Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan digitalisasi sistem pembayaran yang saat ini banyak digunakan di Indonesia menjadi salah satu respons BI untuk menjawab tantangan ekonomi dari perkembangan disrupsi Artificial Intelligence (AI).
"Itulah yang kita keluarkan dalam digitalisasi sistem pembayaran, kita sudah keluarkan blue print sistem pembayaran Indonesia pada tahun 2019, sekitar 10 bulan sebelum COVID-19, dan itulah transformasi digital yang kita lakukan di sistem pembayaran,” kata Perry dalam webinar ISEI Jakarta yang diikuti di Jakarta, Senin.
Di tengah banyaknya tantangan automatisasi akibat adanya disrupsi AI, Perry menyampaikan bahwa kemunculan AI juga memberikan potensi yang dapat diraih banyak negara, tak terkecuali Indonesia dalam aspek digitalisasi ekonomi.
Berdasarkan riset McKinsey & Company, AI mampu menciptakan potensi untuk menambahkan nilai ekonomi global sebesar 2,6 triliun dolar AS, bahkan mampu mencapai 4,4 triliun dolar AS. Perry menjelaskan, pihaknya saat ini tengah berupaya untuk terus mengembangkan digitalisasi ekonomi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Beberapa contoh transformasi ekonomi digital yang telah digagas oleh BI yaitu yang pertama Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Standar Nasional Open API Pembayaran yang selanjutnya disingkat SNAP.
Kedua terobosan tersebut telah menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, inovatif serta mendorong integrasi, interkoneksi, interoperabilitas. Kedua, Perry mengatakan bahwa BI saat ini menerapkan reformasi industri untuk mengarahkan bagaimana industri bisa maju, mudah dalam berinvestasi, meningkatkan produktivitas dan manajemen risiko yang kuat.
Baca juga: Pengguna transaksi elektronik tumbuh 45,61 persen
Baca juga: BI berencana beri insentif bunga untuk eksportir
Ketiga, melalui BI-FAST, BI mampu melayani infrastruktur pembayaran ritel dengan biaya Rp2.500. Selain itu, Perry menyampaikan rencananya untuk menyambungkan BI-FAST dengan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). "Itu penting untuk membangun transformasi digital yang tentu saja juga nanti diperlukan di tengah kemunculan AI," pungkasnya.
"Itulah yang kita keluarkan dalam digitalisasi sistem pembayaran, kita sudah keluarkan blue print sistem pembayaran Indonesia pada tahun 2019, sekitar 10 bulan sebelum COVID-19, dan itulah transformasi digital yang kita lakukan di sistem pembayaran,” kata Perry dalam webinar ISEI Jakarta yang diikuti di Jakarta, Senin.
Di tengah banyaknya tantangan automatisasi akibat adanya disrupsi AI, Perry menyampaikan bahwa kemunculan AI juga memberikan potensi yang dapat diraih banyak negara, tak terkecuali Indonesia dalam aspek digitalisasi ekonomi.
Berdasarkan riset McKinsey & Company, AI mampu menciptakan potensi untuk menambahkan nilai ekonomi global sebesar 2,6 triliun dolar AS, bahkan mampu mencapai 4,4 triliun dolar AS. Perry menjelaskan, pihaknya saat ini tengah berupaya untuk terus mengembangkan digitalisasi ekonomi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Beberapa contoh transformasi ekonomi digital yang telah digagas oleh BI yaitu yang pertama Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Standar Nasional Open API Pembayaran yang selanjutnya disingkat SNAP.
Kedua terobosan tersebut telah menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, inovatif serta mendorong integrasi, interkoneksi, interoperabilitas. Kedua, Perry mengatakan bahwa BI saat ini menerapkan reformasi industri untuk mengarahkan bagaimana industri bisa maju, mudah dalam berinvestasi, meningkatkan produktivitas dan manajemen risiko yang kuat.
Baca juga: Pengguna transaksi elektronik tumbuh 45,61 persen
Baca juga: BI berencana beri insentif bunga untuk eksportir
Ketiga, melalui BI-FAST, BI mampu melayani infrastruktur pembayaran ritel dengan biaya Rp2.500. Selain itu, Perry menyampaikan rencananya untuk menyambungkan BI-FAST dengan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). "Itu penting untuk membangun transformasi digital yang tentu saja juga nanti diperlukan di tengah kemunculan AI," pungkasnya.