Padang, (ANTARA) - Anggota DPR RI Guspardi Gaus menilai Surat Keputusan Barsama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah dapat memicu kontroversi karena aturan seragam sekolah harusnya diatur oleh pemerintah daerah.
"Saya menyayangkan dan mengkritisi SKB tiga menteri itu karena tidak bijak dan berpotensi memicu kontroversi," kata dia melalui keterangan pers di Padang, Sabtu.
Menurut dia masih banyak persoalan dunia pendidikan yang harus diprioritaskan seperti pembelajaran daring akibat COVID-19 untuk murid-murid di daerah terpencil dan tertinggal yang tidak ada aliran listrik dan jaringan internetnya.
Ia mengatakan persoalan ini harus segera dituntaskan dan malah yang keluar aturan ini. Saat ini masih banyak sekolah yang belum menyelenggarakan belajar tatap muka.
Menurut dia kebijakan yang diterbitkan bersama oleh Mendikbud, Menag dan Mendagri disebabkan satu kasus merupakan sikap pemerintah yang gagal paham dalam menyikapi persoalan dan sangat berlebihan.
Sementara itu kasus SMKN 2 Padang yang terjadi di Ranah Minang Sumatera Barat karena menganut filosofi "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" itu telah diselesaikan Pemda Sumbar dengan aman dan damai. Apalagi SKB ini diberlakukan di seluruh daerah di Indonesia. Tentu hal ini kurang bijak dan tidak adil serta dapat memicu kontroversi.
"Saya menilai bahwa aturan dalam SKB ini malah salah kaprah dan berpotensi dapat menimbulkan permasalahan baru karena 'membebaskan' para peserta didik yang notabene belum dewasa itu, untuk boleh memilih seragam dan atribut tanpa atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama," kata Guspardi yang berasal dari Fraksi PAN Dapil Sumbar II.
Hal ini dikhawatirkan akan menggiring dan mendorong para peserta didik berfikir "liberal". Padahal cita-cita pendidikan nasional itu adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Pertanyaannya bagaimana akhlak mulia para peserta didik dapat tercapai jika para siswa 'bebas' memilih pakaiannya," kata politisi PAN tersebut
Anggota Komisi II DPR RI ini juga menegaskan bahwa SKB ini juga telah mengebiri semangat otonomi daerah Nomor 32 tahun 2004 dan diamandemen dengan UU Nomor 12 tahun 2008.
Kewenangan pengaturan dan tata cara berpakaian di sekolah ini harusnya cukup diatur oleh pemerintah daerah bukan oleh pemerintah pusat karena pemerintah daerah yang lebih memahami keberagaman adat budaya dan kearifan lokal di masing-masing daerahnya.
"Yang tidak boleh itu adalah pemaksaan bagi siswa yang berlainan keyakinan untuk memakai atribut tertentu di luar keyakinan agama yang dianutnya," kata dia.
Sementara UU tentang Pemerintahan Daerah menegaskan otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri demi kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SKB yang dimaksudkan mengatur cara berpakaian mulai jenjang pendidikan dasar sampai menengah pada rentang usia tersebut adalah masa pertumbuhan dan perkembangan siswa.
"Sementara siswa-siswa kita menganut agama beragam mulai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Justru pada usia inilah harus ditanamkan dan dituntun para siswa agar tidak boleh melanggar cara berpakaian yang diajarkan agama. Hendaknya para siswa diwajibkan untuk berpakaian sesuai dengan ajaran agama sesuai keyakinan masing-masing, bukan malah membebaskan," kata dia.
Ia meminta agar SKB tiga menteri ini dibatalkan saja guna menghindari kontroversi di kemudian hari dan lebih baik menciptakan kesejukan dan ketenteraman di masyarakat yang sudah sulit akibat wabah Covid-19.
"Jangan ditambahi lagi beban. Mari kita jaga kerukunan dan harmoni kehidupan antarumat beragama, karena kita semua bersaudara, kata dia.
