Jakarta (ANTARA) - Pada 2007 -- 2008, pemberitaan media massa di Amerika Serikat riuh terkait dengan penyiksaan dua warga negara Indonesia yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di New York.
ART tersebut adalah Samirah dan Enung, yang pada 2008 masing-masing berusia 51 tahun dan 47 tahun. Kedua WNI itu mengalami kekerasan, yang oleh media sempat diberi tajuk "Perbudakan Modern di New York City".
Mereka dipekerjakan secara ilegal di rumah pasangan jutawan keturunan asal Indonesia, Varsha Sabhnani (istri) dan Mahender Sabhnani (suami). Varsha dan Mahender merupakan warga negara AS.
Singkat cerita, horor yang dialami Samirah dan Enung berakhir dengan putusan Hakim Arthur Pratt pada Mei 2008. Varsha sebagai pelaku utama penyiksaan divonis 11 tahun penjara.
Sang suami, Mahendar, diganjar dengan hukuman 3 tahun 4 bulan penjara karena didakwa membiarkan istrinya melakukan kejahatan tersebut. Selain itu, mereka didenda kurang-lebih 936 ribu dolar AS (sekitar Rp14,93 miliar), yang harus dibayarkan kepada Samirah dan Enung.
Samirah dari semasa perbudakan itu akhirnya mendapatkan ganti rugi sejumlah 621 ribu dolar AS (sekitar Rp9,9 miliar), sementara Enung mendapat 316 ribu dolar (sekitar 5,04 miliar).
Kedua pekerja migran Indonesia itu lalu juga diberi green card oleh otoritas setempat sehingga bisa tinggal dan bekerja secara legal di AS.
Perjalanan nasib Samirah dan Enung melekat kuat dengan perjalanan tugas Trie Edi Mulyani, yang ketika itu menjabat Konsul Jenderal RI di New York.
Kenangan menggawangi nasib Samirah dan Enung itu dituangkan Trie dalam buku "40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi", yang diluncurkan pekan lalu di Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta.
Cerita Trie, yang juga mantan Duta Besar RI untuk Kolombia, menjadi salah satu dari 42 tulisan yang dirangkum dari 29 diplomat Indonesia menyangkut pengalaman dan pandangan mereka saat menjalankan tugas di berbagai negara.
Masih segar di ingatan Trie bahwa KJRI pada 13 Mei 2007 mendapat telepon dari Kantor Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Kantor itu mengabarkan ada ART asal Indonesia yang kabur setelah disiksa majikannya.
"Saya dan staf bagian konsuler KJRI di New York segera berangkat ke rumah sakit tempat kedua ART dirawat," kata Trie.
Tim KJRI kemudian bergerilya mengumpulkan klarifikasi dan bekerja sama dengan kepolisian dan otoritas terkait, tulisnya. Upaya itu membawa mereka menemui Adrian Mohamed, manajer Dunkin' Donuts di Long Island, New York.
Di gerai donat itulah Samirah kali pertama ditemukan dalam keadaan banyak luka yang diduga akibat tindak kekerasan. Dan, Mohamed merupakan orang yang pertama kali yang mengontak nomor telepon darurat 911 untuk melaporkan kondisi Samirah.
Dari Mohamed, Tri dan timnya mendapatkan cerita secara kronologi tentang Samirah.
Samirah kemudian diketahui bahwa selama bekerja di rumah majikannya itu pernah dipukul dengan tongkat, disayat dengan pisau, dan suatu ketika dipaksa makan 25 cabai yang sangat pedas.
Pihak berwenang juga mengungkapkan bahwa Samirah dan Enung pernah dipukul, disiram dengan air panas. Tangan juga pernah diseterika.
Dapur diplomasi
Penanganan kasus yang menimpa WNI seperti yang terjadi di New York itu digambarkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebagai bagian dari banyak ragam tugas diplomat.
"... mulai dari membantu WNI yang kesusahan, bersidang di PBB, hingga mempromosikan produk dan budaya Indonesia," kata Retno, seperti yang dikutip dalam buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu.
