Polda NTB tunggu audit BPKP terkait penyidikan "Parsel"

id Polda NTB

Polda NTB tunggu audit BPKP terkait penyidikan "Parsel"

(1)

"Untuk rilis apakah ada atau tidak nilai kerugian negaranya masih dalam tahap audit di BPKP"
Mataram (Antara NTB) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat hingga kini masih menunggu hasil audit tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait penyidikan kasus "parsel" di lingkup Pemerintah Kabupaten Lombok Timur tahun 2014.

Kapolda NTB melalui Direktur Reserse dan Kriminal Khusus (Direskrimsus) Kombes Pol Prasetijo Utomo di Mataram, Selasa, mengaku bahwa hingga kini pihaknya belum bisa menggelar perkara atas penetapan tersangkanya, mengingat penyidik hingga kini belum menerima hasil audit dari tim BPKP Perwakilan NTB.

"Untuk rilis apakah ada atau tidak nilai kerugian negaranya masih dalam tahap audit di BPKP, kalau sudah ada itu, baru kita bisa gelar perkara," kata Prasetijo Utomo.

Sambil menunggu hasil audit tim BPKP Perwakilan NTB, penyidik hingga kini masih melakukan pemeriksaan terhadap para saksi yang berasal dari para penerima "parsel".

"Baru 86 saksi yang diperiksa, masih sekitar 50 persen belum, mereka ini berasal dari para penerima bingkisannya maupun instansi pemerintahan setempat yang juga mendapatkan," ujarnya.

Dari pemeriksaan tersebut, lanjutnya, penyidik telah mengantongi sejumlah keterangan yang tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) saksi. Pertanyaan yang dilayangkan antara lain tentang penyaluran bingkisan tersebut.

"Apakah benar menerima, kemudian paket yang diterima berisi apa saja, sudah kami dapatkan. Tapi itu masih sebagian, belum keseluruhannya," ucap Prasetijo Utomo.

Diketahui, pengadaan bingkisan lebaran atau yang dikenal dengan sebutan "parsel" ini menelan anggaran sebesar Rp15,1 miliar yang pendanaannya bersumber dari APBD Pemkab Lombok Timur tahun 2014. Penyaluran "parsel" tersebut dilakukan dalam dua tahapan.

Pada tahap pertama, pemkab setempat menyalurkan "parsel" sebanyak 50.000 paket dengan nilai anggaran mencapai Rp12,4 miliar. Kemudian pada tahap kedua, pengadaannya sejumlah 13.500 dengan nilai anggaran mencapai Rp2,7 miliar.

Diduga dalam penyaluran "parsel" tersebut tidak seutuhnya disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu, melainkan ada juga pihak pegawai negeri yang menerima. Hal itu kemudian dilaporkan telah terjadi dugaan penyimpangan karena tidak sesuai dengan petunjuk pelaksana (juklak) maupun petunjuk teknis (juknis). (*)