DPRD Sorot Kontribusi Angkasa Pura di NTB

id DPRD NTB

DPRD Sorot Kontribusi Angkasa Pura di NTB

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD NTB Raden Nuna Apriadi.

"Kita menilai selama ini kewenangan provinsi di dua objek investasi itu tidak ada sama sekali. Jangankan kewenangan, dapat kontribusi saja bagi daerah tidak ada,"
Mataram (Antara NTB) - Fraksi PDI Perjuangan DPRD Nusa Tenggara Barat menyoroti kontribusi Angkasa Pura I terkait investasi pemerintah provinsi di Bandara Internasional Lombok, termasuk di kawasan ekonomi khusus Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, yang digarap PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero).

"Kita menilai selama ini kewenangan provinsi di dua objek investasi itu tidak ada sama sekali. Jangankan kewenangan, dapat kontribusi saja bagi daerah tidak ada," kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan Raden Nuna Apriadi di Mataram, Jumat.

Ia menyatakan, sorotan PDI Perjuangan tersebut wajar. Sebab, jika ditelaah, investasi penanaman modal di dua lokasi itu hanya sia-sia, karena selama ini tidak ada keuntungan yang diperoleh daerah.

"Kita ambil contoh di KEK Mandalika Kabupaten Lombok Tengah. Pemprov sejak awal terlibat dalam hal perencanaan, pembebasan lahan hingga penyiapan infrastruktur dasar di wilayah tersebut. Tapi setelah kawasan itu ditetapkan sebagai KEK nasional, malah pemerintah daerah NTB sama sekali tidak masuk dalam unsur pengelolaannya," ucapnya.

Ia menilai, daerah dikatakan akan mendapat keuntungan dari lokasi investasi bernilai triliunan rupiah tersebut, padahal hanya jadi penonton, karena HPL seluruhnya telah dikuasi PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

Hal serupa juga terjadi di Bandara Internasional Lombok atau kini disebut Lombok International Airport (LIA). Parahnya, Pemrov NTB malah merencanakan menjual aset secara total berupa tanah, apron, dan "taxi way". Jelas ini nantinya akan merugikan dan karena itu tidak lagi menjadi milik provinsi.

"Kalau kita merujuk sejarah, maka pembangunan BIL itu bersumber dari dana daerah senilai Rp110 miliar. Seharusnya, aset berupa tanah dan dana itu sangat layak untuk dijadikan penyertaan modal berupa saham, tapi sayangnya hal itu tidak dilakukan pemerintah daerah. Yang ada, malah pemerintah provinsi ingin menjual seluruh asetnya," jelas Nuna.

PDIP berpandangan, kata Nuna, kebijakan pemprov melakukan hal-hal tersebut lebih pada lemahnya SKPD terkait melihat potensi pasar. Seharusnya, jika tidak paham investasi, pihak luar yakni lembaga independen yang berkompeten dan bisa melakukan analisa harus digandeng dan dilibatkan.

"Jadi kita sayangkan aset yang begitu bernilai bagi daerah dan masyarakat NTB ini nantinya harus terlepas menjadi milik orang lain," kata Raden Nuna. (*)