Lari lintas alam (trail run) bisa menjadi pilihan olahraga yang menyegarkan bagi mereka yang jenuh dengan rutinitas kerja dan kegiatan di tengah kebisingan dan hiruk-pikuk perkotaan.
Di jalur lintas alam, mereka tidak berlari melintasi jalanan beraspal, melainkan jalan dengan bebatuan, tanah, pasir, dan ilalang, kadang bahkan harus melalui aliran sungai.
Lari lintas alam menawarkan tantangan yang lebih besar, alam terbuka dengan beragam lanskapnya: hutan, bukit, gunung, sawah, padang rumput, atau padang pasir.
Pendiri organisasi Trail Runners Indonesia (TRI) Nefo Ginting mengatakan lari lintas alam lebih menyehatkan ketimbang lari di jalanan kota karena di jalur lintas alam, pelari harus memaksimalkan kepekaan untuk melintasi berbagai medan.
"Pelari juga harus punya strategi bagus dan daya juang serta 'survival' apalagi ada target waktu yang dikejar," kata dia lalu menambahkan, setiap peserta lomba lari lintas alam wajib membawa barang-barang seperti makanan dan obat-obatan untuk mengantisipasi berbagai risiko selama berlari.
Nefo mengajak siapa saja yang berminat untuk mengikuti lari lintas alam tapi mengingatkan pelari pemula untuk memilih lomba yang sesuai dengan kapasitas fisiknya.
"Para pemula jangan sebaiknya mengikuti lari 'trail' jarak dekat dulu untuk mengenal medan," kata penggagas Tangerang Crazy Runners dan Indo Runners Bali itu.
Nefo menyadari bahwa lari lintas alam bukan olahraga yang mudah, namun dia optimistis olahraga ini akan semakin digandrungi di masa depan.
"Manusia itu suka tantangan, yang merasa kesal karena tidak bisa sampai ke garis finish biasanya akan mencoba ikut lagi," imbuh dia.
Sambil Wisata
Nefo mengatakan lari lintas alam merupakan salah satu olahraga alternatif yang bisa menjadi ajang promosi wisata alam Indonesia.
TRI, yang terbentuk tahun 2012 dan telah menjadi anggota International Trail Running Association, sudah beberapa kali mengadakan lomba lari lintas alam tahunan dan mengundang wisatawan asing untuk mengikutinya.
Mereka antara lain menggelar lomba lari lintas alam Mount Rinjani Ultra (MRU) dengan jarak 52 kilometer (km), Rinjani Altitude Run (RAR) sejauh 21 km serta Bromo Tengger Semeru 100 Ultra (BTS 100 Ultra) dengan variasi jarak 30 km, 70 km, 102 km dan 170 km.
Ratusan peserta yang mengikuti perlombaan tersebut tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari beragam negara seperti Singapura, Jepang, Malaysia, Australia, Inggris, Belanda, Swiss, Belgia, Spanyol, Denmark, Finlandia dan Prancis.
"Kami ingin mengundang wisatawan luar untuk berkunjung ke Indonesia dan menikmati alamnya dengan 'trail run'," kata lelaki berusia 51 tahun itu.
Para peserta lomba lari lintas alam berlari sambil menikmati pemandangan alam Indonesia. Saat mengikuti MRU misalnya, peserta melewati Senaru, Danau Segara Anak, Plawangan Sembalun, hingga Puncak Rinjani.
"Pemandangannya luar biasa, larinya mulai malam hari, jadi peserta melihat pemandangan dari gelap, lalu disambut dengan warna indah saat matahari terbit di puncak Rinjani, sampai merinding saya mengingat itu saking indahnya," tutur Nefo seraya menggosok pergelangan lengan.
Menurut Nefo, setiap tempat memiliki karakteristik keindahan tersendiri. Rinjani yang relatif lebih sulit dijangkau menggunakan alat transportasi menyajikan warna-warni langit yang indah, sementara Bromo memiliki medan beragam seperti savana dan padang pasir dengan cuaca yang bervariasi.
