Raperda Masyarakat Adat Sumbawa penting atasi sengketa lahan

id Masyarakat Adat

Raperda Masyarakat Adat Sumbawa penting atasi sengketa lahan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 24 Januari 2016. (Antara Foto) (1)

"Kalau Perda disahkan, mereka (masyarakat adat) akan merasa aman, tidak was-was lagi, tidak kuatir wilayah mereka diklaim pihak lain"
     Sumbawa, (Antara NTB) - Raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat harus segera disahkan agar sengketa kepemilikan lahan masyarakat adat bisa diselesaikan.

        "Kalau Perda disahkan, mereka (masyarakat adat) akan merasa aman, tidak was-was lagi, tidak kuatir wilayah mereka diklaim pihak lain," kata Kepala Bidang Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sumbawa, Febriyan Anindita, di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Kamis.

        Pihaknya mencatat adanya konflik lahan terkait isu masyarakat adat di Sumbawa, salah satunya terjadi di komunitas adat Kanar di Desa Labuan Badas, Kecamatan Labuan Badas, Sumbawa Besar.

        Dari 3.100 hektar wilayah adat yang sudah dipetakan, 1.000 hektar diantaranya masuk wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

       "Rumah penduduk di situ disuruh pindah oleh KPH, padahal itu merupakan wilayah adat. Ada saling klaim di situ," katanya.

       LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berupaya mendorong belasan masyarakat adat dan hak-hak mereka untuk diakui secara hukum melalui peraturan daerah yang saat ini masih berupa rancangan.

        Rancangan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Sumbawa saat ini masih dalam tahap uji publik.

        Raperda tersebut, menurutnya sangat penting karena menjadi payung hukum bagi perlindungan keberadaan sejumlah komunitas adat di Kabupaten Sumbawa.

        AMAN mencatat ada sekurangnya 17 komunitas adat di Kabupaten Sumbawa. Namun demikian, baru lima komunitas adat yang sudah terverifikasi. Sementara 12 komunitas adat lainnya masih belum diverifikasi.

       Komunitas adat tersebut belum diakui kepemilikan komunalnya yang berbasis adat terutama yang berkaitan dengan tanah. Hal tersebut sering menimbulkan masalah pengelolaan dan penguasaan lahan.

         "Langkah ini (raperda) untuk memperjelas status hutan," katanya.

        Kasus ini berawal dari LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 terkait Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

         Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa hutan adat masuk dalam wilayah hutan negara.

        Atas gugatan tersebut, MK akhirnya mengeluarkan Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang mengembalikan hutan adat ke masyarakat adat.

        Kendati demikian untuk mendapatkan hutan adat, masyarakat adat setempat harus mendapat pengakuan resmi dalam bentuk peraturan daerah (perda).

Editor : E.S. Syafei
(*)