Retno, yang juga pernah bertugas sebagai duta besar di Norwegia dan Belanda, menyebut kisah-kisah di "40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi" mengungkapkan sudut pandang di balik layar dapur diplomasi Indonesia.
"... gambaran yang lebih objektif tentang seperti apa sejatinya pekerjaan seorang diplomat," ujarnya.
Menurut para editor, "40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi" mengumpulkan keragaman dalam rangka membangun pemahaman yang tepat mengenai makna dan arah politik luar negeri Indonesia ke depan.
Berbeda dari tiga buku serupa sebelumnya, yang lebih menekankan tulisan-tulisan bersifat analisis, buku kali ini lebih memberi bobot pada aspek human interest dari pengalaman masing-masing penulis.
"Ternyata hubungan kemanusiaan sangat melengkapi pelaksanaan tugas di luar negeri," tulis mereka.
Apa yang dipelajari para diplomat selama mengikuti pendidikan Sekolah Dinas Luar Negeri di Kemenlu RI, misalnya, ternyata bukan melulu pengetahuan tentang dunia diplomasi, melainkan juga kegiatan olahraga, piknik bersama, serta olah seni-budaya seperti tari dan paduan suara.
Keragaman sudut pandang tercermin dari pengalaman-pengalaman yang diceritakan para diplomat Indonesia saat mereka ditugaskan, antara lain di kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika, Amerika, Eropa. Banyak di antara mereka ditempatkan sebagai duta besar atau konsulat jenderal.
Maka, mengalirlah cerita Rudhito Widagdo soal pendidikan anak-anak TKI di Sabah, kesempatan langka Nahari Agustini bertemu pemimpin revolusioner Libya Muammar Gaddafi --dua kali pula, dan A. Agus Sriyono yang mengenal Paus Fransiskus dari dekat.
Selain itu, ada cerita Bagas Hapsoro yang ketika sebagai duta besar RI di Stockholm mempersiapkan substansi kunjungan Raja Swedia dan Ratu Silvia ke Indonesia pada 2017. Bertempat di Wisma Indonesia, Bagas bersama sang Raja membahas berbagai topik, mulai dari perubahan iklim hingga lagu "Kodok Ngorek".
Esti Andayani, yang terakhir kali dalam penugasannya sebagai diplomat RI menjabat sebagai duta besar untuk Italia, menekankan prinsip yang harus dicermati "bahwa setiap negara memiliki budaya, tradisi, dan aturan sendiri.
Ia memberi contoh saat bertugas di Norwegia. Ini terkait dengan kebiasaan warga berbagai negara, termasuk Indonesia tentunya, soal makan tanpa memakai peralatan -- seperti sendok dan garpu.
Kebiasaan makan pakai tangan, yang menurut sebagian orang adalah suatu kenikmatan luar biasa, ternyata bisa menjadi masalah hukum di Norwegia.
Di negara Nordik itu, kata Esti, makan pakai tangan, termasuk saat menyuapi anak balita, merupakan kebiasaan yang sulit diterima masyarakat.
Kebiasaan itu dianggap tidak higienis, khususnya bagi anak-anak balita, serta menyalahi etika bersantap dalam tradisi setempat.
"Banyak kasus anak para pendatang yang diambil alih pengasuhannya oleh pemerintah Norwegia akibat penerapan tradisi pengasuhan yang bertentangan dengan tradisi dan aturan setempat," tulis Esti.
Mission impossible
Tidak jarang diplomat dihadapkan pada krisis di negara tempat penugasan, yang mengharuskan mereka cekatan dalam mengantisipasi keadaan terburuk.
A.M Fachir adalah salah satunya. Ia menjalani satu hari yang menegangkan ketika bertugas sebagai duta besar untuk Mesir, negara yang dilanda gejolak revolusi pada 25 Januari 2011.
