Jakarta (ANTARA) - Jalan panjang Pemerintah melindungi hak asasi manusia atau HAM di tengah lingkaran bisnis sudah menemukan titik terang. Ibaratnya, ada setitik lubang cahaya di tengah gelapnya gua. Titik cahaya itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM).

Perpres tersebut menjadi pemandu langkah Pemerintah menuju ujung jalan perlindungan HAM di lingkungan bisnis. Perpres ini pun dianggap menjadi landasan hukum pertama bagi seluruh masyarakat ataupun kaum pekerja dalam melindungi dan memperjuangkan hak asasinya di hadapan  korporasi.

Dengan perpres tersebut, Pemerintah juga mengemban harapan masyarakat adat yang sering menjadi korban akibat lahannya ditelikung korporasi hingga karyawan yang haknya direnggut oleh perusahaan.

Untuk menindaklanjuti perpres ini, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mulai membentuk gugus tugas khusus untuk memantau aktivitas bisnis secara nasional. Gugus tugas yang jadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat ini terdiri atas dua lapis yakni tingkat nasional dan daerah.

Gugus tugas tingkat nasional diketuai oleh Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly dan beranggotakan pengurus dari kementerian-kementerian terkait. Mereka memiliki agenda dalam melakukan penegakan di lingkungan bisnis. Agenda tersebut nantinya sesuai dengan ranah lembaga ataupun kementerian yang diajak bekerja sama dengan Kemenkum dan HAM.

Adapun untuk gugus tugas tingkat daerah diketuai oleh masing-masing gubernur di setiap provinsi yang beranggotakan kepala dinas terkait. Pengerahan alat negara dari hulu ke hilir ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai langkah tepat untuk melindungi hak masyarakat.

Namun, upaya-upaya tersebut belum dirasakan betul oleh para pemilik perusahaan karena berdasarkan catatan Kementerian Hukum dan HAM, masih banyak perusahaan yang belum memenuhi syarat-syarat perlindungan HAM.

Kemungkinan ada perusahaan yang belum melihat pergerakan Pemerintah sehingga hal ini menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Pasalnya, belum ada dasar hukum yang dipakai Pemerintah untuk menindak perusahaan yang tidak memperhatikan pemenuhan HAM.


Bersifat sukarela

Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM  Harniati menyebut Stranas Bisnis dan HAM ini "ruhnya" masih bersifat sukarela, belum mandatori (wajib). Hal ini membuat seluruh pemenuhan fasilitas perlindungan HAM di lingkungan perusahaan hanya bersifat sukarela, belum berbentuk wajib yang dapat diatur Pemerintah.

Hal tersebut terlihat dari banyak perusahaan yang tidak lolos dalam pendaftaran aplikasi Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma). Dalam aplikasi ini, perusahaan dihadapkan dengan 12 indikator pertanyaan terkait fasilitas pemenuhan HAM yang harus dipenuhi, misalnya, tentang keberadaan serikat pekerja dan tempat layanan pengaduan karyawan.

Ke-12 indikator itu pun akan dijabarkan ke dalam 144 pertanyaan lanjutan yang lebih rinci soal konsep HAM yang harus dipenuhi perusahaan.

Sejak 2023 sampai sekarang, baru 31 perusahaan yang layak memenuhi fasilitas perlindungan HAM berdasarkan aplikasi tersebut. Sisanya, ada yang tidak memenuhi bahkan hingga tidak mengetahui konsep pemenuhan HAM di lingkungan bisnis.

Memang terlalu prematur jika harus menuntut semua perusahaan taat kepada pemenuhan HAM lingkungan bisnis mengingat perpres  tersebut baru berusia setahun.

Namun, alangkah baiknya jika Pemerintah melakukan percepatan dalam bentuk sosialisasi kepada perusahaan soal perlindungan bisnis dan HAM. Dengan demikian, Pemerintah pun bisa langsung menerbitkan aturan turunan untuk menindak perusahaan yang melanggar.

Di satu sisi, Kemenkum dan HAM melihat kekhawatiran pelaku sektor bisnis jika perpres  tersebut bersifat mandatori. Mereka yakin sejumlah perusahaan akan mengernyitkan dahi dan berpikir ulang membuka usaha karena makin banyak izin atau persyaratan dari Pemerintah yang harus dipenuhi.

Karena itu, Kemenkum dan HAM hingga saat ini masih meramu metode yang tepat agar perpres  tersebut perlahan bisa diterima oleh seluruh sektor bisnis tanpa harus terkesan dipersulit. Dengan demikian, pihak korporat dan pekerja serta masyarakat dapat bersinergi dengan baik membangun perekonomian Indonesia.


