Mataram (ANTARA) - Kilasan simak melalui multimedia, membaca ringkas wacana konsep, mendengar pendedahan pravisi misi, melihat berbagai terma dari alat peraga bakal kandidat yang diresap.
Izinkan saya menengarai bahwa gagasan dan wacana dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020 adalah sebentuk penyegaran, pemugaran atau rejuvenasi dari visi misi yang belum menjadi mercusuar dalam kebijakan dan realita. Pun demikian, sebentuk visi misi baru, visi misi bergengsi yang sarat dengan tawaran terkini, sesuai tren zaman: akselerasi.
Banyak opsi yang mengalami pembaruan dan pengulangan. Mainstream berpijak pada visi misi normatif, tumpang tindih dari periode ke periode. Visi misi yang beku dari lenturnya terapan atau bergejala semacam gagasan resmi, dikebut 1001 malam sebagai semalam.
Kalau boleh bertamsil, jalan yang masih berliku, air yang kian sulit, hutan yang kontur tanahnya keropos, sungai yang kotor, aturan yang rumit, mengurus layanan publik yang ribet, sarana publik yang kumuh, area rileks tak tampak sepanjang rute, laut yang nirtaman, mekanisme pengobatan yang acakadut, jaminan asuransi yang gugup, pabrik yang belum menggenapi jumlah angkatan kerja, tanah-tanah tandus yang dibiarkan tak produktif dan sederetan rikues aspirasi lainnya. Kesemuanya terangkum dari candradimuka imajiner 5-10 tahun mendatang dari sisi kecenderungan masyarakat postmodern.
Bertamsil kemudahan sekaligus (mungkin) kecanggihan sarana. Dulunya, orang menaiki ketinggian perlu tangga, kini butuh eskalator, bahkan lift. Dahulu mungkin orang bepergian jalur dekat, kini jalur jauh berkeliling dan bisa berkali-kali. Dulunya, orang kebanyakan tak begitu senang ke hutan, mata air, gunung perbukitan, kini justru menjadi agenda wikenan.
Dahulu orang cukup mencari ikan di pasar, kini singgah ke pantai untuk mencari biota segar untuk dikonsumsi. Dulunya orang bekerja secara manual kini komputerisasi (demokrasi digital). Dahulu orang senang berdiam saja (ngaso) ketika rehat, kini berorientasi bergerak joging dan jalan sehat. Dulunya kebanyakan orang menggunakan tenaga dalam bekerja, kini dikonversi melalui teknologi dan terapan yang lebih simpel. Uang elektronik pun kini telah mulai menjadi alat tukar pembayaran.
Dalam pada itu pula, tak kalah urgensi, dulunya alam bukan ancaman dari bencana lantaran naturalnya. Kini alam merupakan kebutuhan ekologi untuk direvitalisasi. Kembali pada ekosistem alam. Dahulu tak terpikirkan bahwa daur ulang plastik, daur ulang sampah, daur ulang bahan baku bangunan menjadi hal yang diprioritaskan. Kini orientasi pada penghematan panas dan pendaurulangan bahan-bahan yang mengalami sulit reduksi, kepekaan lingkungan hidup.
Vini Vidi Vici
Agaknya terminologi populer dari Julius Caesar Pemimpin Romawi kisaran 47 SM pernah menyatakan Vini Vidi Vici yang sohor itu. Seolah "menegur" visi misi para kandidat yang masih buram. Keburamannya bisa dari aspek kepekaan filosofi untuk menggagas konsep kebijakan resmi pada masa mendatang, agar warga merasakan seberapa mangkus sekaligus seberapa sangkil hidup dengan mudah dan murah. Hidup simpel dan sarat ketersediaan yang beraturan. Kata milenial sekarang: hidup pola minimalis, dampak benefaktif maksimal dan siklus usahanya optimal.
