Jakarta (ANTARA) - Momen berkumpul bersama keluarga besar memang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, utamanya saat perayaan hari raya, seperti Idul Fitri yang baru saja lewat atau hari-hari libur lainnya, tahun baru, misalnya.
Namun, hal tersebut juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mereka yang masih melajang karena mereka acap dihadapkan pada beberapa pertanyaan dari sanak saudara, salah satunya "kapan menikah?"
Beberapa tahun belakangan, menikah nyatanya sudah bukan menjadi prioritas anak muda. Berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) dari Kementerian Agama (Kemenag), tercatat 1.544.571 pasangan Muslim menikah pada tahun 2023. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan tahun 2022, sebanyak 1,71 juta pasangan.
Angka tersebut juga mencetak rekor terendah sejak 10 tahun terakhir. Berbagai alasan dikemukakan oleh para pemuda yang memilih untuk menunda, atau bahkan tidak melangsungkan pernikahan, mulai dari alasan ekonomi, hingga kekhawatiran tak bisa menjamin pendidikan yang layak bagi anak-anaknya kelak.
Kesaksian tiga perempuan
Berikut adalah kesaksian dari tiga perempuan yang tinggal di wilayah yang berbeda, dan akhirnya berani memutuskan untuk menikah saat diwawancarai secara daring.
Dua di antaranya memiliki profesi sebagai aparatur sipil negara (ASN), sedangkan satu orang lagi merupakan ibu rumah tangga yang juga memiliki usaha rumahan.
Erryka (28), seorang ASN) yang saat ini tinggal di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, mengaku saat menikah, ia dan suami telah merencanakan pernikahan dan bulan madu sesuai dengan perencanaan keuangan dan tabungan yang telah dikumpulkan sejak jauh-jauh hari sehingga ia merasa lebih siap dan tidak mengalami kesulitan saat menikah.
Keyakinannya untuk menikah sudah bulat pada umur 27 tahun karena merasa membutuhkan sosok laki-laki tempat ia mencurahkan segala keluh-kesahnya.
Saat ini, ia mengaku tengah menjalani pernikahan jarak jauh yang menjadi salah satu kesulitannya. Oleh karena itu, Erryka dan suaminya masih belum memikirkan kebutuhan rumah.
"Salah satu kesulitannya (menikah) mungkin mengatur waktu untuk bertemu. Akan tetapi, karena masih LDM (long distance marriage) itu, kami belum sampai memikirkan kebutuhan rumah, terkadang juga masih pusing mengatur keuangan setelah menikah," katanya.
Sementara itu, Cella (27), seorang ASN di Surabaya, Jawa Timur, mengaku bahwa ketika memutuskan menikah pada usia 25 tahun, dirinya merasa agak kesulitan ekonomi karena baru saja pindah kerja dan belum mendapatkan gaji 100 persen. Akan tetapi, sebelumnya ia mengaku sudah menabung bersama calon suami sehingga keuangan untuk kebutuhan menikah masih bisa dikondisikan.
Ia juga mengaku memiliki kendala finansial usai melangsungkan pernikahan.
"Untuk biaya setelah menikah, jelas minus ya, tetapi tentunya kami menabung lagi, dan pasti menabung dengan nominal yang lebih dibesarkan untuk menutupi kebutuhan bersama," ujar dia.
Sementara itu, Dutya (27), seorang ibu rumah tangga sekaligus pemilik usaha suvenir di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mengaku memiliki pengalaman yang sama dalam mempersiapkan pernikahan, yakni dari segi finansial yang cukup, minimal untuk kebutuhan sehari-hari berdua dengan suami.
Pandangan tentang anak
Pada tahun 2024 ini, Cella dan Dutya sama-sama telah dikaruniai seorang anak.
Cella mengaku, ketika melahirkan, ada ketakutan baru yang dihadapi karena secara pribadi, dirinya merasa belum siap dari segi ilmu dan mental untuk memiliki anak.
"Kalau soal finansial, apalagi, karena kesulitan finansial baru sangat terasa setelah menikah sehingga ketika punya anak perlu banyak effort (usaha) yang harus dilakukan, tapi masih bisa diupayakan karena pekerjaanku dan suami sebagai pegawai tetap. Insya Allah cukup untuk keluarga kecil kita," kata dia.
Sebagai ibu baru dan ibu yang bekerja, ketika sang anak lahir, ia lebih merasa takut tidak optimal saat menemani perkembangan anak, utamanya dari segi kesehatan dan pendidikan.
Adapun Dutya memiliki pandangan yang berbeda soal anak. Dia mengaku telah mempersiapkan diri menjadi ibu sejak masih lajang, dan membekali diri dengan pengetahuan agar mentalnya terlatih. Satu minggu sebelum menikah, ia bahkan juga mengikuti program prenatal atau persiapan kehamilan, termasuk mempelajari persalinan, nifas, juga perawatan bayi baru lahir, dan pemberian ASI ekslusif, sehingga setelah menikah, dia memang telah siap memiliki anak.
