Mataram, 17/12 (Antara) - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (KMSA) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyikapi secara tegas kasus penangkapan terhadap Subri selaku Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya-Lombok Tengah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Sabtu (14/12), dalam kasus dugaan suap atau gratifikasi.
Sebanyak 15 orang aktivis peduli penegakan hukum di wilayah NTB, berkumpul dan membentuk koalisi bersama, di Mataram, Selasa, guna menyikapi kasus tertangkap tangannya Kajari Praya itu.
Bahkan, mereka membentuk sekretariat bersama, di Jln Rembang Nomor 15 Komplek Tanah Aji Permai, Kota Mataram, NTB, sebagai wadah koordinasi aksi-aksi nyata.
Lima belas aktivis tersebut yakni Ahyar Supriadi dari Somasi NTB, Joko Jumadi dari Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Munzirin dari Gravitasi Mataram, Arya Ahsani Takwim dari Konsepsi NTB, Ridho Ardian Pratama dari Penghubung Komisi Yudisial (KY) NTB, dan Muslimin dari Rinjani Institut.
Selanjutnya, Ikliluddin dari Konsepsi NTB, Galang dari Rowok, Syamsul Hidayat dari Dosen Fakultas Hukum (FH) Unram, Bustomi Taefuri dari SUAKA, Ervyn Kaffah dari FITRA NTB, Fauzi Yoyok dari LBH Apik, Lalu Amrin dari Pemuda AK Rowok, Hendriadi dari FATTIRO, dan Dwi Sudarsono dari Reform.
Ahyar Supriyadi dari Somasi NTB selaku juru bicara KMSA NTB itu mengatakan, sejak 1990-an praktik penggusuran tanah marak diberbagai tempat di NTB, seperti kawasan pariwisata Kuta, Rowok, Selong Belanak, Tanak Awu, Trawangan dan berbagai kasus lainnya.
Korban penggusuran sering kali menjadi korban kriminalisasi dan mafia tanah, dan lebih parah lagi, kasus-kasus agraria di NTB telah menjadi komoditi praktik korupsi.
Kasus penangkapan Kajari Praya oleh KPK semakin mempertegas bahwa kasus penggusuran tanah telah menjadi komoditi praktik korupsi oleh aparat penegak hukum.
"Singkatnya, kriminalisasi petani (pemilik tanah) telah menjadi bagian dari perampasan hak atas tanah rakyat," ujarnya.
Ahyar menambahkan, praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjadi kesepakatan bersama sebagai kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Publik pun meyakini bahwa KKN sudah menjalar kesemua lini kehidupan berbangsa dan bernegara yang menimbulkan daya rusak di semua lini kehidupan.
Tahun ini, Transparansi Internasional Indonesia (TII) mempublikasikan hasil survey Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi) Tahun 2013, di mana Indonesia masuk rangking 114 (skor 32) terkorup dari 177 negara.
Di samping itu, Indoensia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2013 juga mempublikasi kasus korupsi di sektor pendidikan, khususnya di Nusa Tenggara Barat terdapat sebanyak 15 kasus.
Pada 14 Desember 2013, publik NTB dibuat terperangah oleh penangkapan terhadap Kajari Praya oleh KPK dengan barang bukti yang disita uang sekitar Rp220 juta.
Bersamaan dengan itu KPK menggelandang salah satu oknum pengusaha yang diduga sebagai pelaku penyuapan.
Ironisnya lagi, dua hari sebelum penangkapan tersebut, KPK menggelar sosialisasi tentang Kewewenangan, Tugas, dan Fungsi Lembaga Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia bersama Jaksa di Mataram.
"Penangkapan Kepala Kejaksan Negeri Praya oleh KPK itu menunjukkan penegakan hukum di Indonesia semakin mengalami krisis dan emergency. Kasus ini semakin memerosotkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya lembaga kejaksaan, yang selama ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan," ujarnya.
Selain itu, kasus tersebut memperlihatkan adanya anarkisme perilaku dan profesi penegak hukum di Indonesia, dan keinginan untuk memiliki peradilan bersih semakin jauh dari harapan.
Dari kasus penangkapan Kajari Praya itu, Koalisis Masyarakar Sipil Antikorupsi NTB menyatakan, mendesak pemerintah dan DPR untuk membentuk KPK di daerah, mendesak lembaga kejaksaan, baik di Kejaksaan Agung maupun kejaksaan di daerah mengembangkan sistem informasi di jajaran lembaga Kejaksaan yang mudah diakses dan transparan.
Mendesak pemerintah dan aparat penagak hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap petani pemilik tanah, dan menuntut KPK dan aparat penegak hukum lainnya untuk mengembangkan dan membongkar mafia tanah dan mafia peradilan di NTB, serta mendesak Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi dan memeriksa kembali kinerja dan perkara-perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri di lingkungan Kejaksaan Tinggi NTB.
