Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Transportasi Denon Prawiraatmadja menilai kawasan maritim Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) berpotensi untuk menjadi kawasan ekonomi yang berkembang dan dinamis di ASEAN.
Oleh karena itu, menurut Denon, para pelaku usaha, terutama di sektor logistik dan pelayaran dituntut lebih peka dalam melihat perkembangan dunia, dan tangkas menghadapi situasi sulit ini yang banyak ketidakpastian.
“Ke depannya, sektor logistik dan pelayaran, terutama di Indonesia akan makin strategis, terutama karena ekonomi maritim kita didorong untuk lebih berkontribusi pada pembangunan dan ekonomi di Indonesia. Ekonomi maritim Indonesia juga ditargetkan untuk bisa memberikan kontribusi hingga 12,5 persen terhadap PDB nasional pada tahun 2045,” katanya di Jakarta, Rabu.
Denon menambahkan, sektor pelayaran nasional akan menjadi tulang punggung dari kegiatan logistik nasional sejalan dengan pembangunan yang merata di Indonesia. Dengan demikian, secara tidak langsung hal ini akan berdampak pada efisiensi biaya logistik di masa mendatang. Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina merupakan negara-negara dengan jumlah pangsa pasar lebih dari 70 juta jiwa.
Keempat negara tersebut juga kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, kayu, mineral, dan perikanan sehingga memberikan potensi besar untuk perdagangan dan investasi dan memberikan peluang untuk mengembangkan industri tersebut. Tak hanya itu, letak negara-negara tersebut juga sangat strategis di antara jalur pelayaran utama, sehingga memberikan potensi untuk mengembangkan fasilitas pelabuhan dan industri terkait.
Terlepas dari peluang yang ada, Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok Kadin Indonesia Akbar Djohan mengakui terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kawasan maritim BIMP-EAGA, antara lain kurangnya infrastruktur, terutama di bidang transportasi, komunikasi dan listrik, hingga kurangnya harmonisasi kebijakan dan peraturan antara negara-negara anggota.
Baca juga: Perusahaan Kaltim raih Penghargaan K3 ASEAN
Baca juga: Indonesia invites Canada to develop EV ecosystem in ASEAN
Untuk menghadapi tantangan di industri saat ini, menurut Akbar, dibutuhkan peningkatan investasi di bidang infrastruktur, khususnya di bidang transportasi, komunikasi, dan pembangkit listrik untuk mendukung pembangunan daerah.
“Kerja sama dan koordinasi antarnegara anggota BIMP-EAGA sangatlah penting, khususnya di bidang kebijakan dan regulasi, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lebih ramah bisnis. Terakhir, setiap negara anggota wajib untuk memberikan dukungan bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM),” kata Akbar.
Oleh karena itu, menurut Denon, para pelaku usaha, terutama di sektor logistik dan pelayaran dituntut lebih peka dalam melihat perkembangan dunia, dan tangkas menghadapi situasi sulit ini yang banyak ketidakpastian.
“Ke depannya, sektor logistik dan pelayaran, terutama di Indonesia akan makin strategis, terutama karena ekonomi maritim kita didorong untuk lebih berkontribusi pada pembangunan dan ekonomi di Indonesia. Ekonomi maritim Indonesia juga ditargetkan untuk bisa memberikan kontribusi hingga 12,5 persen terhadap PDB nasional pada tahun 2045,” katanya di Jakarta, Rabu.
Denon menambahkan, sektor pelayaran nasional akan menjadi tulang punggung dari kegiatan logistik nasional sejalan dengan pembangunan yang merata di Indonesia. Dengan demikian, secara tidak langsung hal ini akan berdampak pada efisiensi biaya logistik di masa mendatang. Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina merupakan negara-negara dengan jumlah pangsa pasar lebih dari 70 juta jiwa.
Keempat negara tersebut juga kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, kayu, mineral, dan perikanan sehingga memberikan potensi besar untuk perdagangan dan investasi dan memberikan peluang untuk mengembangkan industri tersebut. Tak hanya itu, letak negara-negara tersebut juga sangat strategis di antara jalur pelayaran utama, sehingga memberikan potensi untuk mengembangkan fasilitas pelabuhan dan industri terkait.
Terlepas dari peluang yang ada, Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok Kadin Indonesia Akbar Djohan mengakui terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kawasan maritim BIMP-EAGA, antara lain kurangnya infrastruktur, terutama di bidang transportasi, komunikasi dan listrik, hingga kurangnya harmonisasi kebijakan dan peraturan antara negara-negara anggota.
Baca juga: Perusahaan Kaltim raih Penghargaan K3 ASEAN
Baca juga: Indonesia invites Canada to develop EV ecosystem in ASEAN
Untuk menghadapi tantangan di industri saat ini, menurut Akbar, dibutuhkan peningkatan investasi di bidang infrastruktur, khususnya di bidang transportasi, komunikasi, dan pembangkit listrik untuk mendukung pembangunan daerah.
“Kerja sama dan koordinasi antarnegara anggota BIMP-EAGA sangatlah penting, khususnya di bidang kebijakan dan regulasi, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lebih ramah bisnis. Terakhir, setiap negara anggota wajib untuk memberikan dukungan bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM),” kata Akbar.