Bila dijabarkan, hidup dengan berbagai kemudahan, berbiaya murah, mengurus apa-apa singkat, kemana-mana ada sarananya. Tak terbebani dengan kendala-kendala teknis. Ringkas dan simpel. Pemerintah daerah mana yang bisa, atau para kandidat siapa yang sanggup? Itulah yang kiranya dipilih tanpa tedeng aling-aling, secara mantap jiwa. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa pikir panjang memilih disebabkan tren kehidupan kian minimalis. Mantap jiwa memilih disebabkan punya solusi bagi kalangan milenial, sekaligus kompatibel dengan kebutuhan kaum pendahulunya: pemilih dewasa 10-30 tahun diatasnya. Bahkan bagi yang bukan atau belum memenuhi persyaratan sebagai pemilih, di bawah 17 tahun.
Apakah itu? Sederhananya dipilah menjadi empat perihal. Pertama, tren masyarakat ingin adanya realisasi dari masalah keseharian yang berkaitan dengan kebutuhan primer. Sembako ada dan tidak langka, harga terjangkau dari pasar hingga supermarket. Menyasar masyarakat pemilih yang berurusan dengan rumah tangga, tetapi berpengaruh pada segmentasi masyarakat klaster lainnya. Lantaran sebagai denyut nadi terutama pada masyarakat rural dan sebagian urban.
Kedua, penyediaan sarana publik yang kompatibel dan sesuai dengan kebutuhan nyata. Bagi masyarakat sarana publik mesti tampak bisa digunakan. Kompatibel dari sisi penggunaannya, nyata dari sisi realisasinya. Bagi masyarakat desa, sarana semacam pintu pengaturan air, waduk/bendungan, tandon induk untuk tampungan air bersih, rabat jalan, drainase pengairan hingga tempat pelelangan ikan menjadi kebutuhan nyata. Sedangkan bagi masyarakat perkotaan, sarana publik seperti taman olahraga dan bermain, panggung atraksi, sarana mitigasi kebencanaan, halte rest area, pojok wifi publik, lintasan bersepeda, taman pesisir pantai, dan sebagainya menjadi damba bila berwujud nyata.
Ketiga, penggodokan konsep visi misi selayaknyalah dikerubuti para ahli. Sarat dengan hipotesa berbagai penjabaran komparasi. Uji petik terkait rasionalnya gagasan untuk bisa diserap dengan semangkus sangkil mungkin disesuaikan dengan potensi budgeting atau selinier dengan terobosan untuk bisa sejajar dengan prestasi daerah lainnya yang telah lebih awal mengalami kemajuan.
Keempat, visi misi yang seritme dengan kehendak khalayak tercermin pada kemampuan mendengar aspirasi (partisipatif) dan keluhan untuk mengatasi persoalan. Untuk hal ini, rasanya belum terdengar kendati sayup-sayup. Pasangan calon sesungguhnya bisa menyerap aspirasi terhadap konsep visi misi secara simultan. Media lazimnya hanya mengabarkan paslon pada langkah-langkah dukungan dari gerbong partai politik. Tak keliru, tetapi visi misi seyogianyalah mendapatkan porsi primer pula sebagai petanda bahwa adanya gagasan merupakan susulan serius dari apa yang rencana diejawantahkan. Termasuk pada forum-forum akademik.
Sudahkah aspirasi realita ada pada penjabaran visi misi para kandidat, ataukah hanya "konsep melangit yang nyaris tak tersentuh bumi"? Dari tajuk visi, ulasan misi, uraian kebijakan lima tahunan, program unggulan dan peneguhan komitmen terhadap gagasan-gagasan untuk memajukan masyarakat. Pemeo selewatan: "jangan hanya paslon saja yang maju, tetapi kelak bila memimpin, masyarakatnya juga mesti maju bersama pemimpinnya".
Tampaknya hari-hari panjang ditunjukkan melalui kesanggupan menyuarakan kehendak khalayak ke dalam visi misi yang otentik menerap nyata. Mengimajineri Julius Caesar sekali lagi, vini vidi vici. Visi misi paslon mesti membumi dan rinci. Bukan sekadar basa-basi, agar mengembannya kelak, tak gagap dirundung kuasa quasi. Memimpin dengan keadilan bernurani.