Selanjutnya, mengajak kalangan pemerhati peradilan untuk memperluas jaringan pemantau praktik korupsi dan mafia tanah di lembaga peradilan dan aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
"Juga mengajak kalangan pemerhati membentuk posko pemantauan terpadu untuk memantau praktik korupsi dan mafia tanah di lembaga penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun dan pengadilan," ujar Ahyar. (*)
Sebanyak 15 orang aktivis peduli penegakan hukum di wilayah NTB, berkumpul dan membentuk koalisi bersama, di Mataram, Selasa, guna menyikapi kasus tertangkap tangannya Kajari Praya itu.
Bahkan, mereka membentuk sekretariat bersama, di Jln Rembang Nomor 15 Komplek Tanah Aji Permai, Kota Mataram, NTB, sebagai wadah koordinasi aksi-aksi nyata.
Lima belas aktivis tersebut yakni Ahyar Supriadi dari Somasi NTB, Joko Jumadi dari Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Munzirin dari Gravitasi Mataram, Arya Ahsani Takwim dari Konsepsi NTB, Ridho Ardian Pratama dari Penghubung Komisi Yudisial (KY) NTB, dan Muslimin dari Rinjani Institut.
Selanjutnya, Ikliluddin dari Konsepsi NTB, Galang dari Rowok, Syamsul Hidayat dari Dosen Fakultas Hukum (FH) Unram, Bustomi Taefuri dari SUAKA, Ervyn Kaffah dari FITRA NTB, Fauzi Yoyok dari LBH Apik, Lalu Amrin dari Pemuda AK Rowok, Hendriadi dari FATTIRO, dan Dwi Sudarsono dari Reform.
Ahyar Supriyadi dari Somasi NTB selaku juru bicara KMSA NTB itu mengatakan, sejak 1990-an praktik penggusuran tanah marak diberbagai tempat di NTB, seperti kawasan pariwisata Kuta, Rowok, Selong Belanak, Tanak Awu, Trawangan dan berbagai kasus lainnya.
Korban penggusuran sering kali menjadi korban kriminalisasi dan mafia tanah, dan lebih parah lagi, kasus-kasus agraria di NTB telah menjadi komoditi praktik korupsi.
Kasus penangkapan Kajari Praya oleh KPK semakin mempertegas bahwa kasus penggusuran tanah telah menjadi komoditi praktik korupsi oleh aparat penegak hukum.
"Singkatnya, kriminalisasi petani (pemilik tanah) telah menjadi bagian dari perampasan hak atas tanah rakyat," ujarnya.
Ahyar menambahkan, praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjadi kesepakatan bersama sebagai kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Publik pun meyakini bahwa KKN sudah menjalar kesemua lini kehidupan berbangsa dan bernegara yang menimbulkan daya rusak di semua lini kehidupan.
Tahun ini, Transparansi Internasional Indonesia (TII) mempublikasikan hasil survey Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi) Tahun 2013, di mana Indonesia masuk rangking 114 (skor 32) terkorup dari 177 negara.
Di samping itu, Indoensia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2013 juga mempublikasi kasus korupsi di sektor pendidikan, khususnya di Nusa Tenggara Barat terdapat sebanyak 15 kasus.
Pada 14 Desember 2013, publik NTB dibuat terperangah oleh penangkapan terhadap Kajari Praya oleh KPK dengan barang bukti yang disita uang sekitar Rp220 juta.
Bersamaan dengan itu KPK menggelandang salah satu oknum pengusaha yang diduga sebagai pelaku penyuapan.
Ironisnya lagi, dua hari sebelum penangkapan tersebut, KPK menggelar sosialisasi tentang Kewewenangan, Tugas, dan Fungsi Lembaga Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia bersama Jaksa di Mataram.
"Penangkapan Kepala Kejaksan Negeri Praya oleh KPK itu menunjukkan penegakan hukum di Indonesia semakin mengalami krisis dan emergency. Kasus ini semakin memerosotkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya lembaga kejaksaan, yang selama ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan," ujarnya.
Selain itu, kasus tersebut memperlihatkan adanya anarkisme perilaku dan profesi penegak hukum di Indonesia, dan keinginan untuk memiliki peradilan bersih semakin jauh dari harapan.
Dari kasus penangkapan Kajari Praya itu, Koalisis Masyarakar Sipil Antikorupsi NTB menyatakan, mendesak pemerintah dan DPR untuk membentuk KPK di daerah, mendesak lembaga kejaksaan, baik di Kejaksaan Agung maupun kejaksaan di daerah mengembangkan sistem informasi di jajaran lembaga Kejaksaan yang mudah diakses dan transparan.
Mendesak pemerintah dan aparat penagak hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap petani pemilik tanah, dan menuntut KPK dan aparat penegak hukum lainnya untuk mengembangkan dan membongkar mafia tanah dan mafia peradilan di NTB, serta mendesak Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi dan memeriksa kembali kinerja dan perkara-perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri di lingkungan Kejaksaan Tinggi NTB.
Selanjutnya, mengajak kalangan pemerhati peradilan untuk memperluas jaringan pemantau praktik korupsi dan mafia tanah di lembaga peradilan dan aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
"Juga mengajak kalangan pemerhati membentuk posko pemantauan terpadu untuk memantau praktik korupsi dan mafia tanah di lembaga penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun dan pengadilan," ujar Ahyar. (*)