Jakarta (ANTARA) - Peneliti ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf R Manilet mengatakan konflik Iran dan Israel berpotensi mengganggu pasokan minyak mentah sehingga dapat menyebabkan lonjakan harga minyak mentah dunia.
"Keprihatinan utamanya adalah gangguan pasokan minyak, yang bisa menyebabkan lonjakan harga minyak karena Selat Hormuz merupakan jalur perdagangan vital untuk ekspor minyak. Hal ini dapat berdampak merambat pada ekonomi global, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada impor minyak," kata Yusuf kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Dalam sepekan terakhir pergerakan dari nilai harga minyak berada di kisaran 85 dolar AS per barel. Kondisi itu relatif berada di atas asumsi makro untuk harga minyak yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia yang berada di kisaran 82 dolar AS per barel.
Jika sentimen ataupun konflik Iran dan Israel berlangsung dalam periode yang panjang, maka periode harga minyak yang tinggi akan terjadi karena Iran merupakan salah satu produsen minyak global.
Hal tersebut menjadi perhatian negara-negara dan importir minyak seperti Indonesia di mana dalam kondisi tertentu penyesuaian kebijakan terutama kebijakan fiskal perlu dilakukan untuk merespons kenaikan harga minyak itu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) setidaknya hingga Juni 2024, meskipun konflik Iran-Israel berpotensi mengganggu pasokan dan meningkatkan harga minyak dunia.
"Sampai bulan Juni (harga BBM) tidak naik itu sudah statement pemerintah,” ujar Airlangga Hartarto dalam konferensi pers seusai acara halalbihalal di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta.
Baca juga: Sikap RI hadapi konflik Timur Tengah
Baca juga: Nilai tukar rupiah hari ini merosot akibat konflik Iran dan Israel
Pemerintah terus memonitor perkembangan konflik Iran-Israel dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan skenario kebijakan, salah satunya penyesuaian subsidi BBM yang membutuhkan perhitungan dan penyelarasan ulang anggaran.
Namun, pemerintah belum memberikan keputusan terkait hal tersebut. Ia menuturkan bahwa pemerintah tidak ingin bereaksi berlebihan terhadap peningkatan tensi geopolitik global saat ini.
"Keprihatinan utamanya adalah gangguan pasokan minyak, yang bisa menyebabkan lonjakan harga minyak karena Selat Hormuz merupakan jalur perdagangan vital untuk ekspor minyak. Hal ini dapat berdampak merambat pada ekonomi global, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada impor minyak," kata Yusuf kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Dalam sepekan terakhir pergerakan dari nilai harga minyak berada di kisaran 85 dolar AS per barel. Kondisi itu relatif berada di atas asumsi makro untuk harga minyak yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia yang berada di kisaran 82 dolar AS per barel.
Jika sentimen ataupun konflik Iran dan Israel berlangsung dalam periode yang panjang, maka periode harga minyak yang tinggi akan terjadi karena Iran merupakan salah satu produsen minyak global.
Hal tersebut menjadi perhatian negara-negara dan importir minyak seperti Indonesia di mana dalam kondisi tertentu penyesuaian kebijakan terutama kebijakan fiskal perlu dilakukan untuk merespons kenaikan harga minyak itu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) setidaknya hingga Juni 2024, meskipun konflik Iran-Israel berpotensi mengganggu pasokan dan meningkatkan harga minyak dunia.
"Sampai bulan Juni (harga BBM) tidak naik itu sudah statement pemerintah,” ujar Airlangga Hartarto dalam konferensi pers seusai acara halalbihalal di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta.
Baca juga: Sikap RI hadapi konflik Timur Tengah
Baca juga: Nilai tukar rupiah hari ini merosot akibat konflik Iran dan Israel
Pemerintah terus memonitor perkembangan konflik Iran-Israel dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan skenario kebijakan, salah satunya penyesuaian subsidi BBM yang membutuhkan perhitungan dan penyelarasan ulang anggaran.
Namun, pemerintah belum memberikan keputusan terkait hal tersebut. Ia menuturkan bahwa pemerintah tidak ingin bereaksi berlebihan terhadap peningkatan tensi geopolitik global saat ini.