ICW: Waspadai Transaksi Izin Tambang Untuk Pilkada

id PILGUB NTB

Dari penelitian kami di tahun 2013-2014, banyak sekali izin-izin pertambangan disalahgunakan sehingga menjadi salah satu titik utama rawan korupsi di Indonesia
Mataram (Antara NTB) - Peneliti hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter meminta aparat penegak hukum mewaspadai kerawanan dan risiko korupsi pada pemberian izin pertambangan menjelang perhelatan Pilkada seretak tahun 2018.

"Dari penelitian kami di tahun 2013-2014, banyak sekali izin-izin pertambangan disalahgunakan sehingga menjadi salah satu titik utama rawan korupsi di Indonesia," kata Lalola Easter usai acara Diseminasi Hasil Survei Antikorupsi tahun 2017 bersama Polling Center yang di gelar bersama Aktivis Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) Nusa Tenggara Barat di Kota Mataram, Selasa.

Ia menyebutkan salah satu izin yang sering dijadikan alat barter untuk meloloskan calon kepala daerah tertentu adalah pelelangan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

Ia mengatakan semua pihak harus mulai fokus mengawasi persoalan perizinan tersebut. Apalagi, merujuk data KPK pada April tahun 2013, sebanyak 3.982 dari 10.348 total IUP berstatus tidak "Clear and Clean" (CnC). Itu berarti hanya 61,52 persen atau 6.366 dari total IUP yang layak beroperasi.

"NTB, serta provinsi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang memang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) perlu menjadi fokus perhatian untuk dipantau keberadaan izin-izin yang terbitkan, khususnya jelang Pilkada 2018," katanya.

Ia menyebutkan kerawanan lain yang berpotensi korupsi di sektor pertambangan juga disebabkan sistem audit keuangan dan pertambangan lemah, penegakan hukum lemah, kurang transparansi dan akses publik pada informasi mengenai IUP.

"Koordinasi antarinstansi pemerintah juga lemah dan belum kuat kerangka peraturan dalam mendukung tata kelola pertambangan," ucapnya.

Ia menambahkan, agar kasus dugaan korupsi pada sektor pertambangan, di mana KPK baru-baru ini telah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka, tidak terjadi di daerah lainnya, semisal di NTB, maka pihaknya berharap juga partisipasi publik memantau proses perizinan tersebut.

"Kami juga sudah mendesak Pemprov NTB segera membuat `one map` yang jelas terkait lokasi pertambangan di daerah ini. Hal ini penting agar publik dapat melakukan pengawasan terkait proses perizinan tersebut," tandas Lalola. (*)