Kupang (ANTARA) - Pengamat Pendidikan dari Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT Prof Simon Sabon Ola menilai kebijakan aktivitas kegiatan belajar mengajar (KBM) yang dimulai pada pukul 05.30 WITA tidak ada korelasinya dengan menciptakan pelajar dan sekolah yang unggul. "Sebenarnya tidak ada sama sekali korelasinya antara masuk sekolah di jam 05.30 WITA dengan peningkatan etos kerja dan mutu belajar," katanya kepada ANTARA di Kupang, Kamis.

Hal ini disampaikan menanggapi kebijakan gubernur NTT Viktor B Laiskodat terkait aktivitas KBM yang dimulai pukul 05.30 WITA di lingkungan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kota Kupang.

Kini sudah ada kurang lebih dua sekolah yang sudah menerapkan kebijakan tersebut, dan SMA Negeri I Kupang merupakan sekolah kedua yang menerapkan kebijakan itu per Rabu (1/3). Dia menjelaskan bahwa beberapa negara dengan tingkat pendidikan yang bagus di dunia justru lebih memilih jam sekolah pada pukul sembilan, atau delapan dan Indonesia dimulai pada pukul tujuh pagi. "Jika mengambil contoh aktivitas sekolah di seminari dan pesantren adalah pemikiran yang keliru," ujar dia.

Simon mengaku saat dirinya masih di asrama dan masih di masa sekolah, aturan asrama mewajibkan bangun jam empat subuh. Namun itu digunakan untuk belajar mandiri tanpa ada tekanan dari guru, baru kemudian mandi, ibadah lalu sarapan jam enam dan jam tujuh mulai kegiatan KBM.

Dan hal itu terjadi dalam lingkungan asrama yang aman, dan sudah disiapkan semua, tanpa harus ada rasa takut berjalan jauh dalam kegelapan untuk sampai ke sekolah. Dia pun mengkritik bahwa kebijakan sekolah pada jam 05.30 WITA itu berkaitan dengan banyak orang, antara lain anak yang sekolah dan orang tua.

Baca juga: Perhatikan kesiapan siswa masuk pukul 05.30 WITA
Baca juga: PGRI NTT nyatakan perlu kajian mendalam penerapan KBM pukul 5.30 Wita

"Karena itu harusnya disosialisasikan terlebih dahulu, kemudian menjaring respon orang lalu menghitung dampak positif dan negatifnya serta keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan yang dibuat itu," tambah dia. Dia juga menilai seharusnya dilakukan penelitian terlebih dahulu selama beberapa bulan atau satu semester dengan menentukan sekolah mana saja yang menjadi lokasi uji coba, sebab setiap sekolah itu bervariasi.

Dalam arti bahwa ada pelajar yang tinggal di dekat sekolah, namun ada juga yang tinggal jauh. Jika yang tinggal jauh sekitar 10 kilometer itu berada di ibu kota provinsi maka hal itu tidak terlalu bermasalah. "Tetapi jika diterapkan di kecamatan-kecamatan di daerahnya sepi saat pagi hari, apakah harus diterapkan juga kebijakan itu? Nah ini yang seharusnya dipikirkan," tambah dia. Jika sudah terkumpul semua sampelnya ujar dia, perlu didiskusikan dengan berbagai pihak untuk menerapkan kebijakan tersebut.


 


 

Pewarta : Kornelis Kaha
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024