Sebelumnya pemerintah diwakili tiga menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan SKB tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di sekolah. Salah satu poin dalam SKB tersebut, melarang pemda atau sekolah mengkhususkan seragam dan atribut dengan keagamaan tertentu.
"Saya menyayangkan dan mengkritisi SKB tiga menteri itu karena tidak bijak dan berpotensi memicu kontroversi," kata dia melalui keterangan pers di Padang, Sabtu.
Menurut dia masih banyak persoalan dunia pendidikan yang harus diprioritaskan seperti pembelajaran daring akibat COVID-19 untuk murid-murid di daerah terpencil dan tertinggal yang tidak ada aliran listrik dan jaringan internetnya.
Ia mengatakan persoalan ini harus segera dituntaskan dan malah yang keluar aturan ini. Saat ini masih banyak sekolah yang belum menyelenggarakan belajar tatap muka.
Menurut dia kebijakan yang diterbitkan bersama oleh Mendikbud, Menag dan Mendagri disebabkan satu kasus merupakan sikap pemerintah yang gagal paham dalam menyikapi persoalan dan sangat berlebihan.
Sementara itu kasus SMKN 2 Padang yang terjadi di Ranah Minang Sumatera Barat karena menganut filosofi "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" itu telah diselesaikan Pemda Sumbar dengan aman dan damai. Apalagi SKB ini diberlakukan di seluruh daerah di Indonesia. Tentu hal ini kurang bijak dan tidak adil serta dapat memicu kontroversi.
"Saya menilai bahwa aturan dalam SKB ini malah salah kaprah dan berpotensi dapat menimbulkan permasalahan baru karena 'membebaskan' para peserta didik yang notabene belum dewasa itu, untuk boleh memilih seragam dan atribut tanpa atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama," kata Guspardi yang berasal dari Fraksi PAN Dapil Sumbar II.
Hal ini dikhawatirkan akan menggiring dan mendorong para peserta didik berfikir "liberal". Padahal cita-cita pendidikan nasional itu adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Pertanyaannya bagaimana akhlak mulia para peserta didik dapat tercapai jika para siswa 'bebas' memilih pakaiannya," kata politisi PAN tersebut
Anggota Komisi II DPR RI ini juga menegaskan bahwa SKB ini juga telah mengebiri semangat otonomi daerah Nomor 32 tahun 2004 dan diamandemen dengan UU Nomor 12 tahun 2008.
Kewenangan pengaturan dan tata cara berpakaian di sekolah ini harusnya cukup diatur oleh pemerintah daerah bukan oleh pemerintah pusat karena pemerintah daerah yang lebih memahami keberagaman adat budaya dan kearifan lokal di masing-masing daerahnya.
"Yang tidak boleh itu adalah pemaksaan bagi siswa yang berlainan keyakinan untuk memakai atribut tertentu di luar keyakinan agama yang dianutnya," kata dia.
Sementara UU tentang Pemerintahan Daerah menegaskan otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri demi kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SKB yang dimaksudkan mengatur cara berpakaian mulai jenjang pendidikan dasar sampai menengah pada rentang usia tersebut adalah masa pertumbuhan dan perkembangan siswa.
"Sementara siswa-siswa kita menganut agama beragam mulai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Justru pada usia inilah harus ditanamkan dan dituntun para siswa agar tidak boleh melanggar cara berpakaian yang diajarkan agama. Hendaknya para siswa diwajibkan untuk berpakaian sesuai dengan ajaran agama sesuai keyakinan masing-masing, bukan malah membebaskan," kata dia.
Ia meminta agar SKB tiga menteri ini dibatalkan saja guna menghindari kontroversi di kemudian hari dan lebih baik menciptakan kesejukan dan ketenteraman di masyarakat yang sudah sulit akibat wabah Covid-19.
"Jangan ditambahi lagi beban. Mari kita jaga kerukunan dan harmoni kehidupan antarumat beragama, karena kita semua bersaudara, kata dia.
Sebelumnya pemerintah diwakili tiga menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan SKB tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di sekolah. Salah satu poin dalam SKB tersebut, melarang pemda atau sekolah mengkhususkan seragam dan atribut dengan keagamaan tertentu.