Nelayan Lombok Berikrar Berhenti Menangkap Benih Lobster

id Ikrar Nelayan

Nelayan Lombok Berikrar Berhenti Menangkap Benih Lobster

Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto (kanan dua), bersalaman dengan nelayan usai pembacaan dan penandatanganan ikrar berhenti menangkap benih lobster di Teluk Bumbang, Desa Mertak, Kabupaten Lombok Tengah, N

"Nelayan juga berikrar melaporkan penerima bantuan yang masih melakukan aktivitas penangkapan benih kepada pemerintah dan aparat terkait"
Lombok Tengah (Antara NTB) - Seratusan nelayan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, berikrar berhenti menangkap benih lobster yang dilarang sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Pembacaan dan penandatanganan ikrar dilakukan di sentra penangkapan benih lobster terbesar di Pulau Lombok, yakni di Teluk Bumbang, Desa Mertak, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (19/6).

Ikut menyaksikan pembacaan ikrar, Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP Rifky Effendi Hardijanto, Wakil Gubernur NTB H Mohammad Amin, dan Wakil Bupati Lombok Tengah Fathul Bahri.

Seratusan nelayan tersebut merupakan bekas penangkap benih lobster yang berasal dari Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat dan Lombok Timur.

Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto, mengatakan ikrar tersebut berisi antara lain menyatakan berhenti menangkap benih lobster atau lobster ukuran berat 200 gram atau di bawahnya dan yang sedang bertelur.

Para nelayan juga akan beralih ke usaha bidang kelautan dan perikanan, bersedia memusnahkan alat tangkap benih, dan turut serta menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.

"Mereka juga berikrar melaporkan penerima bantuan yang masih melakukan aktivitas penangkapan benih kepada pemerintah dan aparat terkait," katanya.

Sebelumnya, kata dia, pemerintah melalui KKP telah mengeluarkan Peraturan Menteri KP Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan dan Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal tersebut dilatarbelakangi fenomena eksploitasi benih lobster di alam secara tak terkendali dan secara nyata menyebabkan penurunan stok sumber daya lobster di perairan laut Indonesia.

Aturan tersebut mengatur larangan penangkapan lobster bertelur dan/atau ukuran berat kurang atau sama dengan 200 gram atau lebar karapas kurang dari atau sama dengan 8 centimeter.

Sebagai gambaran, lanjut Slamet, pada tahun 2015 setidaknya sebanyak 1,9 juta ekor penyelundupan benih lobster berhasil digagalkan, dengan nilai ekonomi diperkirakan menyampai Rp98,3 miliar.

Sedangkan berdasarkan data Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kelas II Mataram, dalam rentang tahun 2014 total benih lobster yang keluar dari NTB tercatat 5,6 juta ekor dengan nilai mencapai Rp130 miliar.

Oleh sebab itu, implementasi Permen KP Nomor 56 tahun 2016, bukan semata-mata didasarkan pada niatan untuk mematikan usaha masyarakat, namun pemerintah justru ingin menyelamatkan kepentingan yang lebih besar yaitu bagaimana menyelamatkan sumber daya lobster agar nilai ekonominya bisa dinikmati secara jangka panjang.

"Pemberlakuan aturan tersebut harus disikapi sebagai bagian dari pembelajaran bagi kita semua, bahwa kita punya tanggung jawab mengelola sumber daya secara berkelanjutan," katanya. 

Pada kesempatan itu, Sekjen KKP Rifky Effendi Hardijanto, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, bersama nelayan membakar peralatan yang biasa digunakan menangkap benih lobster.

Ikut juga Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Rina, Wakil Gubernur NTB H Mohammad Amin, dan Wakil Bupati Lombok Tengah Fathul Bahri.

Aksi pembakaran tersebut sebagai bentuk komitmen para nelayan untuk berhenti menangkap benih lobster dan beralih profesi sebagai pembudidaya perikanan. (*)