Jakarta (ANTARA) - Direktur Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk Hery Gunardi menyebutkan perlu menempuh jalan yang berliku dalam mengembangkan bank syariah di Indonesia sebelum akhirnya bisa maju pesat seperti sekarang.
“Kami mulai merger perbankan syariah bukan dari titik nol tapi minus. Kita semua kenal perbankan syariah mulai 1991 dan hingga 2021 itu 30 tahun pasang surut,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu.
Hery menyatakan salah satu indikator perbankan syariah di Indonesia tidak bisa tumbuh dengan baik dan besar adalah karena sebelum ada BSI tidak ada satu pun bank syariah yang berhasil masuk peringkat 10 besar.
Mayoritas bank syariah di Indonesia dahulunya hanya mampu menduduki peringkat ke-20, 30 bahkan 40 sehingga ketika Hery mengemban tugas mengembangkan BSI maka skala menjadi salah satu prioritasnya. “Karena kalau tidak ada skala mau ngapain saja susah. Mau bikin e-commerce syariah, payment system itu modalnya dari mana? Susah,” ujarnya.
Tingkat literasi kala itu pun rendah meski penduduk Muslim di Indonesia mencapai sekitar 220 juta orang namun pemahaman mengenai perbankan syariah sangat rendah dibanding perbankan konvensional. Kemudian, bank syariah dahulu kecil ukurannya dan servis pelayanannya dikenal lambat sehingga tidak mampu bersaing dengan bank konvensional bahkan hanya berlokasi di ruko-ruko kecil.
Selain itu, teknologi digitalnya juga tertinggal karena tidak pernah ada yang berinvestasi di bidang pengembangan ini mengingat dahulu bank syariah hanya bagian dari bank konvensional. “Namanya juga bagian atau anak ya namanya anak itu bapaknya duluan yang makan, anaknya belakangan. Itu misalnya kan. Mengurus pangkalan dulu baru terminal,” kata Hery.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah turut menjadi faktor penyebab bank syariah di Indonesia dahulu tidak dapat berkembang. Oleh sebab itu, merger bank syariah melalui BSI mencoba memperbaiki segala kekurangan tersebut baik meningkatkan kualitas SDM, memperbesar size bank hingga mentransformasi dan menarik market yang besar.
Baca juga: Bank Indonesia jadikan pondok pesantren di NTB poros ekonomi syariah
Baca juga: Gubernur NTB meminta ekosistem ekonomi syariah harus terus dikembangkan
Menurut Hery, Indonesia perlu mencontoh Malaysia yang memberi berbagai kemudahan dan insentif dalam rangka mendorong pengembangan bank syariahnya. “Di Malaysia 23 tahun lalu mereka mulai syariah, pemerintahnya kasih flying field yang berbeda, jadi diberikan insentif pajak. Bagi nasabah bank syariah untuk deposito pajaknya 0 persen. Ini membuat flying filed berbeda untuk mengejar konvensional,” jelasnya.
Ia menuturkan, BSI pun saat ini sedang menunggu berbagai Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk berkonversi menuju bank syariah seperti Bank Aceh, Bank Riau Kepri, Bank NTB dan Bank Nagari. “Jadi kalau ada bank yang konversi ke syariah maka market share otomatis akan naik,” tegas Hery.
“Kami mulai merger perbankan syariah bukan dari titik nol tapi minus. Kita semua kenal perbankan syariah mulai 1991 dan hingga 2021 itu 30 tahun pasang surut,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu.
Hery menyatakan salah satu indikator perbankan syariah di Indonesia tidak bisa tumbuh dengan baik dan besar adalah karena sebelum ada BSI tidak ada satu pun bank syariah yang berhasil masuk peringkat 10 besar.
Mayoritas bank syariah di Indonesia dahulunya hanya mampu menduduki peringkat ke-20, 30 bahkan 40 sehingga ketika Hery mengemban tugas mengembangkan BSI maka skala menjadi salah satu prioritasnya. “Karena kalau tidak ada skala mau ngapain saja susah. Mau bikin e-commerce syariah, payment system itu modalnya dari mana? Susah,” ujarnya.
Tingkat literasi kala itu pun rendah meski penduduk Muslim di Indonesia mencapai sekitar 220 juta orang namun pemahaman mengenai perbankan syariah sangat rendah dibanding perbankan konvensional. Kemudian, bank syariah dahulu kecil ukurannya dan servis pelayanannya dikenal lambat sehingga tidak mampu bersaing dengan bank konvensional bahkan hanya berlokasi di ruko-ruko kecil.
Selain itu, teknologi digitalnya juga tertinggal karena tidak pernah ada yang berinvestasi di bidang pengembangan ini mengingat dahulu bank syariah hanya bagian dari bank konvensional. “Namanya juga bagian atau anak ya namanya anak itu bapaknya duluan yang makan, anaknya belakangan. Itu misalnya kan. Mengurus pangkalan dulu baru terminal,” kata Hery.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah turut menjadi faktor penyebab bank syariah di Indonesia dahulu tidak dapat berkembang. Oleh sebab itu, merger bank syariah melalui BSI mencoba memperbaiki segala kekurangan tersebut baik meningkatkan kualitas SDM, memperbesar size bank hingga mentransformasi dan menarik market yang besar.
Baca juga: Bank Indonesia jadikan pondok pesantren di NTB poros ekonomi syariah
Baca juga: Gubernur NTB meminta ekosistem ekonomi syariah harus terus dikembangkan
Menurut Hery, Indonesia perlu mencontoh Malaysia yang memberi berbagai kemudahan dan insentif dalam rangka mendorong pengembangan bank syariahnya. “Di Malaysia 23 tahun lalu mereka mulai syariah, pemerintahnya kasih flying field yang berbeda, jadi diberikan insentif pajak. Bagi nasabah bank syariah untuk deposito pajaknya 0 persen. Ini membuat flying filed berbeda untuk mengejar konvensional,” jelasnya.
Ia menuturkan, BSI pun saat ini sedang menunggu berbagai Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk berkonversi menuju bank syariah seperti Bank Aceh, Bank Riau Kepri, Bank NTB dan Bank Nagari. “Jadi kalau ada bank yang konversi ke syariah maka market share otomatis akan naik,” tegas Hery.