Saat ini TRI yang beranggotakan sekitar 3.500 orang baru menyasar ikon-ikon pariwisata sebagai lokasi penyelenggaraan lomba lari lintas alam.
Namun, Nefo mengatakan, penyelenggara lomba lari lintas alam di Indonesia umumnya masih harus menghadapi beberapa kendala, antara lain keterbatasan fasilitas pendukung pariwisata.
"Fasilitas kamar kecil dan penginapan harus diperbanyak, " kata pria yang mendaki Kala Patthar di Nepal pada 2012.
Selain itu, menurut dia, sebagian tempat wisata alam yang bisa digunakan untuk lari lintas alam seringkali kotor oleh sampah para pengunjung sehingga memberi kesan buruk bagi peserta lomba, terutama yang berasal dari luar Indonesia.
Nefo sampai pernah mendapat surat elektronik dari peserta lomba lari lintas alam asal Hong Kong yang prihatin dengan kondisi sampah di lintasan perlombaan.
"Sampah itu tentunya bukan dari peserta 'trail run' karena kami punya peraturan ketat bahwa peserta tidak boleh membuang sampah atau merusak alam," kata dia sambil memperlihatkan sederetan aturan di laman resmi perlombaan MRU.
Lepas Penat
Ali Sobri (25) jarang melewatkan lari massal yang sering diselenggarakan di kota-kota besar dalam beberapa tahun terakhir. Namun pria yang akrab dipanggil Sobri itu merasa jalanan Jakarta sudah makin sumpek dan tidak lagi nyaman untuk berlari.
"Lari di Jakarta ujungnya stres, misalnya mencari parkir. Lagipula meski ada Car Free Day masih banyak kendaraan. Belum lagi bejubel karena semua orang jadi suka lari," tutur dia.
Lari lintas alam yang biasanya digelar di luar kota menjadi olahraga alternatif yang membantu dia melepas penat, membuat dia berlari tanpa harus berdesakan dengan banyak pelari lain.
"Peserta 'trail run' paling ratusan, itu karena peserta memang niat banget dan usaha ke lokasi juga gede, larinya pun butuh usaha lebih dari biasanya," jelas pria yang semasa kuliah gemar mendaki gunung itu.
"Banyak sambilannya, sambil 'refreshing' lihat trek di dalam hutan, lewati sungai, bukit, kebun dan bebatuan," ujar Sobri, yang melatih fisik untuk lari lintas alam dengan rutin mengitari Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Sobri mengaku baru sekali mengikuti lari lintas alam, yaitu Garuda Finisher Trail Run 12K di Bandung bulan Mei lalu.
Ketika itu, dia dan sepatu larinya bertualang dari jalan aspal, tanah, rerumputan, bebatuan hingga aliran air sungai. Dia harus melewati jembatan dari kayu, sebatang pohon, dan rumpun bambu. Tanah becek berlumpur hingga tanah lapang pun dia lalui.
"Yang paling berkesan di hutan dan sungai, pemandangan dan suasana larinya pasti tidak bisa diciptakan kalau kita ada di kota," kata Sobri, yang berniat mengikuti lari lintas alam dengan jarak yang lebih jauh.
Sementara Muhammad Afif Gunung (24) berkenalan dengan kegiatan lari lintas alam karena ingin mendaki gunung dalam waktu singkat.
"Ada yang mengajak ke gunung Gede..., langsung tek tok sehari, ternyata memang fun karena enggak repot dan makan waktu," kata pria yang penah berlari melewati medan berbatu sejauh 15 km itu.
Bagi para penyuka lari lintas alam, rasa letih karena berlari melintasi beragam medan terbayar dengan kenyamanan menyatu dengan alam, menikmati keindahan pemandangan dan merasakan kesegaran udara bersih masuk ke paru-paru.
"Kita ditantang dan menikmati alam dalam waktu bersamaan," kata Afif, yang pernah berlari menempuh lintasan di Gunung Gede selama delapan jam.
