Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Pemerintah tidak tinggal diam dalam bertindak memberantas korupsi, melainkan diam tapi sambil tetap bertindak untuk memberantasnya.
“Pemerintah tentu saja tidak diam. Boleh disebutkan diam, tetapi sambil bertindak (berantas korupsi),” kata Mahfud saat memberikan pidato secara daring pada acara Dies Natalis Ke-25 Universitas Paramadina dipantau dari kanal YouTube Universitas Paramadina, di Jakarta, Selasa.
Mahfud menyebut bahwa masih maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi sebagai catatan dari kemunduran demokrasi. Pemberantasan korupsi, kata dia, sejak dahulu tidak mudah diselesaikan lantaran masih adanya mafia peradilan.
“Pengadilan masih penuh mafia, dulu zaman Orde Baru namanya mafia pengadilan, tapi zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) diubah namanya menjadi mafia hukum,” katanya lagi.
Ia menyebut mafia peradilan yang kemudian berkembang penyebutannya menjadi mafia hukum tersebut lantaran oknum-oknum itu terlibat di semua sektor-sektor pembangunan hukum. “Jadi yang pembuat hukum korupsi, yang melaksanakan korupsi, yang mengadili (juga) korupsi,” katanya pula.
Selain itu, ujar dia pula, korupsi juga tidak mudah diselesaikan karena adanya konfigurasi politik sebagai akibat yang lahir dari sistem demokrasi. Misalnya, korupsi lahir dari politisi yang dipilih secara demokratis dan celah berbuat korupsi yang terkadang diperoleh secara demokratis pula.
“Terkadang, sudah ada intervensi politik melalui demokrasi. Hal-hal seperti ini (contohnya) melalui kedudukan anggota DPR yang membuat memo untuk membebaskan seseorang atau memberi jatah proyek kepada seseorang. Menekan aparat penegak hukum agar melakukan ini dan tidak melakukan itu,” ujarnya lagi.
Ia lantas berkata, “Dan semuanya melalui perlindungan lembaga-lembaga demokrasi orang-orang pemain demokrasi”. Meski demikian, ia menilai sistem demokrasi sebagai pedoman berpemerintahan masih tetap dianggap yang terbaik, sehingga yang perlu diperbaiki ialah jebakan konfigurasi-konfigurasi politik tersebut.
“Pada saat reformasi tahun 1998, mari kita bangun demokrasi, demokratisasi di dalam kehidupan bernegara agar tata kelola pemerintahan (menjadi) baik, terhindar dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Itu pilihan kita selalu demokrasi, sehingga kita jangan berpikir sistem lain,” katanya pula.
Baca juga: Menko Polhukam minta masyarakat kawal agenda Pemilu
Baca juga: Mahfud sebut beragama untuk kenyamanan diri sendiri dan orang lain
Untuk itu, ia menyebut yang diperlukan ialah pembangunan konfigurasi politik yang lebih kondusif bagi tata pemerintahan yang baik guna menjawab tantangan demokrasi untuk transformasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.
"Menurut saya masalah kita adalah bagaimana kita membangun konfigurasi politik yang lebih kondusif bagi tata pemerintahan yang baik, bukan malah demokrasi menjadi jalan bagi korupsi," kata Mahfud.
“Pemerintah tentu saja tidak diam. Boleh disebutkan diam, tetapi sambil bertindak (berantas korupsi),” kata Mahfud saat memberikan pidato secara daring pada acara Dies Natalis Ke-25 Universitas Paramadina dipantau dari kanal YouTube Universitas Paramadina, di Jakarta, Selasa.
Mahfud menyebut bahwa masih maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi sebagai catatan dari kemunduran demokrasi. Pemberantasan korupsi, kata dia, sejak dahulu tidak mudah diselesaikan lantaran masih adanya mafia peradilan.
“Pengadilan masih penuh mafia, dulu zaman Orde Baru namanya mafia pengadilan, tapi zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) diubah namanya menjadi mafia hukum,” katanya lagi.
Ia menyebut mafia peradilan yang kemudian berkembang penyebutannya menjadi mafia hukum tersebut lantaran oknum-oknum itu terlibat di semua sektor-sektor pembangunan hukum. “Jadi yang pembuat hukum korupsi, yang melaksanakan korupsi, yang mengadili (juga) korupsi,” katanya pula.
Selain itu, ujar dia pula, korupsi juga tidak mudah diselesaikan karena adanya konfigurasi politik sebagai akibat yang lahir dari sistem demokrasi. Misalnya, korupsi lahir dari politisi yang dipilih secara demokratis dan celah berbuat korupsi yang terkadang diperoleh secara demokratis pula.
“Terkadang, sudah ada intervensi politik melalui demokrasi. Hal-hal seperti ini (contohnya) melalui kedudukan anggota DPR yang membuat memo untuk membebaskan seseorang atau memberi jatah proyek kepada seseorang. Menekan aparat penegak hukum agar melakukan ini dan tidak melakukan itu,” ujarnya lagi.
Ia lantas berkata, “Dan semuanya melalui perlindungan lembaga-lembaga demokrasi orang-orang pemain demokrasi”. Meski demikian, ia menilai sistem demokrasi sebagai pedoman berpemerintahan masih tetap dianggap yang terbaik, sehingga yang perlu diperbaiki ialah jebakan konfigurasi-konfigurasi politik tersebut.
“Pada saat reformasi tahun 1998, mari kita bangun demokrasi, demokratisasi di dalam kehidupan bernegara agar tata kelola pemerintahan (menjadi) baik, terhindar dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Itu pilihan kita selalu demokrasi, sehingga kita jangan berpikir sistem lain,” katanya pula.
Baca juga: Menko Polhukam minta masyarakat kawal agenda Pemilu
Baca juga: Mahfud sebut beragama untuk kenyamanan diri sendiri dan orang lain
Untuk itu, ia menyebut yang diperlukan ialah pembangunan konfigurasi politik yang lebih kondusif bagi tata pemerintahan yang baik guna menjawab tantangan demokrasi untuk transformasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.
"Menurut saya masalah kita adalah bagaimana kita membangun konfigurasi politik yang lebih kondusif bagi tata pemerintahan yang baik, bukan malah demokrasi menjadi jalan bagi korupsi," kata Mahfud.