Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi memastikan pengobatan HIV/AIDS bisa diakses secara gratis di fasilitas kesehatan milik pemerintah.
"Orang Dengan HIV (ODHIV) itu masuk di dalam program pemerintah, jadi obat-obatannya semua kita suplai, dan mereka yang tidak punya BPJS kesehatan pun itu bisa mengakses, hanya saja kadang ODHIV tidak mau menggunakan BPJS-nya dengan alasan tertentu, misal takut privasinya," kata Imran di Jakarta, Selasa malam (28/11).
Alasan privasi dan stigma dari masyarakat menurut Imran masih menjadi alasan kuat mengapa teman-teman dengan HIV/AIDS memilih untuk berobat di fasilitas kesehatan swasta.
"Ini yang kadang-kadang kita jadi ada laporan, mengapa kok membayar, padahal sebenarnya kalau mereka mau menggunakan jalur program itu gratis, di puskesmas dan rumah sakit pemerintah itu gratis, tetapi mereka masih malu menggunakannya, jadi harus dilihat case by case," ucap Imran.
Ia menegaskan, untuk memastikan pasien dengan HIV/AIDS tidak berhenti mengkonsumsi obat, ada dua hal yang mesti dilakukan, pertama yakni memperluas akses ODHIV untuk pengobatan serta menambah layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP) agar ODHIV dapat mengakses terapi antiretroviral (ARV) untuk mengendalikan infeksi HIV.
"Sesuai dengan tata laksana, HIV tidak bisa lagi eksklusif, kalau dulu hanya di rumah sakit, sekarang harus diperbanyak sampai layanan primer, dan memang sudah ada layanan di puskesmas secara gratis," ucap Imran.
Kemudian, langkah kedua yang mesti dilakukan menurut Imran yakni menguatkan peran komunitas, karena yang bisa lebih menjangkau ODHIV adalah teman-teman komunitas, mengingat keterbatasan tenaga kesehatan (nakes) yang ada, utamanya di wilayah-wilayah tepencil.
"Karena kalau nakesnya kan tidak dekat, tetapi komunitas lebih dekat, yang bisa ngomong (kepada ODHIV untuk berobat) itu komunitas, karena mereka yang pernah ada di titik itu, tetapi saya tegaskan, secara umum, obat untuk ODHIV itu gratis," paparnya.
Ia juga menekankan bahwa Kemenkes atau pemerintah tidak dapat bekerja sendirian dalam mengatasi HIV/AIDS ini.
"Tidak hanya HIV, semua penyakit itu tidak bisa Kemenkes sendiri yang bergerak, pasti kita akan melibatkan sektor-sektor yang lain, koordinasi kita lakukan terus dengan kementerian/lembaga yang lain," kata dia.
Adapun Kemenkes mencatat cakupan testing HIV pada populasi dengan risiko terinfeksi HIV yakni 7.197.512 jiwa, dengan populasi yakni ibu hamil, pasien tuberkulosis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien infeksi menular seksual (IMS), lelaki suka lelaki (LSL), wanita pekerja seks (WPS), dan pengguna narkoba suntik (penasun).
Agar kasus HIV/AIDS dapat terus dikawal dengan baik oleh pemerintah daerah, Imran menyarankan agar penanganan penyakit tersebut bisa masuk dalam standar pelayanan minimal (SPM) kepala daerah, karena itu dapat dilihat sebagai rapor kepala daerah atas kepemimpinannya.
Baca juga: OKP di Papua harus aktif sosialisasikan bahaya HIV/AIDS
Baca juga: Bogor merancang aplikasi monitor kondisi penderita AIDS
"Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana semua pihak bisa mengakses akuntabilitas dari pemda, karena itu memang harus dipertanggungjawabkan. Ada 12 indikator SPM Kemenkes, salah satunya adalah untuk HIV. Ini bisa menjadi salah satu upaya mengingatkan kembali, bahwa kepala daerah memiliki tugas untuk menangani HIV/AIDS di wilayah, sehinga mereka harus akuntabel," demikian Imran Pambudi.