Pada masa itu, berbagai negara di Timur Tengah sedang dilanda gelombang aksi protes yang dikenal sebagai "Arab Spring".
Di tengah situasi yang memanas di Kairo, sang dubes dan tim KBRI dalam waktu singkat harus mempersiapkan kloter pertama evakuasi warga negara Indonesia -- berdasarkan arahan Presiden RI saat itu Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang menjadi tantangan adalah bahwa tim KBRI harus berpacu dengan waktu. Mereka hanya punya waktu 18 jam untuk mengumpulkan serta memilah 400 WNI yang masuk dalam skala prioritas kloter pertama.
Baca juga: World Water Forum adalah kemenangan diplomatik Indonesia
Baca juga: Lukisan mural "Together" peringati 75 tahun persahabatan Indonesia-Australia
Misi 18 jam itu juga termasuk harus mengurus izin pendaratan satu pesawat Garuda, yang sudah dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Kairo.
Pada saatnya, pesawat Garuda Boeing 747-400 berhasil terbang membawa pulang kloter pertama WNI yang dievakuasi ke Tanah Air.
Dalam 10 hari dan melalui enam kloter, ada 2.432 WNI yang berhasil diungsikan.
"Lega karena... mission impossible berhasil dilaksanakan," tulisnya.
Tak kalah heboh adalah cerita di belahan lain dunia, tepatnya dari KBRI di Warsawa, Polandia, yang ingin menangkap pencuri budaya Indonesia.
Kasus dugaan pencurian itu terungkap ketika Darmansjah Djumala bertugas sebagai duta besar Indonesia di negara itu. Sempat ada beberapa anggota pimpinan Kemlu RI yang terseret untuk turun tangan menangani kasus tersebut.
Yang ikut direpotkan adalah Menteri Luar Negeri --saat itu dijabat Marty Natalegawa, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik A.M. Fachir, serta Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Yuri Thamrin.
Pemerintah mana yang diincar oleh perwakilan RI di Polandia itu terkait pencurian budaya, bisa coba ditebak. Hint-nya: salah satu negara tetangga Indonesia.
Pengungkapan kasus itu sendiri berawal dari satu sosok yang sehari-hari mendukung tugas Darmansjah di KBRI Warsawa. Sosok itu tak lain adalah sekretarisnya sendiri. Namanya, Monika.
ART tersebut adalah Samirah dan Enung, yang pada 2008 masing-masing berusia 51 tahun dan 47 tahun. Kedua WNI itu mengalami kekerasan, yang oleh media sempat diberi tajuk "Perbudakan Modern di New York City".
Mereka dipekerjakan secara ilegal di rumah pasangan jutawan keturunan asal Indonesia, Varsha Sabhnani (istri) dan Mahender Sabhnani (suami). Varsha dan Mahender merupakan warga negara AS.
Singkat cerita, horor yang dialami Samirah dan Enung berakhir dengan putusan Hakim Arthur Pratt pada Mei 2008. Varsha sebagai pelaku utama penyiksaan divonis 11 tahun penjara.
Sang suami, Mahendar, diganjar dengan hukuman 3 tahun 4 bulan penjara karena didakwa membiarkan istrinya melakukan kejahatan tersebut. Selain itu, mereka didenda kurang-lebih 936 ribu dolar AS (sekitar Rp14,93 miliar), yang harus dibayarkan kepada Samirah dan Enung.
Samirah dari semasa perbudakan itu akhirnya mendapatkan ganti rugi sejumlah 621 ribu dolar AS (sekitar Rp9,9 miliar), sementara Enung mendapat 316 ribu dolar (sekitar 5,04 miliar).
Kedua pekerja migran Indonesia itu lalu juga diberi green card oleh otoritas setempat sehingga bisa tinggal dan bekerja secara legal di AS.
Perjalanan nasib Samirah dan Enung melekat kuat dengan perjalanan tugas Trie Edi Mulyani, yang ketika itu menjabat Konsul Jenderal RI di New York.
