Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut usulan penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP) untuk komoditi jagung dari Rp4.200 per kilogram menjadi Rp5.000 per kilogram dengan kadar air 15 persen yang dilayangkan Pemerintah Kabupaten Bima dan Dompu kepada pemerintah pusat kemungkinan berat disetujui.
"Tuntutan itu berat kayak-nya, karena kita lihat jagung ini bahan baku sehingga perlu kita lihat komoditi lainnya," kata Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nelly Yuniarti di Mataram, Kamis.
Ia mengatakan, alasan kenapa permintaan menaikkan HPP jagung dari yang sekarang Rp4.200 per kilogram menjadi Rp5.000 per kilogram kemungkinan sulit terwujud untuk saat ini. Satu di antaranya, jagung merupakan bahan baku utama untuk pakan ternak.
"Untuk menaikkan HPP ini harus hati-hati karena dampaknya ke produk yang lain. HPP naik otomatis pakan naik, kalau pakan naik telur naik, daging juga ikut naik sehingga kita harus menjaga ini. Makanya perlu ada solusi atau alternatif lain untuk petani kita yang ada di Bima dan Dompu," ujarnya.
Nelly menyatakan, pihaknya sudah membuat simulasi terkait HPP jagung dengan harga Rp4.200 per kilogram dan kadar air 15 persen. Dari beberapa hasil simulasi yang dilakukan, ternyata dengan HPP Rp4.200 per kilogram dan kadar air 15 persen, petani sebetulnya masih dapat untung.
"Kami sudah mensimulasikan, misalkan dalam 1 hektar menghasilkan 7 ton jagung dengan biaya operasional atau biaya produksi sekitar Rp15 juta yang dikeluarkan petani. Jadi kita hitung-hitung, itu bisa masuk Rp25 juta bersih yang didapat petani," ujar Nelly menyikapi anjlok-nya harga jagung di Kabupaten Bima dan Dompu.
Ia mengakui sudah turun ke lapangan pada saat HUT Kabupaten Dompu beberapa waktu lalu. Disana pihaknya bertemu dengan petani dan pelaku usaha jagung. Terungkap anjlok-nya harga jagung di Bima dan Dompu, disebabkan para petani disana menjual hasil jagungnya kepada tengkulak dengan harga jauh di bawah HPP.
"Jadi kenapa ini bisa terjadi, karena pada saat petani memanen bertepatan dengan libur. Di mana ketika itu bertepatan libur Lebaran 10 hari, pabrik-pabrik penampung libur (tutup). Tanaman jagung ini berada di gunung-gunung otomatis barang turun dan langsung ke pabrik-pabrik. Tapi pabrik tutup, sehingga mau tidak mau petani kita menjual jagung ke tengkulak. Kenapa tengkulak mengambil harga jauh di bawah HPP karena mereka juga memperhitungkan lagi transportasi untuk mengangkut jagung," ucapnya.
"Lain lagi kasusnya dengan petani di Pulau Lombok. Tanaman jagung banyak di tanaman di daerah yang datar. Kalau di Dompu dan Bima rata-rata semua jagungnya di tanam di gunung. Ini yang membuat kasusnya agak sedikit berbeda, sehingga kenapa yang selalu meminta menaikkan HPP petani di Dompu dan Bima. Sedangkan Sumbawa dan Lombok karena biayanya tidak terlalu besar, maka HPP Rp4.200 itu masih masuk hitungan mereka," kata Nelly menambahkan.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk mengatasi persoalan ini perlu ada solusi atau alternatif lain untuk petani di Bima dan Dompu, terutama yang menanam jagung di gunung-gunung tersebut bisa tetap bertahan setelah tiga bulan panen. Salah satu solusinya para petani setempat bisa menanam komoditi lain selain jagung. Karena mereka yang menanam di atas gunung-gunung ini tergantung sekali dengan cuaca.
"Bayangkan kalau sekali panen dipakai hidup 1 tahun, tapi itu tidak mungkin. Sementara petani yang di daratan bisa menanam komoditi lain. Ini yang perlu dirembukkan bersama pemerintah khususnya Dinas Pertanian dan pihak terkait bagaimana petani kita yang menanam di atas gunung bisa menanam komoditi lain," ucap Nelly.
Namun demikian terlepas dari persoalan tersebut, pemerintah melalui Bulog saat ini sudah bergerak membeli jagung petani di Bima dan Dompu sesuai HPP Rp4.200 per kilogram, bahkan harganya pun dibeli melebihi HPP.
"Jadi pemerintah sudah turun ya, melalui Bulog dan pelaku industri untuk membeli jagung petani sesuai HPP dan kadar air 15 persen. Bahkan kadar air 17 persen pun di ambil oleh Bulog. Jadi pada intinya jangan kita saling menyalahkan. Karena pemerintah sudah berusaha dengan membeli jagung petani," katanya.
Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Bima dan Dompu, mengusulkan penyesuaian HPP untuk komoditi jagung sebesar Rp5.000 per kilogram kepada pemerintah pusat melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas).
"Kami mengusulkan kepada Bapanas yang diwakili Direktur Stabilisasi dan Pasokan Harga Pangan, agar segera melakukan penyesuaian harga jagung menjadi Rp 5.000 per kilogram," kata Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bima, Suwandi.
Ia mengatakan usulan penyesuaian harga jagung ini sesuai surat Bupati Bima, Indah Dhamayanti Putri per 16 April 2024 tentang Permohonan Penanganan Harga dan Serapan Jagung di Kabupaten Bima.