"Orang Dengan HIV (ODHIV) itu masuk di dalam program pemerintah, jadi obat-obatannya semua kita suplai, dan mereka yang tidak punya BPJS kesehatan pun itu bisa mengakses, hanya saja kadang ODHIV tidak mau menggunakan BPJS-nya dengan alasan tertentu, misal takut privasinya," kata Imran di Jakarta, Selasa malam (28/11).
Alasan privasi dan stigma dari masyarakat menurut Imran masih menjadi alasan kuat mengapa teman-teman dengan HIV/AIDS memilih untuk berobat di fasilitas kesehatan swasta.
"Ini yang kadang-kadang kita jadi ada laporan, mengapa kok membayar, padahal sebenarnya kalau mereka mau menggunakan jalur program itu gratis, di puskesmas dan rumah sakit pemerintah itu gratis, tetapi mereka masih malu menggunakannya, jadi harus dilihat case by case," ucap Imran.
Ia menegaskan, untuk memastikan pasien dengan HIV/AIDS tidak berhenti mengkonsumsi obat, ada dua hal yang mesti dilakukan, pertama yakni memperluas akses ODHIV untuk pengobatan serta menambah layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP) agar ODHIV dapat mengakses terapi antiretroviral (ARV) untuk mengendalikan infeksi HIV.
"Sesuai dengan tata laksana, HIV tidak bisa lagi eksklusif, kalau dulu hanya di rumah sakit, sekarang harus diperbanyak sampai layanan primer, dan memang sudah ada layanan di puskesmas secara gratis," ucap Imran.
Kemudian, langkah kedua yang mesti dilakukan menurut Imran yakni menguatkan peran komunitas, karena yang bisa lebih menjangkau ODHIV adalah teman-teman komunitas, mengingat keterbatasan tenaga kesehatan (nakes) yang ada, utamanya di wilayah-wilayah tepencil.
"Karena kalau nakesnya kan tidak dekat, tetapi komunitas lebih dekat, yang bisa ngomong (kepada ODHIV untuk berobat) itu komunitas, karena mereka yang pernah ada di titik itu, tetapi saya tegaskan, secara umum, obat untuk ODHIV itu gratis," paparnya.
Ia juga menekankan bahwa Kemenkes atau pemerintah tidak dapat bekerja sendirian dalam mengatasi HIV/AIDS ini.
"Tidak hanya HIV, semua penyakit itu tidak bisa Kemenkes sendiri yang bergerak, pasti kita akan melibatkan sektor-sektor yang lain, koordinasi kita lakukan terus dengan kementerian/lembaga yang lain," kata dia.
Adapun Kemenkes mencatat cakupan testing HIV pada populasi dengan risiko terinfeksi HIV yakni 7.197.512 jiwa, dengan populasi yakni ibu hamil, pasien tuberkulosis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien infeksi menular seksual (IMS), lelaki suka lelaki (LSL), wanita pekerja seks (WPS), dan pengguna narkoba suntik (penasun).
Agar kasus HIV/AIDS dapat terus dikawal dengan baik oleh pemerintah daerah, Imran menyarankan agar penanganan penyakit tersebut bisa masuk dalam standar pelayanan minimal (SPM) kepala daerah, karena itu dapat dilihat sebagai rapor kepala daerah atas kepemimpinannya.
Baca juga: OKP di Papua harus aktif sosialisasikan bahaya HIV/AIDS
Baca juga: Bogor merancang aplikasi monitor kondisi penderita AIDS
"Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana semua pihak bisa mengakses akuntabilitas dari pemda, karena itu memang harus dipertanggungjawabkan. Ada 12 indikator SPM Kemenkes, salah satunya adalah untuk HIV. Ini bisa menjadi salah satu upaya mengingatkan kembali, bahwa kepala daerah memiliki tugas untuk menangani HIV/AIDS di wilayah, sehinga mereka harus akuntabel," demikian Imran Pambudi.