Jakarta (ANTARA) - Hasil penyelidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya dan jajaran Polres menemukan bahwa Instagram sebagai media sosial yang paling banyak digunakan oleh oknum untuk menyebarkan berita bohong alias hoaks dan ujaran kebencian.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus di Mako Polda Metro Jaya, Senin mengatakan, ada 443 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang ditangani jajarannya.
Seiring dengan perkembangan penyelidikan terhadap kasus tersebut, Kepolisian mengajukan permohonan pemblokiran terhadap 218 akun media sosial yang kedapatan membuat dan ikut menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.
"Ini rincian termasuk akun Instagram ada 179, Facebook 27, Twitter 10, kemudian WhatsApp ada dua akun," kata Yusri.
Yusri mengatakan, kewenangan untuk melakukan pemblokiran terhadap akun media sosial tersebut ada di tangan Kemenkominfo.
Dia pun berharap permohonan pemblokiran yang diajukan pihak kepolisian bisa segera ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
"218 yang kita minta untuk di blokir karena kewenangannya ada di Kominfo. Tugas polisi menjaga dan masih patroli dunia maya. Kemudian kita berupaya untuk blokir dulu sambil berjalan kita menyelidiki," ujarnya.
Kemudian dari 443 kasus tersebut, 14 kasus telah berhasil diungkap. Penyidik Kepolisian sudah menetapkan 10 orang sebagai tersangka.
Para pelaku kini dijerat dengan Pasal 28 UU ITE Juncto Pasal 45, lalu Pasal 207 dan 208 Ayat 1 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa di muka umum dengan ancaman hukuman bervariasi mulai dari 6-10 tahun.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus di Mako Polda Metro Jaya, Senin mengatakan, ada 443 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang ditangani jajarannya.
Seiring dengan perkembangan penyelidikan terhadap kasus tersebut, Kepolisian mengajukan permohonan pemblokiran terhadap 218 akun media sosial yang kedapatan membuat dan ikut menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.
"Ini rincian termasuk akun Instagram ada 179, Facebook 27, Twitter 10, kemudian WhatsApp ada dua akun," kata Yusri.
Yusri mengatakan, kewenangan untuk melakukan pemblokiran terhadap akun media sosial tersebut ada di tangan Kemenkominfo.
Dia pun berharap permohonan pemblokiran yang diajukan pihak kepolisian bisa segera ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
"218 yang kita minta untuk di blokir karena kewenangannya ada di Kominfo. Tugas polisi menjaga dan masih patroli dunia maya. Kemudian kita berupaya untuk blokir dulu sambil berjalan kita menyelidiki," ujarnya.
Kemudian dari 443 kasus tersebut, 14 kasus telah berhasil diungkap. Penyidik Kepolisian sudah menetapkan 10 orang sebagai tersangka.
Para pelaku kini dijerat dengan Pasal 28 UU ITE Juncto Pasal 45, lalu Pasal 207 dan 208 Ayat 1 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa di muka umum dengan ancaman hukuman bervariasi mulai dari 6-10 tahun.