"Ini bentuk 'refreshment' yang berbeda," katanya.
Di jalur lintas alam, mereka tidak berlari melintasi jalanan beraspal, melainkan jalan dengan bebatuan, tanah, pasir, dan ilalang, kadang bahkan harus melalui aliran sungai.
Lari lintas alam menawarkan tantangan yang lebih besar, alam terbuka dengan beragam lanskapnya: hutan, bukit, gunung, sawah, padang rumput, atau padang pasir.
Pendiri organisasi Trail Runners Indonesia (TRI) Nefo Ginting mengatakan lari lintas alam lebih menyehatkan ketimbang lari di jalanan kota karena di jalur lintas alam, pelari harus memaksimalkan kepekaan untuk melintasi berbagai medan.
"Pelari juga harus punya strategi bagus dan daya juang serta 'survival' apalagi ada target waktu yang dikejar," kata dia lalu menambahkan, setiap peserta lomba lari lintas alam wajib membawa barang-barang seperti makanan dan obat-obatan untuk mengantisipasi berbagai risiko selama berlari.
Nefo mengajak siapa saja yang berminat untuk mengikuti lari lintas alam tapi mengingatkan pelari pemula untuk memilih lomba yang sesuai dengan kapasitas fisiknya.
"Para pemula jangan sebaiknya mengikuti lari 'trail' jarak dekat dulu untuk mengenal medan," kata penggagas Tangerang Crazy Runners dan Indo Runners Bali itu.
Nefo menyadari bahwa lari lintas alam bukan olahraga yang mudah, namun dia optimistis olahraga ini akan semakin digandrungi di masa depan.
"Manusia itu suka tantangan, yang merasa kesal karena tidak bisa sampai ke garis finish biasanya akan mencoba ikut lagi," imbuh dia.
Sambil Wisata
Nefo mengatakan lari lintas alam merupakan salah satu olahraga alternatif yang bisa menjadi ajang promosi wisata alam Indonesia.
TRI, yang terbentuk tahun 2012 dan telah menjadi anggota International Trail Running Association, sudah beberapa kali mengadakan lomba lari lintas alam tahunan dan mengundang wisatawan asing untuk mengikutinya.
Mereka antara lain menggelar lomba lari lintas alam Mount Rinjani Ultra (MRU) dengan jarak 52 kilometer (km), Rinjani Altitude Run (RAR) sejauh 21 km serta Bromo Tengger Semeru 100 Ultra (BTS 100 Ultra) dengan variasi jarak 30 km, 70 km, 102 km dan 170 km.
Ratusan peserta yang mengikuti perlombaan tersebut tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari beragam negara seperti Singapura, Jepang, Malaysia, Australia, Inggris, Belanda, Swiss, Belgia, Spanyol, Denmark, Finlandia dan Prancis.
"Kami ingin mengundang wisatawan luar untuk berkunjung ke Indonesia dan menikmati alamnya dengan 'trail run'," kata lelaki berusia 51 tahun itu.
Para peserta lomba lari lintas alam berlari sambil menikmati pemandangan alam Indonesia. Saat mengikuti MRU misalnya, peserta melewati Senaru, Danau Segara Anak, Plawangan Sembalun, hingga Puncak Rinjani.
"Pemandangannya luar biasa, larinya mulai malam hari, jadi peserta melihat pemandangan dari gelap, lalu disambut dengan warna indah saat matahari terbit di puncak Rinjani, sampai merinding saya mengingat itu saking indahnya," tutur Nefo seraya menggosok pergelangan lengan.
Menurut Nefo, setiap tempat memiliki karakteristik keindahan tersendiri. Rinjani yang relatif lebih sulit dijangkau menggunakan alat transportasi menyajikan warna-warni langit yang indah, sementara Bromo memiliki medan beragam seperti savana dan padang pasir dengan cuaca yang bervariasi.
