Mataram (ANTARA) - Yayasan LombokCare membantu anak-anak dengan kaki pengkor di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat mendapatkan terapi agar bisa berjalan secara normal.
Ketua Yayasan LombokCare Apip Sutardi di Lombok Barat, Sabtu, mengatakan bahwa lembaganya membantu anak-anak dengan kaki pengkor menjalani terapi dengan metode ponseti.
Seusai acara peringatan World Clubfoot Day (Hari Kaki Pengkor Sedunia) di Kantor Yayasan LombokCare, ia mengatakan bahwa LombokCare dengan dukungan dari MiracleFeet, lembaga yang berbasis di Amerika Serikat, sudah membantu 34 anak dengan kaki pengkor menjalani terapi.
Dia menjelaskan, terapi dengan metode ponseti untuk anak dengan kaki pengkor mencakup pemasangan gips pada kaki, operasi tenotomi, dan pemakaian brace, sepatu yang dirancang sedemikian rupa untuk menjaga kaki anak tetap berada di posisi normal seusai operasi.
"Jadi, habis di gips, kemudian operasi tenotomi di rumah sakit, setelah itu dipakaikan brace. Ini penting dan harus dipakai pascaoperasi supaya kaki tidak relapse lagi," katanya.
Ia mengatakan bahwa setiap tahap penanganan anak dengan kaki pengkor dilakukan oleh tenaga profesional, termasuk dokter spesialis ortopedi dan ahli fisioterapi.
Apip mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam penanganan anak dengan kaki pengkor sejak lahir antara lain proses terapi yang membutuhkan waktu lama.
Menurut dia, tahap terapi menggunakan brace membutuhkan waktu beberapa tahun dan pelaksanaan proses terapi yang panjang itu sangat membutuhkan kesabaran orang tua.
Oleh karena itu, Apip mengatakan, LombokCare juga melaksanakan kegiatan edukasi untuk menguatkan para orang tua yang mendampingi anak dengan kaki pengkor menjalani terapi.
"Peran orang tua dalam persoalan ini menjadi salah satu faktor penting dalam penyembuhan. Maka dari itu, orang tua juga kami berikan edukasi yang tepat agar seluruh tahapan dari metode ponseti ini bisa dijalankan sampai anak sembuh," katanya.
Di antara orang tua yang anaknya mendapat bantuan terapi dari LombokCare ada Husniati (39), warga Penujak, Kabupaten Lombok Tengah.
"Alhamdulillah sekarang anak saya, Muhamad Hulil Hamzah, sudah bisa jalan normal. Kakinya sudah bagus," kata Husniati.
Husniati membawa anaknya ke Yayasan LombokCare pada tahun 2021. Ketika itu anaknya masih berusia lima bulan.
Menurut dia, anaknya sempat rewel pada awal pelaksanaan terapi.
"Saat itu yang beratnya pas masih awal-awal, pas pasang gips, anak saya rewel. Tetapi, setelah beberapa kali di terapi, anak saya mulai terbiasa, setelah itu tidak lagi rewel," katanya.
Muhamad Hulil Hamzah sekarang berusia dua tahun empat bulan dan sudah tidak memakai brace. Husniati bersyukur anaknya bisa berjalan sebagaimana anak-anak lain.
Dia mendorong para orang tua yang memiliki anak bayi dengan kaki pengkor untuk segera mengakses layanan terapi.
"Semakin cepat ditangani semakin cepat sembuhnya. Jadi, datang saja ke LombokCare. Pelayanan di sini ramah dan gratis," kata Husniati, yang bekerja di Yayasan Anak Bangsa di Kabupaten Lombok Tengah.
Menurut artikel yang disiarkan di laman resmi Kementerian Kesehatan, kelainan bawaan berupa kaki pengkor atau Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) angka kejadiannya antara satu sampai dua kasus per seribu kelahiran bayi.
Penyebab dari kelainan bawaan CTEV belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa teori yang menyatakan kelainan itu dapat disebabkan oleh faktor genetik, masalah kehamilan, dan infeksi.