-------
Penulis adalah Birokrat Pemda Lombok Utara; Penulis Buku Nalar Pemilu dan Demokrasi (2011).
Izinkan saya menengarai bahwa gagasan dan wacana dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020 adalah sebentuk penyegaran, pemugaran atau rejuvenasi dari visi misi yang belum menjadi mercusuar dalam kebijakan dan realita. Pun demikian, sebentuk visi misi baru, visi misi bergengsi yang sarat dengan tawaran terkini, sesuai tren zaman: akselerasi.
Banyak opsi yang mengalami pembaruan dan pengulangan. Mainstream berpijak pada visi misi normatif, tumpang tindih dari periode ke periode. Visi misi yang beku dari lenturnya terapan atau bergejala semacam gagasan resmi, dikebut 1001 malam sebagai semalam.
Kalau boleh bertamsil, jalan yang masih berliku, air yang kian sulit, hutan yang kontur tanahnya keropos, sungai yang kotor, aturan yang rumit, mengurus layanan publik yang ribet, sarana publik yang kumuh, area rileks tak tampak sepanjang rute, laut yang nirtaman, mekanisme pengobatan yang acakadut, jaminan asuransi yang gugup, pabrik yang belum menggenapi jumlah angkatan kerja, tanah-tanah tandus yang dibiarkan tak produktif dan sederetan rikues aspirasi lainnya. Kesemuanya terangkum dari candradimuka imajiner 5-10 tahun mendatang dari sisi kecenderungan masyarakat postmodern.
Bertamsil kemudahan sekaligus (mungkin) kecanggihan sarana. Dulunya, orang menaiki ketinggian perlu tangga, kini butuh eskalator, bahkan lift. Dahulu mungkin orang bepergian jalur dekat, kini jalur jauh berkeliling dan bisa berkali-kali. Dulunya, orang kebanyakan tak begitu senang ke hutan, mata air, gunung perbukitan, kini justru menjadi agenda wikenan.
Dahulu orang cukup mencari ikan di pasar, kini singgah ke pantai untuk mencari biota segar untuk dikonsumsi. Dulunya orang bekerja secara manual kini komputerisasi (demokrasi digital). Dahulu orang senang berdiam saja (ngaso) ketika rehat, kini berorientasi bergerak joging dan jalan sehat. Dulunya kebanyakan orang menggunakan tenaga dalam bekerja, kini dikonversi melalui teknologi dan terapan yang lebih simpel. Uang elektronik pun kini telah mulai menjadi alat tukar pembayaran.
Dalam pada itu pula, tak kalah urgensi, dulunya alam bukan ancaman dari bencana lantaran naturalnya. Kini alam merupakan kebutuhan ekologi untuk direvitalisasi. Kembali pada ekosistem alam. Dahulu tak terpikirkan bahwa daur ulang plastik, daur ulang sampah, daur ulang bahan baku bangunan menjadi hal yang diprioritaskan. Kini orientasi pada penghematan panas dan pendaurulangan bahan-bahan yang mengalami sulit reduksi, kepekaan lingkungan hidup.
Vini Vidi Vici
Agaknya terminologi populer dari Julius Caesar Pemimpin Romawi kisaran 47 SM pernah menyatakan Vini Vidi Vici yang sohor itu. Seolah "menegur" visi misi para kandidat yang masih buram. Keburamannya bisa dari aspek kepekaan filosofi untuk menggagas konsep kebijakan resmi pada masa mendatang, agar warga merasakan seberapa mangkus sekaligus seberapa sangkil hidup dengan mudah dan murah. Hidup simpel dan sarat ketersediaan yang beraturan. Kata milenial sekarang: hidup pola minimalis, dampak benefaktif maksimal dan siklus usahanya optimal.
