Paris, 16/1 (ANTARA/AFP) - Pemimpin partai Islam penting Tunisia di pengasingan mengatakan, Sabtu, ia telah merencanakan untuk pulang ke tanah airnya menyusul tergulingknya presiden Zine El Abidine Ben Ali.

        "Intifada Tunisia telah berhasil dalam meruntuhkan kediktatoran," Rachel Ghannouchi, pemimpin Ennahdha yang dilarang, mengatakan pada kantor berita AFP melalui telpon dari London, Inggris.

        "Sekaranglah bagi partai-partai politik untuk berupaya mengganti rezim diktator dengan rezim demokratis. Saya telah mempersiapkan  diri saya. Saya telah mempersiapkan kepulangan saya," aktivis berusia 69 tahun itu menyatakan.

        Ia mengatakan ia telah berhubungan dengan para pemimpin oposisi lainnya dan akan siap untuk bergabung dengan pemerintah persatuan nasional. Tapi ia menambahkan bahwa hal itu akan sulit, karena bertahun-tahun penghambatan yang telah menyebbakan sekutu-sekutunya menjadi tak terorganisir.

        "Itu mungkin tapi tak mudah," katanya. "Di bawah kediktatoran apa saja dihancurkan. Perlu waktu untuk mengorganisir kembali masyarakat politik dan masyarakat sipil.

        "Ada semacam pemecahan menjadi bagian-bagian. Perlu waktu untuk menyepakati landasan bersama."
   Bekas sekutu Barat Ben Ali, pada khususnya Prancis, telah mendukung pemerintahannya -- meskipun ada keprihatinan mengenai hak asasi manusia -- sebagai benteng pertahanan terhadap kelompok Islam garis keras di kawasan Afrika Utara.

        Tapi Ghannouchi menegaskan bahwa partainya adalah gerakan Islam demokratis, sama dengan gaya AKP yang memerintah di Turki, dan tidak akan menimbulkan ancaman militansi jika diperbolehkan untuk mengambil bagian dalam politik pemilihan.

        Ia tidak mengatakan kapan ia akan pulang, kecuali bahwa itu akan terjadi "segera".(*)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024