"Akan tetapi realitanya sekarang, sebaik-baiknya kesiapan kita, tetap banyak hal baru yang mengejutkan ketika memiliki bayi, terutama yang baru lahir, dan mungkin akan banyak kejutan lagi ketika dia memasuki usia toddler (1-3 tahun), balita, sekolah, remaja, dan seterusnya," ujarnya.
Dutya juga menyoroti pentingnya peran ayah, yang ketika sang bayi lahir, cukup mengejutkan suaminya. Meski sudah siap secara finansial, masih banyak yang perlu dipelajari oleh sang ayah ketika memiliki bayi.
Terkait pendidikan, Dutya berencana mendidik secara mandiri anaknya hingga usia 2 tahun karena selain merasa belum perlu menyekolahkan anaknya di usia tersebut, ia merasa ingin memiliki ikatan yang lebih kuat dengan anak di periode emas pertumbuhannya.
"Sepertinya tidak perlu sekolah usia dini, kecuali memang tujuannya untuk meningkatkan keterampilan sosial anak, tetapi pada intinya, saya sebagai ibu memanfaatkan sumber daya yang ada saja dulu," tuturnya.
Dari tiga kesaksian tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberanian untuk menikah tentu perlu diiringi dengan kesiapan secara fisik, jiwa, dan finansial karena tantangan sebenarnya yang dihadapi justru setelah pesta pernikahan dilewati, yakni saat pasangan suami istri mesti mempersiapkan dan menata kembali finansial masing-masing untuk kehidupan rumah tangga selanjutnya.
Namun, tak hanya dari segi finansial, dari segi psikologis, salah satunya peran ayah yang juga dibutuhkan dalam aktivitas domestik dan mengurus anak, menjadi penting untuk menjaga keharmonisan keluarga.
Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo sering kali mengutip lirik lagi Indonesia Raya yakni "Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya" ketika berbicara tentang pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana.
Untuk berani menikah, calon pengantin tidak bisa sekadar siap secara fisik, tetapi juga mental sehingga ia sering kali menekankan pentingnya mengikuti edukasi pranikah, seperti yang telah diadakan BKKBN melalui berbagai program, di antaranya kelas pranikah dan kelas orang tua hebat.
Dalam kelas-kelas tersebut, Hasto yang merupakan dokter spesialis kandungan ini selalu memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, dan bagaimana menjaga tubuh sejak remaja agar sehat dan siap ketika melangsungkan pernikahan.
Calon pengantin lebih baik mempersiapkan prakonsepsi (persiapan kehamilan sebelum proses pembuahan) ketimbang menghabiskan terlalu banyak dana untuk foto pre-wedding.
"Saya sering kritik, jangan banyak pre-wedding lah, habis banyak. Coba kita menyiapkan prakonsepsi, bagaimana menyiapkan istri dan suami, karena istri itu harus dipersiapkan 90 hari atau tiga bulan sebelum menikah, mengingat perempuan hanya menghasilkan satu telur saja, sementara suami perlu dipersiapkan 73-75 hari untuk produksi spermanya," kata Hasto.
Bagi calon pengantin laki-laki agar sejak 75 hari sebelum menikah mengurangi rokok, berhenti minum alkohol, dan tidak berendam air panas agar spermanya sehat.
Adapun bagi calon pengantin perempuan, sebaiknya harus mencukupi asupan vitamin dan meminum tablet tambah darah 3 bulan sebelum terjadi konsepsi.
Usia ideal menikah pada laki-laki yakni 25 tahun, dan perempuan di usia 21 tahun. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan telah dikaji secara ilmiah.
Apabila seorang perempuan menikah kurang dari usia tersebut, pinggulnya belum siap untuk menahan beban bayi ketika hamil sehingga anak yang dilahirkan berisiko stunting. Adapun bagi laki-laki, dibutuhkan usia yang matang untuk mempersiapkan sperma yang sehat.
Selain itu, BKKBN juga memiliki berbagai program untuk pendewasaan usia menikah, yang disosialisasikan sejak remaja melalui program Bina Keluarga Remaja (BKR) dan Duta Generasi berencana (Genre).
Program-program tersebut digalakkan BKKBN mengingat saat ini, remaja rentan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship). Oleh karena itu, penting pendidikan kepada anak dalam keluarga dengan asah, asih, dan asuh.
"Asah yakni diajari ilmu agama yang baik, asih yaitu dikasihi dengan sebaik-baiknya, dan asuh dengan diimunisasi, kemudian diberikan perlindungan yang baik," ujarnya.
