Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Peneliti Universitas Jember (Unej) melaksanakan riset di bidang bioteknologi khususnya rekayasa genetika untuk penerapan di bidang kesehatan, yakni penelitian tentang nyamuk malaria dan pengobatan menggunakan antibiotika pada penyakit gigi serta mulut.
Koordinator peneliti Oral Inflamation and Drug Development Research Group, Dessy Rahmawati menjelaskan, kelompok risetnya melakukan penelitian terkait dengan pengobatan menggunakan antibiotika pada gejala inflamasi pada mulut akibat penyakit infeksi gusi.
"Inflamasi bisa berwujud kondisi panas, bengkak dan merah pada gusi yang menyebabkan nyeri. Penyakit infeksi gusi dapat menyebabkan kerusakan pada gusi, tulang rahang, dan jaringan lunak di sekitar gusi. Kondisi ini merupakan salah satu komplikasi dari radang gusi," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis.
Menurut dosen di Fakultas Kedokteran Gigi itu, biasanya radang gusi diobati dengan pemberian antibiotika sebagai pain killer, namun pemberian antibiotika berlebihan apalagi dalam jangka waktu panjang berpotensi menimbulkan beragam efek samping.
"Efek samping tersebut seperti seperti mual, diare, menimbulkan reaksi alergi, hingga infeksi jamur. Dengan bioteknologi khususnya rekayasa genetika bisa memanfaatkan analisis ekspresi gen yang digunakan untuk mengidentifikasi DNA," tuturnya.
Dengan cara tersebut maka bisa tahu secara tepat bagian mana dari gusi yang tengah mengalami peradangan atau inflamasi, sehingga bisa menentukan takaran antibiotika yang tepat sehingga meminimalkan efek samping pemberian antibiotika.
Penelitian itu telah sampai pada hasil purwarupa (prototype) dan tahap preklinis yang dilakukan pada tikus serta telah menghasilkan luaran berupa enam terbitan artikel pada jurnal terindeks Scopus, serta dua buah buku cetak dan hak cipta flipchart.
Selain melakukan penelitian, Dessy Rahmawati dan tim juga melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan cara mengedukasi ibu hamil untuk lebih waspada dalam penggunaan antibiotik selaras dengan visi dan misi penelitiannya untuk meningkatkan penggunaan obat yang lebih biokompatibel tanpa efek samping.
Sementara itu, peneliti bidang kesehatan Unej lainnya Kartika Senjarini bersama tiim meneliti nyamuk sebagai obyeknya karena penyakit yang dibawa oleh nyamuk seperti malaria dan demam berdarah dapat menyebabkan kematian pada pasiennya.
Menurut dosen di Program Studi Biologi Fakultas MIPA itu, sebenarnya bukan nyamuk itu sendiri yang mematikan namun penyakit yang dibawa olehnya seperti malaria dan demam berdarah. "Kami mengelompokkan terhadap nyamuk yang dikategorikan sebagai vektor dan bukan vektor menggunakan pendekatan kode batang DNA," katanya.
Baca juga: Ahli kesehatan sarankan lakukan pemeriksaan genetik
Baca juga: Dokter spesialis sebut endometriosis bisa disebabkan faktor genetik
Ia mengatakan nyamuk itu sebagai vektor atau pembawa penyakit, sehingga para peneliti mengontrol dan melakukan pengawasan terhadap penularan atau transmisi penyakit karena nyamuk diantaranya penyakit malaria. "Caranya dengan metode transmission blocking vaccine. Kami berusaha menemukan kandungan protein pada air liur nyamuk yang menularkan penyakit atau mentransmisikan patogen," ucap dosen di Program Studi Biologi Fakultas MIPA itu.
Koordinator peneliti Oral Inflamation and Drug Development Research Group, Dessy Rahmawati menjelaskan, kelompok risetnya melakukan penelitian terkait dengan pengobatan menggunakan antibiotika pada gejala inflamasi pada mulut akibat penyakit infeksi gusi.
"Inflamasi bisa berwujud kondisi panas, bengkak dan merah pada gusi yang menyebabkan nyeri. Penyakit infeksi gusi dapat menyebabkan kerusakan pada gusi, tulang rahang, dan jaringan lunak di sekitar gusi. Kondisi ini merupakan salah satu komplikasi dari radang gusi," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis.
Menurut dosen di Fakultas Kedokteran Gigi itu, biasanya radang gusi diobati dengan pemberian antibiotika sebagai pain killer, namun pemberian antibiotika berlebihan apalagi dalam jangka waktu panjang berpotensi menimbulkan beragam efek samping.
"Efek samping tersebut seperti seperti mual, diare, menimbulkan reaksi alergi, hingga infeksi jamur. Dengan bioteknologi khususnya rekayasa genetika bisa memanfaatkan analisis ekspresi gen yang digunakan untuk mengidentifikasi DNA," tuturnya.
Dengan cara tersebut maka bisa tahu secara tepat bagian mana dari gusi yang tengah mengalami peradangan atau inflamasi, sehingga bisa menentukan takaran antibiotika yang tepat sehingga meminimalkan efek samping pemberian antibiotika.
Penelitian itu telah sampai pada hasil purwarupa (prototype) dan tahap preklinis yang dilakukan pada tikus serta telah menghasilkan luaran berupa enam terbitan artikel pada jurnal terindeks Scopus, serta dua buah buku cetak dan hak cipta flipchart.
Selain melakukan penelitian, Dessy Rahmawati dan tim juga melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan cara mengedukasi ibu hamil untuk lebih waspada dalam penggunaan antibiotik selaras dengan visi dan misi penelitiannya untuk meningkatkan penggunaan obat yang lebih biokompatibel tanpa efek samping.
Sementara itu, peneliti bidang kesehatan Unej lainnya Kartika Senjarini bersama tiim meneliti nyamuk sebagai obyeknya karena penyakit yang dibawa oleh nyamuk seperti malaria dan demam berdarah dapat menyebabkan kematian pada pasiennya.
Menurut dosen di Program Studi Biologi Fakultas MIPA itu, sebenarnya bukan nyamuk itu sendiri yang mematikan namun penyakit yang dibawa olehnya seperti malaria dan demam berdarah. "Kami mengelompokkan terhadap nyamuk yang dikategorikan sebagai vektor dan bukan vektor menggunakan pendekatan kode batang DNA," katanya.
Baca juga: Ahli kesehatan sarankan lakukan pemeriksaan genetik
Baca juga: Dokter spesialis sebut endometriosis bisa disebabkan faktor genetik
Ia mengatakan nyamuk itu sebagai vektor atau pembawa penyakit, sehingga para peneliti mengontrol dan melakukan pengawasan terhadap penularan atau transmisi penyakit karena nyamuk diantaranya penyakit malaria. "Caranya dengan metode transmission blocking vaccine. Kami berusaha menemukan kandungan protein pada air liur nyamuk yang menularkan penyakit atau mentransmisikan patogen," ucap dosen di Program Studi Biologi Fakultas MIPA itu.