Mataram (ANTARA) - Kontrak kerja untuk jasa advokasi pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, diduga tanpa melalui persetujuan bupati.

"Ada dugaan kontrak itu (jasa advokasi) tanpa persetujuan bupati. Tidak melalui pembahasan di tubuh pemkab (pemerintah kabupaten)," kata Kepala Kejaksaan Negeri Mataram Ivan Jaka di Mataram, Rabu.

Baca juga: Berkas 4 tersangka dugaan korupsi RSUD Lombok Utara dilimpahkan ke pengadilan

Baca juga: Kejati: Pemanggilan Wabup Lombok Utara tunggu hasil audit kerugian

Baca juga: Wabup Lombok Utara jadi tersangka korupsi proyek RSUD

Dari hasil penyelidikan sementara, terungkap bahwa kontrak kerja untuk jasa advokasi itu ditentukan sendiri oleh pihak BLUD dengan menunjuk langsung pengacara secara perorangan.

"Jadi seharusnya pemberian advokasi tidak menentukan sendiri. Tidak ditentukan oleh perorangan, itu tidak sesuai prosedur," ujarnya.

Dengan konstruksi penyelidikan demikian, Ivan mengatakan bahwa kejaksaan kini masih terus menggali keterangan dari para pihak terkait untuk menguatkan bukti perbuatan melawan hukum (PMH) dalam kontrak kerja tersebut.

"Jadi sifatnya sekarang masih klarifikasi untuk mendalami PMH dan melihat potensi kerugian negara," ucap dia.

Dalam perjanjian kontrak kerja yang berlangsung dalam periode 2016-2021, oknum pengacara yang bertindak sebagai pelaksana jasa advokasi BLUD RSUD Lombok Utara menerima pembayaran Rp12,5 juta per bulan.

Jika dikalkulasikan dalam periode enam tahun terakhir, pemerintah telah menyisihkan anggaran untuk membayar jasa advokasi senilai Rp900 juta.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024