Apresiasi serikat pekerja

Merespons perpres tersebut, serikat pekerja memberi apresiasi. Keresahan akan HAM yang kerap diabaikan oleh perusahaan akhirnya mendapatkan perhatian khusus Pemerintah.

Walau dampaknya belum bisa dirasakan secara langsung, serikat pekerja yakin perpres tersebut bakal jadi ujung tombak mereka dalam mencari keadilan.

Harapan itulah yang dikatakan Ketua Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru Royanto Purba. Selama ini ada perbedaan pandangan antara Pemerintah, perusahaan ,dan serikat pekerja dalam memandang sektor bisnis.

Sedari dulu, Pemerintah selalu memandang sektor bisnis dari sudut pandang pembangunan, peningkatan perekonomian, dan hal-hal lain yang lebih luas.

Perusahaan sendiri hanya melihat bisnis sebagai sesuatu yang harus menghasilkan profit yang besar. Bahkan terkadang tidak memedulikan regulasi Pemerintah ataupun nasib para pekerja, sedangkan serikat pekerja hanya memikirkan satu hal yakni perlindungan HAM.

Sudut pandang perlindungan HAM ini semakin mengental di mata para serikat pekerja mengingat banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi di lapangan, terutama di sektor bisnis yang mengeksplorasi sumber daya alam.

Tiga sudut pandang ini pun pada akhirnya kerap berbenturan sehingga tidak pernah "paripurna" dalam satu kesepakatan yang sama untuk menguntungkan semua pihak.

Adanya perpres tersebut dianggap menjadi sebuah wadah agar tiga pilar tersebut bisa duduk di satu tempat yang sama dan mencari solusi sehingga semua kebutuhan Pemerintah, perusahaan, maupun para pekerja bisa terpenuhi dengan baik.

Para serikat pekerja pun yakin akan loyalitas yang saling menguntungkan. Jika perusahaan loyal terhadap pemenuhan dan pelindungan HAM, maka pekerja juga akan menunjukkan loyalitasnya kepada perusahaan.

Namun demikian, ada satu catatan penting yang disematkan pihak serikat pekerja, yakni soal keterlibatan pihaknya dalam Satgas Bisnis dan HAM yang dibentuk Pemerintah.

Royanto menilai serikat pekerja harus dilibatkan karena lebih mengetahui kondisi dan dinamika di lapangan antara perusahaan dan karyawan.

Celah pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan pun diyakini akan lebih mudah ditemukan jika serikat pekerja diajak untuk melakukan pengawasan di tingkat satgas nasional maupun daerah.


Sosialisasi maksimal

Sosialisasi menjadi salah satu kunci yang harus dilakukan Pemerintah untuk menegakkan perlindungan HAM di tengah lingkungan bisnis. Beberapa pihak menilai bahwa 269 perusahaan yang tidak lolos dalam aplikasi Prisma bukan menandakan mereka tidak peduli akan HAM.

Bisa jadi mereka justru tidak mengetahui dengan detail seperti apa perlindungan HAM yang layak untuk masyarakat lingkungan perusahaan dan karyawan.

Peneliti Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) dari Yayasan Bina Swadaya Eri Trinurini Adhi pun mencontohkan dengan apa yang terjadi di Jepang sebagai salah satu negara yang berhasil menerapkan perlindungan HAM di sektor bisnis.

Mayoritas perusahaan di Jepang memahami perlindungan HAM dalam perusahaan lantaran pemerintahnya melalukan sosialisasi dengan maksimal. Padahal, status peraturan di Negeri Matahari Terbit itu masih sama dengan Indonesia yakni bersifat sukarela.

Baca juga: Ketidaksepahaman terkait pelaksanaan ibadah perlu dialog
Baca juga: Perlu tingkatkan sosialisasi perlindungan HAM sektor bisnis

Namun kesadaran akan perlindungan HAM yang tinggi membuat beberapa perusahaan di Jepang menghormati HAM masyarakat, lingkungan perusahaan, dan karyawannya.

Hal itu pula yang membuat roda perekonomian di sektor bisnis negara Jepang bisa maju. Hal berbeda pun dia temui di Indonesia. Selama proses penelitian, Eri menemukan banyak perusahaan yang justru minta penjelasan kepadanya tentang perpres yang melindungi HAM masyarakat di ranah bisnis itu.

Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) diharapkan dapat meningkatkan sosialisasi perpres tersebut di lingkungan perusahaan. Dengan sosialisasi maksimal, diyakini bakal makin banyak perusahaan yang peduli dengan perlindungan HAM karyawannya dan masyarakat sekitar.


 

Pewarta : Walda Marison
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024