Mataram, 13/7 (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia Nusa Tenggara Barat menyarankan pengurus Pondok Pesantren Khilafiah Umar bin Khatab di Desa Samolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, membuka akses polisi untuk memperjelas sebab-musabab ledakan benda yang diduga bom rakitan, pada Senin (11/7).

         "Ponpes itu harus buka diri untuk perjelas masalahnya agar tidak timbul asumsi yang bukan-bukan," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Prof. H. Saiful Muslim, di Mataram, Rabu.

         Saiful Muslim mengatakan, polri memiliki prosedur tetap (protap) dalam penanganan kasus ledakan bom atau benda berbahaya lainnya, sehingga tidak boleh dihalang-halangi siapa pun.

         Saeful juga meyakini Polri mampu menangani permasalahan tersebut sehingga pihak-pihak yang tidak berkepentingan sebaiknya tidak terlibat, terutama yang tidak mengetahui permasalahan tersebut.

         "Masyarakat juga jangan mudah terprovokasi sehingga makin memperkeruh suasana. Sebaiknya menahan diri dan mempercayakan kepada aparat keamanan untuk menanganinya," ujarnya.

    
Jangan tutup diri
    Dia juga menyayangkan sikap menutup diri yang ditunjukkan pengurus Pondok Pesantren (Ponpes) Umar bin Khatab di Bolo, Bima itu, sehingga menimbulkan beragam persepsi tentang lembaga pendidikan keagamaan itu.

         Mantan Kepala Kantor Wilayah (kakanwil) Agama Provinsi NTB itu meyakini sepenuhnya bahwa sikap menutup diri itu tidak sesuai ajaran Islam, karena ponpes merupakan sarana belajar ilmu agama.

         "Kita selalu berkoordinasi terutama dalam hal pengembangan pondok pesantren dan pola pembinaan umat, namun saya juga tidak mengerti mengapa ponpes itu seperti itu," ujarnya.

         Saiful mengaku sangat kaget ketika Ponpes Umar bin Khatab di Bolo, Bima, itu menjadi sorotan publik dan ditengarai menyimpan bahan peledak.

         "Saya sangat terkejut mendengar hal itu. Saran saya, tidak perlu menutup diri dan mau membuka akses untuk polisi yang hendak menyelidiki masalah hukum," ujarnya.

         Pada Senin (11/7) sekitar pukul 15.30 Wita, terjadi ledakan yang diduga bom rakitan di salah  salah satu ruangan dalam Ponpes Khilafiah Umar bin Khatab, yang menewaskan seorang pengurus ponpes yakni Firdaus.

         Namun, sejak saat itu hingga kini polisi belum bisa melakukan olah TKP untuk mengetahui jenis bahan peledak maupun penyebab ledakan yang suaranya cukup keras dan menimbulkan asap itu.

         Pengurus ponpes selalu menghalang-halangi petugas yang hendak masuk ke ponpes itu, dan adanya sejumlah informasi yang menyatakan dalam ponpes itu ada bahan peledak dan sejumlah senjata api.

         Pihak yang mengambil jenazah Firdaus di lokasi ledakan itu juga bukan aparat kepolisian, melainkan sanak keluarganya, karena tidak diizinkan oleh pengelola ponpes tersebut.

         Jenazah Firdaus juga telah diotopsi dan pada Selasa (12/7) malam diserahkan kepada sanak keluarganya untuk dimakamkan .  
    Aparat kepolisian kemudian "mengepung ponpes itu namun baru sebatas berjaga-jaga dan mengawasi pergerakan pengurus dan santri dari luar.

         Kini, Polda NTB sedang mematangkan rencana aksi besar penggerebekan ponpes itu untuk kepentingan olah TKP sekaligus penyelidikan lebih lanjut.

         Jumlah personil yang mengamankan ponpes itu sebanyak enam peleton atau sekitar 200 orang, termasuk satu peleton satuan TNI. (*)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024