Bila dijabarkan, hidup dengan berbagai kemudahan, berbiaya murah, mengurus apa-apa singkat, kemana-mana ada sarananya. Tak terbebani dengan kendala-kendala teknis. Ringkas dan simpel. Pemerintah daerah mana yang bisa, atau para kandidat siapa yang sanggup? Itulah yang kiranya dipilih tanpa tedeng aling-aling, secara mantap jiwa. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa pikir panjang memilih disebabkan tren kehidupan kian minimalis. Mantap jiwa memilih disebabkan punya solusi bagi kalangan milenial, sekaligus kompatibel dengan kebutuhan kaum pendahulunya: pemilih dewasa 10-30 tahun diatasnya. Bahkan bagi yang bukan atau belum memenuhi persyaratan sebagai pemilih, di bawah 17 tahun.
Apakah itu? Sederhananya dipilah menjadi empat perihal. Pertama, tren masyarakat ingin adanya realisasi dari masalah keseharian yang berkaitan dengan kebutuhan primer. Sembako ada dan tidak langka, harga terjangkau dari pasar hingga supermarket. Menyasar masyarakat pemilih yang berurusan dengan rumah tangga, tetapi berpengaruh pada segmentasi masyarakat klaster lainnya. Lantaran sebagai denyut nadi terutama pada masyarakat rural dan sebagian urban.
Kedua, penyediaan sarana publik yang kompatibel dan sesuai dengan kebutuhan nyata. Bagi masyarakat sarana publik mesti tampak bisa digunakan. Kompatibel dari sisi penggunaannya, nyata dari sisi realisasinya. Bagi masyarakat desa, sarana semacam pintu pengaturan air, waduk/bendungan, tandon induk untuk tampungan air bersih, rabat jalan, drainase pengairan hingga tempat pelelangan ikan menjadi kebutuhan nyata. Sedangkan bagi masyarakat perkotaan, sarana publik seperti taman olahraga dan bermain, panggung atraksi, sarana mitigasi kebencanaan, halte rest area, pojok wifi publik, lintasan bersepeda, taman pesisir pantai, dan sebagainya menjadi damba bila berwujud nyata.
Ketiga, penggodokan konsep visi misi selayaknyalah dikerubuti para ahli. Sarat dengan hipotesa berbagai penjabaran komparasi. Uji petik terkait rasionalnya gagasan untuk bisa diserap dengan semangkus sangkil mungkin disesuaikan dengan potensi budgeting atau selinier dengan terobosan untuk bisa sejajar dengan prestasi daerah lainnya yang telah lebih awal mengalami kemajuan.
Keempat, visi misi yang seritme dengan kehendak khalayak tercermin pada kemampuan mendengar aspirasi (partisipatif) dan keluhan untuk mengatasi persoalan. Untuk hal ini, rasanya belum terdengar kendati sayup-sayup. Pasangan calon sesungguhnya bisa menyerap aspirasi terhadap konsep visi misi secara simultan. Media lazimnya hanya mengabarkan paslon pada langkah-langkah dukungan dari gerbong partai politik. Tak keliru, tetapi visi misi seyogianyalah mendapatkan porsi primer pula sebagai petanda bahwa adanya gagasan merupakan susulan serius dari apa yang rencana diejawantahkan. Termasuk pada forum-forum akademik.
Sudahkah aspirasi realita ada pada penjabaran visi misi para kandidat, ataukah hanya "konsep melangit yang nyaris tak tersentuh bumi"? Dari tajuk visi, ulasan misi, uraian kebijakan lima tahunan, program unggulan dan peneguhan komitmen terhadap gagasan-gagasan untuk memajukan masyarakat. Pemeo selewatan: "jangan hanya paslon saja yang maju, tetapi kelak bila memimpin, masyarakatnya juga mesti maju bersama pemimpinnya".
Tampaknya hari-hari panjang ditunjukkan melalui kesanggupan menyuarakan kehendak khalayak ke dalam visi misi yang otentik menerap nyata. Mengimajineri Julius Caesar sekali lagi, vini vidi vici. Visi misi paslon mesti membumi dan rinci. Bukan sekadar basa-basi, agar mengembannya kelak, tak gagap dirundung kuasa quasi. Memimpin dengan keadilan bernurani.
-------
Penulis adalah Birokrat Pemda Lombok Utara; Penulis Buku Nalar Pemilu dan Demokrasi (2011).