Hakim vonis Bupati Lombok Barat empat tahun penjara

id Bupati Lobar

Hakim vonis Bupati Lombok Barat empat tahun penjara

VONIS KORUPSI BUPATI LOMBOK BARAT Bupati Lombok Barat, Zaini Arony (tengah) berbincang dengan istrinya, Nanik Suryatiningsih (kedua kanan) seusai mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Rabu (30/9). Majelis haki

Denpasar (Antara NTB) - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi   Denpasar, Bali, memvonis Bupati Lombok Barat Zaini Arony (60) hukuman empat tahun penjara dalam kasus penyalahgunakan kekuasaannya terkait perizinan penggunaan pemanfaatan tanah 2012.

         Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Denpasar, Rabu, Ketua Majelis Hakim Prim Hariadi juga mewajibkan terdakwa membayar denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan penjara.

         Hukuman itu juga terkait dengan pemerasan Rp1,4 miliar terhadap korban Gede Djaja yang dilakukan terdakwa.

         "Terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar hakim.

         Hakim tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang dinilai terlalu berlebihan.

         Vonis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU dalam sidang sebelumnya yang menuntut terdakwa hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan serta pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum itu.

         Hal yang meringankan hukuman terdakwa karena bersikap sopan dalam persidangan, ikut terlibat mengembangkan potensi pariwisata didaerah itu, pernah mendapatkan penghargan dari pemerintah atas jasanya dan menjadi tulang punggung keluarga.

         Dalam dakwaan disebutkan bahwa korban pada Oktober 2010 berkeinginan berinvestasi tanah seluas 170 hektare dengan kesepakatan harga Rp28 miliar untuk membangun kawasan wisata di Desa Buwun Mas, Lombok Barat, untuk menciptakan lapangan pekerjaan di daerah setempat.

         Oleh karena itu, untuk membangun kawasan wisata itu korban harus membuat izin pemanfaatan ruang seperti izin prinsip, izin lokasi, dan izin pengunaan pemanfaatan tanah (IPPT).

         Korban diajak bekerja sama oleh terdakwa untuk mengajukan izin tersebut, dengan menggunakan nama perusahaan PT Kembang Kidul Permai untuk mengajukan izin tersebut.

         Korban yang menunggu perizinan dari terdakwa selaku pejabat negara justru meminta uang kepada Putu Gede Djaja selaku komisaris utama PT Djaja Business Group, pada 2010 hingga 2013, dan terdakwa melakukan pemerasan untuk pembuatan IPPT, proyek pembangunan kawasan wisata terpadu di Desa Buwun Mas, Lombok Barat.

         Terdakwa melakukan pemerasan terhadap korban, untuk melancarkan perizinan IPPT itu dengan meminta sebanyak dua unit mobil Toyota Innova dengan total Rp295 juta, jam tangan rolex Rp130 juta, satu cincin mata kucing Rp64 juta, uang tunai total Rp700 juta, dan tanah seluas 29.491 meter persegi, di Desa Buwun Mas, Lombok Barat, untuk melancarkan proses perizinan itu.

         Akibat permintaan terdakwa yang begitu banyak untuk proses perizinan IPPT tersebut, korban merasa tertekan lahir batin. (*)