Mataram (Antara NTB) - Sebanyak 3.667 anak di Nusa Tenggara Barat yang putus sekolah pada tahun ajaran 2014/2015 berpotensi menjadi penduduk miskin karena tidak memiliki pendidikan memadai untuk bekerja di sektor formal dengan upah layak.
"Bisa saja jadi penduduk miskin ketika sudah berumah tangga, kecuali kalau nikah sama orang yang berada (kaya) ya tentu tidak akan miskin," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB) Wahyudin, di Mataram, Senin.
Data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB tercatat sebanyak 3.667 anak putus sekolah pada tahun ajaran 2014/2015, terdiri atas siswa sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (MI/SD) sebanyak 969 orang, sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) 801 siswa.
Sementara jumlah siswa putus sekolah di jenjang sekolah menengah atas/madrasah aliyah dan sekolah menengah kejuruan (SMA/MA/SMK) pada tahun ajaran 2014/2015 sebanyak 1.897 orang.
Untuk tahun ajaran 2013/2014, sebanyak 1.047 siswa SD/MI putus sekolah, sedangkan jenjang SMP/MTs sebanyak 822 siswa, jenjang SMA/MA sebanyak 990 siswa dan jenjang SMK 857 siswa.
Wahyudin mengatakan, jika mayoritas siswa putus sekolah disebabkan karena persoalan keterbatasan ekonomi maka besar potensi mereka akan menjadi miskin seperti orang tuanya.
"Kalau putus sekolahnya karena kemiskinan itu yang potensi jadi penduduk miskin baru, tapi beberapa tahun ke depan kalau sudah berkeluarga," ujarnya.
Penduduk putus sekolah, kata dia, tentu tetap memiliki kesempatan untuk bekerja dan berusaha, meskipun tidak memiliki ijazah sekolah yang memadai.
"Mereka bisa saja jadi pengusaha, seperti di pasar-pasar tradisional jadi pedagang," ucapnya.
Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin, juga mengakui jika tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan di daerahnya.
"Ya banyak hal yang mempengaruhi kemiskinan, termasuk juga dalam bidang pendidikan, karena itu saya kira data itu penting bagi kita untuk dijadikan bahan melakukan evaluasi," ujarnya usai mengikuti apel memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Masih relatif banyaknya siswa putus sekolah, menurut dia, bukan berarti NTB gagal menjalankan program angka "drop out" nol (Adono) atau angka putus sekolah nol yang dijalankan sejak 2009-2013.
Pemerintah Provinsi NTB terus berupaya menekan angka putus sekolah, salah satunya melalui program beasiswa bagi murid miskin untuk mengurangi beban biaya pendidikannya dan biaya operasional sekolah (BOS) dari APBD untuk melengkapi dana BOS dari APBN.
Namun, menurut Amin, meskipun ada alokasi anggaran yang dinilai mencukupi untuk menjalankan program pendidikan, tetap saja ada hambatan dan tantangan.
"Apa yang sudah dilakukan tidak gagal, saya kira pasti ada kemajuan walaupun belum signifikan. Kami tetap evaluasi di mana letak kesalahan dan hambatan, kemudian apa faktor pendorong dan pengungkit untuk mencapai target yang ditetapkan," katanya.
Amin juga menampik jika angka putus sekolah yang masih relatif tinggi disebabkan karena masih adanya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah.
"Saya kira belum ada laporan yang terlalu tentang hal itu, tapi kami ingin semua berjalan sesuai dengan koridor dan momentum hari pendidikan ini menjadi momentum untuk membenahi," ucap Amin. (*)
"Bisa saja jadi penduduk miskin ketika sudah berumah tangga, kecuali kalau nikah sama orang yang berada (kaya) ya tentu tidak akan miskin," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB) Wahyudin, di Mataram, Senin.
Data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB tercatat sebanyak 3.667 anak putus sekolah pada tahun ajaran 2014/2015, terdiri atas siswa sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (MI/SD) sebanyak 969 orang, sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) 801 siswa.
Sementara jumlah siswa putus sekolah di jenjang sekolah menengah atas/madrasah aliyah dan sekolah menengah kejuruan (SMA/MA/SMK) pada tahun ajaran 2014/2015 sebanyak 1.897 orang.
Untuk tahun ajaran 2013/2014, sebanyak 1.047 siswa SD/MI putus sekolah, sedangkan jenjang SMP/MTs sebanyak 822 siswa, jenjang SMA/MA sebanyak 990 siswa dan jenjang SMK 857 siswa.
Wahyudin mengatakan, jika mayoritas siswa putus sekolah disebabkan karena persoalan keterbatasan ekonomi maka besar potensi mereka akan menjadi miskin seperti orang tuanya.
"Kalau putus sekolahnya karena kemiskinan itu yang potensi jadi penduduk miskin baru, tapi beberapa tahun ke depan kalau sudah berkeluarga," ujarnya.
Penduduk putus sekolah, kata dia, tentu tetap memiliki kesempatan untuk bekerja dan berusaha, meskipun tidak memiliki ijazah sekolah yang memadai.
"Mereka bisa saja jadi pengusaha, seperti di pasar-pasar tradisional jadi pedagang," ucapnya.
Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin, juga mengakui jika tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan di daerahnya.
"Ya banyak hal yang mempengaruhi kemiskinan, termasuk juga dalam bidang pendidikan, karena itu saya kira data itu penting bagi kita untuk dijadikan bahan melakukan evaluasi," ujarnya usai mengikuti apel memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Masih relatif banyaknya siswa putus sekolah, menurut dia, bukan berarti NTB gagal menjalankan program angka "drop out" nol (Adono) atau angka putus sekolah nol yang dijalankan sejak 2009-2013.
Pemerintah Provinsi NTB terus berupaya menekan angka putus sekolah, salah satunya melalui program beasiswa bagi murid miskin untuk mengurangi beban biaya pendidikannya dan biaya operasional sekolah (BOS) dari APBD untuk melengkapi dana BOS dari APBN.
Namun, menurut Amin, meskipun ada alokasi anggaran yang dinilai mencukupi untuk menjalankan program pendidikan, tetap saja ada hambatan dan tantangan.
"Apa yang sudah dilakukan tidak gagal, saya kira pasti ada kemajuan walaupun belum signifikan. Kami tetap evaluasi di mana letak kesalahan dan hambatan, kemudian apa faktor pendorong dan pengungkit untuk mencapai target yang ditetapkan," katanya.
Amin juga menampik jika angka putus sekolah yang masih relatif tinggi disebabkan karena masih adanya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah.
"Saya kira belum ada laporan yang terlalu tentang hal itu, tapi kami ingin semua berjalan sesuai dengan koridor dan momentum hari pendidikan ini menjadi momentum untuk membenahi," ucap Amin. (*)