Jakarta (ANTARA) - Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu merupakan bentuk komitmen serius Presiden Joko Widodo.
 
“Bentuk komitmen serius presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur luar pengadilan (nonyudisial) yang melengkapi mekanisme yudisial yang sedang berjalan di Makassar, Sulawesi Selatan," kata Jaleswari Pramodhawardani, dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu.
 
Kemudian, kedua jalur penyelesaian nonyudisial dan yudisial, katanya, sudah sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dia mengatakan sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo pada Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2022 bahwa Keppres tentang Tim Penyelesaian HAM Berat telah ditandatangani. Pada 2022, katanya, pemerintah berhasil memulai menangani pelanggaran HAM berat melalui proses yang rumit dan mengalami kebuntuan.
 
Dia mengatakan penanganan nonyudisial dilakukan secara paralel dan komplementer terhadap penyelesaian yudisial yang dimulai dengan proses peradilan di pengadilan HAM kasus di Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar. Kemudian untuk pertama kali, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu nonyudisial dibahas secara terbuka dan komprehensif guna menjawab berbagai spekulasi publik terkait landasan hukumnya.
 
 Pembahasan tersebut dilaksanakan Kantor Staf Presiden (KSP) dalam forum yang diprakarsai bersama Komnas HAM dan INFID pada Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM pada 20 Oktober 2022. Pembahasan dihadiri oleh Wakil Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Nonyudisial (PPHAM), Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Wakil Ketua Komnas HAM dan Wakil Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) serta wakil keluarga korban penghilangan paksa.
 
Pembicara lainnya di pembahasan, yakni Wakil Ketua Tim Pelaksana PPHAM dan Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012 Ifdhal Kasim mengatakan Keppres tentang PPHAM merupakan jawaban atas kebuntuan proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu.
 
“Keppres Nomor 17 tahun 2022 merupakan langkah tepat yang diambil pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab negara guna mengingat, memulihkan, dan menjamin tak berulangnya sebagaimana diatur dalam prinsip-prinsip pemajuan dan perlindungan HAM melalui aksi-aksi melawan impunitas yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2005," katanya.

Baca juga: Khofifah minta Komnas HAM telusuri korban dipungut biaya RSSA
Baca juga: Komnas HAM periksa rumah dinas Irjen Ferdy Sambo
 
Terkait kekhawatiran bahwa PPHAM akan menutup jalur penyelesaian melalui pengadilan HAM, Ifdhal Kasim menegaskan tuntutan pidana terhadap orang yang bersalah tetap menjadi tanggung jawab Jaksa Agung. "Sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM. Hasil kerja Tim PPHAM bukan merupakan substitusi dari Kejaksaan Agung," kata dia.
 
Orang tua korban kasus penghilangan paksa pada 1997-1998 Ucok Munandar, Paian Siahaan menyampaikan keppres yang telah diterbitkan Presiden Jokowi menjadi bentuk perhatian pemerintah pada keluarga korban. "Apakah ini (keppres) bisa direalisasikan dalam waktu singkat? Keppres ini memberikan ketenangan bagi kami, paling tidak kami diberi perhatian pemerintah,” ucapnya.
 
 


 

Pewarta : Boyke Ledy Watra
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024