk miskin di NTB kembali terjadi pada 2015, di saat daya beli masyarakat memburuk akibat kondisi ekonomi nasional yang mengalami kelesuan.

Wahyudin menyebutkan, komoditas makanan yang memberi sumbangan terbesar garis kemiskinan pada Maret 2015 adalah beras, yaitu sebesar 41,17 persen di perkotaan dan 50,25 persen di perdesaan. Disusul rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua sebesar 11,47 persen di perkotaan dan 7,66 persen di perdesaan.

Komoditas lainnya adalah ikan tongkol, tuna dan cakalang sebesar 3,47 persen di perkotaan dan 2,45 persen di perdesaan, telur ayam ras 3,37 persen di perkotaan dan 2,78 persen di perdesaan, mi instan 3,20 persen di perkotaan dan 2,79 persen perdesaan, gula pasir 2,82 persen di perkotaan dan 2,90 persen di perdesaan, dan bawang merah 2,22 persen di perkotaan dan 2,65 persen di perdesaan.

"Beberapa komoditas pangan memberikan sumbangan terhadap garis kemiskinan, terutama beras di samping pengaruh pelemahan ekonomi secara nasional," ujarnya.


                                   Kemiskinan Berpotensi Bertambah

Hingga saat ini, NTB berada di urutan kelima dari 10 besar provinsi di Indonesia sebagai produsen beras terbanyak selain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Aceh.

Meskipun memegang predikat bagus dari sisi produksi, penduduk NTB belum bisa lepas dari ancaman kemiskinan hingga beberapa bulan ke depan. Pasalnya, sebagian besar penduduknya adalah petani gurem atau memiliki lahan garapan rata-rata 0,25 hektare dan menjadi petani penggarap. Sebagian juga berprofesi sebagai buruh tani.

Para pemilik sawah terbatas dan penggarap sawah milik orang yang sebelumnya menjadi produsen beras, terancam miskin karena berbalik menjadi konsumen pada musim paceklik. Begitu juga dengan para buruh tani yang hanya mengandalkan upah gabah atau beras di saat musim panen raya padi.

Wahyudin mengatakan, pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan survei kembali terhadap kondisi kemiskinan di NTB, dan akan dipublikasikan hasilnya.

Dengan kondisi gejolak harga beras yang masih berpotensi terjadi hingga berakhirnya musim paceklik dalam beberapa bulan ke depan, diperkirakan akan berpengaruh terhadap data kemiskinan.

Ia menyebutkan, harga beras sebelumnya berada di kisaran Rp8.000-an per kilogram (kg), namun saat ini sudah berada di level Rp9.500 hingga Rp10.700/kg. Dengan harga yang cenderung terus naik, tentu akan membebani masyarakat yang sebelumnya masuk dalam kategori mendekati miskin.

"Kondisi kemiskinan pada September 2015 nanti, bisa naik atau sebaliknya. Namun, melihat kondisi musim paceklik yang masih berlangsung hingga beberapa bulan ke depan, potensi meningkatnya kemiskinan ada," tutur Wahyudin.

Gejolak harga beras yang masih terjadi, kata dia, tidak hanya membebani masyarakat yang hampir miskin, tapi juga masyarakat yang sudah berada dalam kondisi miskin karena mereka harus membeli kebutuhan pokok dengan harga relatif lebih mahal.

Sementara jatah beras miskin (raskin) yang diterima dari Bulog tidak sesuai dengan jumlah yang harus diterima sebanyak 15 kilogram per rumah tangga sasaran (RTS). Sebab, pola penyaluran di tingkat dusun dilakukan dengan asas pemerataan untuk mencegah terjadinya konflik sosial.

Jumlah penerima raskin di NTB pada 2015 sebanyak 471.566 RTS, tersebar di 10 kabupaten/kota, yakni Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan Kota Bima.

