NTB Belum Merdeka dari Kesulitan Air Bersih

id Krisis Air

NTB Belum Merdeka dari Kesulitan Air Bersih

ilustrasi - Sejumlah warga antre untuk mendapatkan air bersih dari mobil tangki milik Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB yang didroping ke Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, NTB. (Foto ANTARA)

"Dikatakan belum merdeka bisa saja karena memang begitu adanya dan bisa semakin parah"
Mataram (Antara NTB) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat Mori Hanafi menyatakan bahwa sebagian penduduk di daerah ini belum merdeka dari kesulitan air bersih pada musim kemarau meskipun sumber daya air melimpah.

"Dikatakan belum merdeka bisa saja karena memang begitu adanya dan bisa semakin parah," kata Mori Hanafi ketika ditanya mengenai kondisi ratusan desa yang terdampak kekeringan, di Mataram, Kamis.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, tercatat sebanyak 318 desa terdampak kekeringan. Semuanya tersebar di 71 kecamatan di 9 kabupaten/kota, kecuali Kota Mataram.

Sementara jumlah penduduk yang terdampak kekeringan pada musim kemarau tahun 2017 sebanyak 127.940 kepala keluarga atau 640.048 jiwa.

Menurut Mori, jumlah desa yang terdampak kekeringan pada musim kemarau setiap tahun bisa terus bertambah. Pasalnya, aktivitas perambahan hutan secara ilegal masih marak terjadi.

"Pohon yang ada di hutan itu fungsinya menyerap dan menyimpan air. Tapi faktanya, pada musim kemarau sumber mata air semakin sedikit karena pohon di hutan banyak dirusak," ujar politisi Partai Gerindra ini.

Menurut pria yang akan maju pada pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur NTB pada 2018 ini, untuk menjaga kelestarian sumber daya air diperlukan komitmen semua pihak untuk memberantas perbuatan perambahan hutan secara ilegal.

Solusi lainnya adalah melakukan penghijauan kembali hutan yang gundul, meskipun membutuhkan biaya mahal dan waktu yang relatif lama. Namun itu wajib dilakukan.

Dengan kembalinya kelestarian hutan, kata Mori, akan memberi dampak terhadap ketersediaan air.

Melimpahnya air di kawasan hutan bisa juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah-daerah yang kondisi alamnya memang kering, terutama di selatan Pulau Lombok.

"Teknologi pipanisasi dari sumber mata air di kawasan hutan di wilayah utara Pulau Lombok, bisa menjadi alternatif untuk mengalirkan air ke wilayah selatan," ucapnya pula.

Ia juga menyarankan agar pemerintah daerah dan masyarakat di wilayah selatan Pulau Lombok untuk melakukan penghijauan.

Demikian juga di kabupaten/kota di Pulau Sumbawa yang terdampak kekeringan. Masyarakatnya perlu melakukan penghijauan dan berkomitmen menjaga kelestarian hutan.

"Daerah terdampak kekeringan di Pulau Sumbawa itu kan dekat dengan kawasan pegunungan hutan," katanya.

Sementara itu, warga Desa Batulayar Barat, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, hingga saat ini masih mengandalkan air tadah hujan untuk keperluan sehari-hari.

"Masih ada ribuan jiwa yang memanfaatkan air tadah hujan. Ada juga yang mengambil air ke bawah menggunakan sepeda motor untuk minum. Kondisi ini sudah puluhan tahun," ujar M Sadia, tokoh masyarakat Desa Batulayar Barat.

Mantan kepala desa ini mengaku sedang menyusun proposal yang akan dikirim ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Ia berharap pemerintah pusat nantinya bisa membuatkan semacam sumur bor atau teknologi lainnya agar penduduk di daerahnya tidak lagi mengandalkan air hujan atau mencari air bersih di sumber mata air yang jaraknya tiga kilometer. (*)