Dengan pengasuhan yang baik dan peningkatan kualitas layanan pendidikan, Indonesia akan mampu memiliki generasi remaja yang siap menikah baik secara fisik maupun mental.
Namun, hal tersebut juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mereka yang masih melajang karena mereka acap dihadapkan pada beberapa pertanyaan dari sanak saudara, salah satunya "kapan menikah?"
Beberapa tahun belakangan, menikah nyatanya sudah bukan menjadi prioritas anak muda. Berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) dari Kementerian Agama (Kemenag), tercatat 1.544.571 pasangan Muslim menikah pada tahun 2023. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan tahun 2022, sebanyak 1,71 juta pasangan.
Angka tersebut juga mencetak rekor terendah sejak 10 tahun terakhir. Berbagai alasan dikemukakan oleh para pemuda yang memilih untuk menunda, atau bahkan tidak melangsungkan pernikahan, mulai dari alasan ekonomi, hingga kekhawatiran tak bisa menjamin pendidikan yang layak bagi anak-anaknya kelak.
Kesaksian tiga perempuan
Berikut adalah kesaksian dari tiga perempuan yang tinggal di wilayah yang berbeda, dan akhirnya berani memutuskan untuk menikah saat diwawancarai secara daring.
Dua di antaranya memiliki profesi sebagai aparatur sipil negara (ASN), sedangkan satu orang lagi merupakan ibu rumah tangga yang juga memiliki usaha rumahan.
Erryka (28), seorang ASN) yang saat ini tinggal di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, mengaku saat menikah, ia dan suami telah merencanakan pernikahan dan bulan madu sesuai dengan perencanaan keuangan dan tabungan yang telah dikumpulkan sejak jauh-jauh hari sehingga ia merasa lebih siap dan tidak mengalami kesulitan saat menikah.
Keyakinannya untuk menikah sudah bulat pada umur 27 tahun karena merasa membutuhkan sosok laki-laki tempat ia mencurahkan segala keluh-kesahnya.
Saat ini, ia mengaku tengah menjalani pernikahan jarak jauh yang menjadi salah satu kesulitannya. Oleh karena itu, Erryka dan suaminya masih belum memikirkan kebutuhan rumah.
"Salah satu kesulitannya (menikah) mungkin mengatur waktu untuk bertemu. Akan tetapi, karena masih LDM (long distance marriage) itu, kami belum sampai memikirkan kebutuhan rumah, terkadang juga masih pusing mengatur keuangan setelah menikah," katanya.
Sementara itu, Cella (27), seorang ASN di Surabaya, Jawa Timur, mengaku bahwa ketika memutuskan menikah pada usia 25 tahun, dirinya merasa agak kesulitan ekonomi karena baru saja pindah kerja dan belum mendapatkan gaji 100 persen. Akan tetapi, sebelumnya ia mengaku sudah menabung bersama calon suami sehingga keuangan untuk kebutuhan menikah masih bisa dikondisikan.
Ia juga mengaku memiliki kendala finansial usai melangsungkan pernikahan.
"Untuk biaya setelah menikah, jelas minus ya, tetapi tentunya kami menabung lagi, dan pasti menabung dengan nominal yang lebih dibesarkan untuk menutupi kebutuhan bersama," ujar dia.
Sementara itu, Dutya (27), seorang ibu rumah tangga sekaligus pemilik usaha suvenir di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, mengaku memiliki pengalaman yang sama dalam mempersiapkan pernikahan, yakni dari segi finansial yang cukup, minimal untuk kebutuhan sehari-hari berdua dengan suami.
Pandangan tentang anak
Pada tahun 2024 ini, Cella dan Dutya sama-sama telah dikaruniai seorang anak.
Cella mengaku, ketika melahirkan, ada ketakutan baru yang dihadapi karena secara pribadi, dirinya merasa belum siap dari segi ilmu dan mental untuk memiliki anak.
"Kalau soal finansial, apalagi, karena kesulitan finansial baru sangat terasa setelah menikah sehingga ketika punya anak perlu banyak effort (usaha) yang harus dilakukan, tapi masih bisa diupayakan karena pekerjaanku dan suami sebagai pegawai tetap. Insya Allah cukup untuk keluarga kecil kita," kata dia.
Sebagai ibu baru dan ibu yang bekerja, ketika sang anak lahir, ia lebih merasa takut tidak optimal saat menemani perkembangan anak, utamanya dari segi kesehatan dan pendidikan.
Adapun Dutya memiliki pandangan yang berbeda soal anak. Dia mengaku telah mempersiapkan diri menjadi ibu sejak masih lajang, dan membekali diri dengan pengetahuan agar mentalnya terlatih. Satu minggu sebelum menikah, ia bahkan juga mengikuti program prenatal atau persiapan kehamilan, termasuk mempelajari persalinan, nifas, juga perawatan bayi baru lahir, dan pemberian ASI ekslusif, sehingga setelah menikah, dia memang telah siap memiliki anak.