Saat ini TRI yang beranggotakan sekitar 3.500 orang baru menyasar ikon-ikon pariwisata sebagai lokasi penyelenggaraan lomba lari lintas alam.
Namun, Nefo mengatakan, penyelenggara lomba lari lintas alam di Indonesia umumnya masih harus menghadapi beberapa kendala, antara lain keterbatasan fasilitas pendukung pariwisata.
"Fasilitas kamar kecil dan penginapan harus diperbanyak, " kata pria yang mendaki Kala Patthar di Nepal pada 2012.
Selain itu, menurut dia, sebagian tempat wisata alam yang bisa digunakan untuk lari lintas alam seringkali kotor oleh sampah para pengunjung sehingga memberi kesan buruk bagi peserta lomba, terutama yang berasal dari luar Indonesia.
Nefo sampai pernah mendapat surat elektronik dari peserta lomba lari lintas alam asal Hong Kong yang prihatin dengan kondisi sampah di lintasan perlombaan.
"Sampah itu tentunya bukan dari peserta 'trail run' karena kami punya peraturan ketat bahwa peserta tidak boleh membuang sampah atau merusak alam," kata dia sambil memperlihatkan sederetan aturan di laman resmi perlombaan MRU.
Lepas Penat
Ali Sobri (25) jarang melewatkan lari massal yang sering diselenggarakan di kota-kota besar dalam beberapa tahun terakhir. Namun pria yang akrab dipanggil Sobri itu merasa jalanan Jakarta sudah makin sumpek dan tidak lagi nyaman untuk berlari.
"Lari di Jakarta ujungnya stres, misalnya mencari parkir. Lagipula meski ada Car Free Day masih banyak kendaraan. Belum lagi bejubel karena semua orang jadi suka lari," tutur dia.
Lari lintas alam yang biasanya digelar di luar kota menjadi olahraga alternatif yang membantu dia melepas penat, membuat dia berlari tanpa harus berdesakan dengan banyak pelari lain.
"Peserta 'trail run' paling ratusan, itu karena peserta memang niat banget dan usaha ke lokasi juga gede, larinya pun butuh usaha lebih dari biasanya," jelas pria yang semasa kuliah gemar mendaki gunung itu.
"Banyak sambilannya, sambil 'refreshing' lihat trek di dalam hutan, lewati sungai, bukit, kebun dan bebatuan," ujar Sobri, yang melatih fisik untuk lari lintas alam dengan rutin mengitari Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Sobri mengaku baru sekali mengikuti lari lintas alam, yaitu Garuda Finisher Trail Run 12K di Bandung bulan Mei lalu.
Ketika itu, dia dan sepatu larinya bertualang dari jalan aspal, tanah, rerumputan, bebatuan hingga aliran air sungai. Dia harus melewati jembatan dari kayu, sebatang pohon, dan rumpun bambu. Tanah becek berlumpur hingga tanah lapang pun dia lalui.
"Yang paling berkesan di hutan dan sungai, pemandangan dan suasana larinya pasti tidak bisa diciptakan kalau kita ada di kota," kata Sobri, yang berniat mengikuti lari lintas alam dengan jarak yang lebih jauh.
Sementara Muhammad Afif Gunung (24) berkenalan dengan kegiatan lari lintas alam karena ingin mendaki gunung dalam waktu singkat.
"Ada yang mengajak ke gunung Gede..., langsung tek tok sehari, ternyata memang fun karena enggak repot dan makan waktu," kata pria yang penah berlari melewati medan berbatu sejauh 15 km itu.
Bagi para penyuka lari lintas alam, rasa letih karena berlari melintasi beragam medan terbayar dengan kenyamanan menyatu dengan alam, menikmati keindahan pemandangan dan merasakan kesegaran udara bersih masuk ke paru-paru.
"Kita ditantang dan menikmati alam dalam waktu bersamaan," kata Afif, yang pernah berlari menempuh lintasan di Gunung Gede selama delapan jam.
"Ini bentuk 'refreshment' yang berbeda," katanya.