"Dari hasil survei kami, rata-rata RTS menerima raskin sebanyak 3,5 kilogram dari seharusnya 15 kilogram per bulan," sebutnya.

Kepala Divre Bulog NTB M Sugit Tedjo Mulyono mengakui kondisi tersebut. Namun, pihaknya tidak memiliki tanggung jawab terhadap pemerataan penyaluran raskin kepada masyarakat. Sebab, itu merupakan ranah dari aparat pemerintahan desa.

Bulog hanya bertugas sebagai pelaksana penyaluran raskin sesuai data yang diberikan oleh BPS.

"Kalau kami mengurus masalah pemerataan penyaluran raskin, nanti Bulog disalahkan. Jadi kami hanya fokus mendistribusikan raskin hingga ke titik distribusi," ujarnya.


                                  Perlu Kebijakan Pemerintah

Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram (Unram), Dr M Firmasnyah menilai memang ada kecenderungan peningkatan harga beras, walaupun belum cukup besar. Kondisi tersebut sudah pernah dibahas bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) NTB beberapa waktu lalu.

Kondisi tersebut tidak lepas dari kekeringan yang melanda sejumlah wilayah di NTB, sehingga ada gagal panen. Namun, ia merasa heran angka kemiskinan di NTB bertambah hanya gara-gara beras.

"Saya belum tahu apa rancangan pemerintah ke depan, tapi ini pukulan di tengah optimisme penurunan angka kemiskinan sebesar dua persen setiap tahun dalam jangka waktu lima tahun ke depan," katanya.

Sebagai sentra produksi beras, menurut dia, peningkatan angka kemiskinan disebabkan meningkatnya harga kebutuhan pokok mestinya tidak terjadi di NTB.

Oleh sebab itu, perlu dilihat apa persoalan di lapangan. Misalnya ketersediaan dan rantai distribusi beras dari produsen ke konsumen. Sebab, Bulog NTB menyatakan stok beras aman hingga beberapa bulan ke depan.

"Data riil BPS itu bisa menurunkan keredibilitas pemerintah. Bahkan, nanti ada saja yang memanfaatkan peluang ini mencari rente," ucapnya.

Firmansyah menyarankan agar pemerintah daerah segera mengoptimalkan dana desa. Misalnya untuk menghidupkan usaha koperasi, lembaga keuangan mikro, atau badan usaha milik desa.

Optimalisasi dana desa menjadi salah satu cara untuk mencegah meningkatnya angka kemiskinan karena persoalan kenaikan harga bahan pokok. Apalagi hingga saat ini tidak ada kompensasi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat terhadap pelemahan ekonomi. Misalnya, dalam bentuk bantuan langsung tunai untuk meningkatkan daya beli. Selain itu, penurunan harga BBM yang bisa mendorong turunnya harga komoditas pangan di daerah.

"Pencanangan percepatan realiasi dana desa Itu harus cepat dilakukan, kalau memang Presiden Joko Widodo ingin menyelesaikan persoalan jangka pendek di tengah meningkatnya angka kemiskinan secara nasional," kata Firmansyah.

Ia juga mendukung langkah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) untuk melarang beras NTB dibawa ke provinsi lain, sebelum target penyerapan Bulog NTB sebanyak 100 ribu ton terpenuhi.

Program penyerapan 100 ribu ton setara beras ke Bulog NTB merupakan bagian dari program nasional penyerapan beras sebanyak 2,5 juta ton pada 2015.

Dari target 100 ribu ton yang harus dipenuhi hingga akhir September 2015, yang sudah terealisasi baru 37 ribu ton atau 37 persen saja. Sementara sisa waktu penyerapan kurang dari 30 hari lagi.

"Saya mendukung langkah TNI AD karena itu instruksi presiden untuk mengamankan ketahanan pangan. Namun, jangan terkesan membuat kepanikan di tengah masyarakat karena dilakukan mendadak," kata Firmansyah. (*)