KKP Cari Masukan Terkait Jenis Ikan Masuk "Appendix"

id Ikan Appendix

KKP Cari Masukan Terkait Jenis Ikan Masuk "Appendix"

"Kami perlu menjaring masukan karena kebijakan jenis ikan Appendix II, khususnya mobula akan diberlakukan mulai April 2017"
Lombok Timur (Antara NTB) - Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar konsultasi publik di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis, dalam rangka mencari masukan terkait penyusunan kebijakan jenis ikan yang telah masuk Appendix II.

"Kami perlu menjaring masukan dan mendengarkan pendapat berbagai pihak karena kebijakan jenis ikan Appendix II, khususnya mobula akan diberlakukan mulai April 2017," kata Kepala Sub Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP Syamsul Bahri Lubis.

Appendix adalah daftar yang memuat jenis-jenis flora dan fauna yang perdagangannya perlu diawasi, diatur dan dikendalikan.

Syamsul menjelaskan, Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden Nomor 43 tahun 1978.

Oleh karena itu, segala ketentuan terkait perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar yang digolongkan terancam (Appendix) harus mengikuti ketentuan CITES.

Jenis ikan yang masuk dalam Appendik II adalah hiu rubah laut (Alopias vulpinus), hiu sutra (Carcharhinus falciformis), dan pari mobula (Mobula munkiana).

Karena telah masuk Appendix II, kata dia, maka akan mempengaruhi perdagangan komoditas tersebut secara langsung maupun tidak langsung.

"Makanya diperlukan pengaturan pemanfaatannya di dalam negeri sebelum regulasi CITES tersebut benar-benar telah siap untuk diterapkan," ujarnya.

Dalam pemaparannya, Syamsul menyampaikan bahwa pada saat pelaksanaan COP CITES ke-17, delegasi Indonesia memberikan tanggapan, yaitu Indonesia sangat peduli dalam upaya pengelolaan perikanan hiu dan pari dengan mempehatikan kaidah konservasi.

Namun tidak mengingikan hiu dan pari masuk dalam Appendik II CITES. Artinya Indonesia menolak jenis-jenis ikan tersebut dimasukkan dalam daftar Appendix II CITES.

Ia menambahkan, namun karena lebih banyak negara yang mendukung usulan tersebut sehingga mau tidak mau Indonesia harus menerima keputusan masuknya hiu dan mobula ke dalam Appendix II CITES dan mematuhi tata cara perdagangannya.

"Makanya kami menawarkan sebelum aturan CITES siap diterapkan, regulasi yang akan dikeluarkan adalah berupa pelarangan ekspor mobula seperti halnya pelarangan ekspor hiu martil," katanya.

Sementara itu, Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Mudatsir, mengatakan apapun aturan yang dikeluarkan nantinya, pihaknya akan siap mengawal, memberikan sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakat.

"Kami juga akan memberikan pelayanan rekomendasi peredaran hiu dan pari yang selama ini sudah berjalan dengan baik," ujarnya.

Konsultasi publik digelar oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS), di gedung Balai Pelatihan dan Pendidikan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (BP5K) Tanjung Luar, diikuti oleh sejumlah pihak yang bersinggungan dengan pemanfaatan hiu dan pari di wilayah Tanjung Luar.

Pihak-pihak tersebut adalah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB, DKP Kabupaten Lombok Timur, Balai Karantina Ikan Kelas II Wilayah Kerja Mataram, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, Perwakilan Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan dan Kelautan Tanjung Luar, pengelola Tempat Pelelangan Ikan Tanjung Luar, nelayan, pengepul, pedagang, pengolah hiu dan pari, serta WCS Indonesia Program.

Penyelenggara kegiatan berharap melalui konsultasi publik tersebut akan menghasilkan pemahaman dan kesepakatan bersama dalam rangka pengaturan jenis ikan yang masuk Appendix II CITES, khususnya pari mobula yang akan diterapkan secara nasional. (*)