Ketua Yayasan LombokCare Apip Sutardi di Lombok Barat, Sabtu, mengatakan bahwa lembaganya membantu anak-anak dengan kaki pengkor menjalani terapi dengan metode ponseti.
Seusai acara peringatan World Clubfoot Day (Hari Kaki Pengkor Sedunia) di Kantor Yayasan LombokCare, ia mengatakan bahwa LombokCare dengan dukungan dari MiracleFeet, lembaga yang berbasis di Amerika Serikat, sudah membantu 34 anak dengan kaki pengkor menjalani terapi.
Dia menjelaskan, terapi dengan metode ponseti untuk anak dengan kaki pengkor mencakup pemasangan gips pada kaki, operasi tenotomi, dan pemakaian brace, sepatu yang dirancang sedemikian rupa untuk menjaga kaki anak tetap berada di posisi normal seusai operasi.
"Jadi, habis di gips, kemudian operasi tenotomi di rumah sakit, setelah itu dipakaikan brace. Ini penting dan harus dipakai pascaoperasi supaya kaki tidak relapse lagi," katanya.
Ia mengatakan bahwa setiap tahap penanganan anak dengan kaki pengkor dilakukan oleh tenaga profesional, termasuk dokter spesialis ortopedi dan ahli fisioterapi.
Apip mengemukakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam penanganan anak dengan kaki pengkor sejak lahir antara lain proses terapi yang membutuhkan waktu lama.
Menurut dia, tahap terapi menggunakan brace membutuhkan waktu beberapa tahun dan pelaksanaan proses terapi yang panjang itu sangat membutuhkan kesabaran orang tua.
Oleh karena itu, Apip mengatakan, LombokCare juga melaksanakan kegiatan edukasi untuk menguatkan para orang tua yang mendampingi anak dengan kaki pengkor menjalani terapi.
"Peran orang tua dalam persoalan ini menjadi salah satu faktor penting dalam penyembuhan. Maka dari itu, orang tua juga kami berikan edukasi yang tepat agar seluruh tahapan dari metode ponseti ini bisa dijalankan sampai anak sembuh," katanya.
Di antara orang tua yang anaknya mendapat bantuan terapi dari LombokCare ada Husniati (39), warga Penujak, Kabupaten Lombok Tengah.
"Alhamdulillah sekarang anak saya, Muhamad Hulil Hamzah, sudah bisa jalan normal. Kakinya sudah bagus," kata Husniati.
Husniati membawa anaknya ke Yayasan LombokCare pada tahun 2021. Ketika itu anaknya masih berusia lima bulan.
Menurut dia, anaknya sempat rewel pada awal pelaksanaan terapi.
"Saat itu yang beratnya pas masih awal-awal, pas pasang gips, anak saya rewel. Tetapi, setelah beberapa kali di terapi, anak saya mulai terbiasa, setelah itu tidak lagi rewel," katanya.
Muhamad Hulil Hamzah sekarang berusia dua tahun empat bulan dan sudah tidak memakai brace. Husniati bersyukur anaknya bisa berjalan sebagaimana anak-anak lain.
Dia mendorong para orang tua yang memiliki anak bayi dengan kaki pengkor untuk segera mengakses layanan terapi.
"Semakin cepat ditangani semakin cepat sembuhnya. Jadi, datang saja ke LombokCare. Pelayanan di sini ramah dan gratis," kata Husniati, yang bekerja di Yayasan Anak Bangsa di Kabupaten Lombok Tengah.
Menurut artikel yang disiarkan di laman resmi Kementerian Kesehatan, kelainan bawaan berupa kaki pengkor atau Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) angka kejadiannya antara satu sampai dua kasus per seribu kelahiran bayi.
Penyebab dari kelainan bawaan CTEV belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa teori yang menyatakan kelainan itu dapat disebabkan oleh faktor genetik, masalah kehamilan, dan infeksi.