"Selain itu, meminta agar Bulog Bima menyerap jagung petani di Kabupaten Bima. Bahkan Pemkab Bima menurunkan tim untuk mengawasi penyerapan dan kadar air jagung petani menyusul anjlok-nya harga jagung," katanya
"Tuntutan itu berat kayak-nya, karena kita lihat jagung ini bahan baku sehingga perlu kita lihat komoditi lainnya," kata Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nelly Yuniarti di Mataram, Kamis.
Ia mengatakan, alasan kenapa permintaan menaikkan HPP jagung dari yang sekarang Rp4.200 per kilogram menjadi Rp5.000 per kilogram kemungkinan sulit terwujud untuk saat ini. Satu di antaranya, jagung merupakan bahan baku utama untuk pakan ternak.
"Untuk menaikkan HPP ini harus hati-hati karena dampaknya ke produk yang lain. HPP naik otomatis pakan naik, kalau pakan naik telur naik, daging juga ikut naik sehingga kita harus menjaga ini. Makanya perlu ada solusi atau alternatif lain untuk petani kita yang ada di Bima dan Dompu," ujarnya.
Nelly menyatakan, pihaknya sudah membuat simulasi terkait HPP jagung dengan harga Rp4.200 per kilogram dan kadar air 15 persen. Dari beberapa hasil simulasi yang dilakukan, ternyata dengan HPP Rp4.200 per kilogram dan kadar air 15 persen, petani sebetulnya masih dapat untung.
"Kami sudah mensimulasikan, misalkan dalam 1 hektar menghasilkan 7 ton jagung dengan biaya operasional atau biaya produksi sekitar Rp15 juta yang dikeluarkan petani. Jadi kita hitung-hitung, itu bisa masuk Rp25 juta bersih yang didapat petani," ujar Nelly menyikapi anjlok-nya harga jagung di Kabupaten Bima dan Dompu.
Ia mengakui sudah turun ke lapangan pada saat HUT Kabupaten Dompu beberapa waktu lalu. Disana pihaknya bertemu dengan petani dan pelaku usaha jagung. Terungkap anjlok-nya harga jagung di Bima dan Dompu, disebabkan para petani disana menjual hasil jagungnya kepada tengkulak dengan harga jauh di bawah HPP.
"Jadi kenapa ini bisa terjadi, karena pada saat petani memanen bertepatan dengan libur. Di mana ketika itu bertepatan libur Lebaran 10 hari, pabrik-pabrik penampung libur (tutup). Tanaman jagung ini berada di gunung-gunung otomatis barang turun dan langsung ke pabrik-pabrik. Tapi pabrik tutup, sehingga mau tidak mau petani kita menjual jagung ke tengkulak. Kenapa tengkulak mengambil harga jauh di bawah HPP karena mereka juga memperhitungkan lagi transportasi untuk mengangkut jagung," ucapnya.
"Lain lagi kasusnya dengan petani di Pulau Lombok. Tanaman jagung banyak di tanaman di daerah yang datar. Kalau di Dompu dan Bima rata-rata semua jagungnya di tanam di gunung. Ini yang membuat kasusnya agak sedikit berbeda, sehingga kenapa yang selalu meminta menaikkan HPP petani di Dompu dan Bima. Sedangkan Sumbawa dan Lombok karena biayanya tidak terlalu besar, maka HPP Rp4.200 itu masih masuk hitungan mereka," kata Nelly menambahkan.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk mengatasi persoalan ini perlu ada solusi atau alternatif lain untuk petani di Bima dan Dompu, terutama yang menanam jagung di gunung-gunung tersebut bisa tetap bertahan setelah tiga bulan panen. Salah satu solusinya para petani setempat bisa menanam komoditi lain selain jagung. Karena mereka yang menanam di atas gunung-gunung ini tergantung sekali dengan cuaca.
"Bayangkan kalau sekali panen dipakai hidup 1 tahun, tapi itu tidak mungkin. Sementara petani yang di daratan bisa menanam komoditi lain. Ini yang perlu dirembukkan bersama pemerintah khususnya Dinas Pertanian dan pihak terkait bagaimana petani kita yang menanam di atas gunung bisa menanam komoditi lain," ucap Nelly.
Namun demikian terlepas dari persoalan tersebut, pemerintah melalui Bulog saat ini sudah bergerak membeli jagung petani di Bima dan Dompu sesuai HPP Rp4.200 per kilogram, bahkan harganya pun dibeli melebihi HPP.
"Jadi pemerintah sudah turun ya, melalui Bulog dan pelaku industri untuk membeli jagung petani sesuai HPP dan kadar air 15 persen. Bahkan kadar air 17 persen pun di ambil oleh Bulog. Jadi pada intinya jangan kita saling menyalahkan. Karena pemerintah sudah berusaha dengan membeli jagung petani," katanya.
Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Bima dan Dompu, mengusulkan penyesuaian HPP untuk komoditi jagung sebesar Rp5.000 per kilogram kepada pemerintah pusat melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas).
"Kami mengusulkan kepada Bapanas yang diwakili Direktur Stabilisasi dan Pasokan Harga Pangan, agar segera melakukan penyesuaian harga jagung menjadi Rp 5.000 per kilogram," kata Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bima, Suwandi.
Ia mengatakan usulan penyesuaian harga jagung ini sesuai surat Bupati Bima, Indah Dhamayanti Putri per 16 April 2024 tentang Permohonan Penanganan Harga dan Serapan Jagung di Kabupaten Bima.
"Selain itu, meminta agar Bulog Bima menyerap jagung petani di Kabupaten Bima. Bahkan Pemkab Bima menurunkan tim untuk mengawasi penyerapan dan kadar air jagung petani menyusul anjlok-nya harga jagung," katanya