"Akan tetapi realitanya sekarang, sebaik-baiknya kesiapan kita, tetap banyak hal baru yang mengejutkan ketika memiliki bayi, terutama yang baru lahir, dan mungkin akan banyak kejutan lagi ketika dia memasuki usia toddler (1-3 tahun), balita, sekolah, remaja, dan seterusnya," ujarnya.
Dutya juga menyoroti pentingnya peran ayah, yang ketika sang bayi lahir, cukup mengejutkan suaminya. Meski sudah siap secara finansial, masih banyak yang perlu dipelajari oleh sang ayah ketika memiliki bayi.
Terkait pendidikan, Dutya berencana mendidik secara mandiri anaknya hingga usia 2 tahun karena selain merasa belum perlu menyekolahkan anaknya di usia tersebut, ia merasa ingin memiliki ikatan yang lebih kuat dengan anak di periode emas pertumbuhannya.
"Sepertinya tidak perlu sekolah usia dini, kecuali memang tujuannya untuk meningkatkan keterampilan sosial anak, tetapi pada intinya, saya sebagai ibu memanfaatkan sumber daya yang ada saja dulu," tuturnya.
Dari tiga kesaksian tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberanian untuk menikah tentu perlu diiringi dengan kesiapan secara fisik, jiwa, dan finansial karena tantangan sebenarnya yang dihadapi justru setelah pesta pernikahan dilewati, yakni saat pasangan suami istri mesti mempersiapkan dan menata kembali finansial masing-masing untuk kehidupan rumah tangga selanjutnya.
Namun, tak hanya dari segi finansial, dari segi psikologis, salah satunya peran ayah yang juga dibutuhkan dalam aktivitas domestik dan mengurus anak, menjadi penting untuk menjaga keharmonisan keluarga.
Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo sering kali mengutip lirik lagi Indonesia Raya yakni "Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya" ketika berbicara tentang pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana.
Untuk berani menikah, calon pengantin tidak bisa sekadar siap secara fisik, tetapi juga mental sehingga ia sering kali menekankan pentingnya mengikuti edukasi pranikah, seperti yang telah diadakan BKKBN melalui berbagai program, di antaranya kelas pranikah dan kelas orang tua hebat.
Dalam kelas-kelas tersebut, Hasto yang merupakan dokter spesialis kandungan ini selalu memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, dan bagaimana menjaga tubuh sejak remaja agar sehat dan siap ketika melangsungkan pernikahan.
Calon pengantin lebih baik mempersiapkan prakonsepsi (persiapan kehamilan sebelum proses pembuahan) ketimbang menghabiskan terlalu banyak dana untuk foto pre-wedding.
"Saya sering kritik, jangan banyak pre-wedding lah, habis banyak. Coba kita menyiapkan prakonsepsi, bagaimana menyiapkan istri dan suami, karena istri itu harus dipersiapkan 90 hari atau tiga bulan sebelum menikah, mengingat perempuan hanya menghasilkan satu telur saja, sementara suami perlu dipersiapkan 73-75 hari untuk produksi spermanya," kata Hasto.
Bagi calon pengantin laki-laki agar sejak 75 hari sebelum menikah mengurangi rokok, berhenti minum alkohol, dan tidak berendam air panas agar spermanya sehat.
Adapun bagi calon pengantin perempuan, sebaiknya harus mencukupi asupan vitamin dan meminum tablet tambah darah 3 bulan sebelum terjadi konsepsi.
Usia ideal menikah pada laki-laki yakni 25 tahun, dan perempuan di usia 21 tahun. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan telah dikaji secara ilmiah.
Apabila seorang perempuan menikah kurang dari usia tersebut, pinggulnya belum siap untuk menahan beban bayi ketika hamil sehingga anak yang dilahirkan berisiko stunting. Adapun bagi laki-laki, dibutuhkan usia yang matang untuk mempersiapkan sperma yang sehat.
Selain itu, BKKBN juga memiliki berbagai program untuk pendewasaan usia menikah, yang disosialisasikan sejak remaja melalui program Bina Keluarga Remaja (BKR) dan Duta Generasi berencana (Genre).
Program-program tersebut digalakkan BKKBN mengingat saat ini, remaja rentan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship). Oleh karena itu, penting pendidikan kepada anak dalam keluarga dengan asah, asih, dan asuh.
"Asah yakni diajari ilmu agama yang baik, asih yaitu dikasihi dengan sebaik-baiknya, dan asuh dengan diimunisasi, kemudian diberikan perlindungan yang baik," ujarnya.
Dengan pengasuhan yang baik dan peningkatan kualitas layanan pendidikan, Indonesia akan mampu memiliki generasi remaja yang siap menikah baik secara fisik maupun mental.