Kenangan menggawangi nasib Samirah dan Enung itu dituangkan Trie dalam buku "40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi", yang diluncurkan pekan lalu di Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta.
Cerita Trie, yang juga mantan Duta Besar RI untuk Kolombia, menjadi salah satu dari 42 tulisan yang dirangkum dari 29 diplomat Indonesia menyangkut pengalaman dan pandangan mereka saat menjalankan tugas di berbagai negara.
Masih segar di ingatan Trie bahwa KJRI pada 13 Mei 2007 mendapat telepon dari Kantor Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Kantor itu mengabarkan ada ART asal Indonesia yang kabur setelah disiksa majikannya.
"Saya dan staf bagian konsuler KJRI di New York segera berangkat ke rumah sakit tempat kedua ART dirawat," kata Trie.
Tim KJRI kemudian bergerilya mengumpulkan klarifikasi dan bekerja sama dengan kepolisian dan otoritas terkait, tulisnya. Upaya itu membawa mereka menemui Adrian Mohamed, manajer Dunkin' Donuts di Long Island, New York.
Di gerai donat itulah Samirah kali pertama ditemukan dalam keadaan banyak luka yang diduga akibat tindak kekerasan. Dan, Mohamed merupakan orang yang pertama kali yang mengontak nomor telepon darurat 911 untuk melaporkan kondisi Samirah.
Dari Mohamed, Tri dan timnya mendapatkan cerita secara kronologi tentang Samirah.
Samirah kemudian diketahui bahwa selama bekerja di rumah majikannya itu pernah dipukul dengan tongkat, disayat dengan pisau, dan suatu ketika dipaksa makan 25 cabai yang sangat pedas.
Pihak berwenang juga mengungkapkan bahwa Samirah dan Enung pernah dipukul, disiram dengan air panas. Tangan juga pernah diseterika.
Dapur diplomasi
Penanganan kasus yang menimpa WNI seperti yang terjadi di New York itu digambarkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebagai bagian dari banyak ragam tugas diplomat.
"... mulai dari membantu WNI yang kesusahan, bersidang di PBB, hingga mempromosikan produk dan budaya Indonesia," kata Retno, seperti yang dikutip dalam buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu.
Retno, yang juga pernah bertugas sebagai duta besar di Norwegia dan Belanda, menyebut kisah-kisah di "40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi" mengungkapkan sudut pandang di balik layar dapur diplomasi Indonesia.
"... gambaran yang lebih objektif tentang seperti apa sejatinya pekerjaan seorang diplomat," ujarnya.
Menurut para editor, "40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi" mengumpulkan keragaman dalam rangka membangun pemahaman yang tepat mengenai makna dan arah politik luar negeri Indonesia ke depan.
Berbeda dari tiga buku serupa sebelumnya, yang lebih menekankan tulisan-tulisan bersifat analisis, buku kali ini lebih memberi bobot pada aspek human interest dari pengalaman masing-masing penulis.
"Ternyata hubungan kemanusiaan sangat melengkapi pelaksanaan tugas di luar negeri," tulis mereka.
Apa yang dipelajari para diplomat selama mengikuti pendidikan Sekolah Dinas Luar Negeri di Kemenlu RI, misalnya, ternyata bukan melulu pengetahuan tentang dunia diplomasi, melainkan juga kegiatan olahraga, piknik bersama, serta olah seni-budaya seperti tari dan paduan suara.
Keragaman sudut pandang tercermin dari pengalaman-pengalaman yang diceritakan para diplomat Indonesia saat mereka ditugaskan, antara lain di kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika, Amerika, Eropa. Banyak di antara mereka ditempatkan sebagai duta besar atau konsulat jenderal.
Maka, mengalirlah cerita Rudhito Widagdo soal pendidikan anak-anak TKI di Sabah, kesempatan langka Nahari Agustini bertemu pemimpin revolusioner Libya Muammar Gaddafi --dua kali pula, dan A. Agus Sriyono yang mengenal Paus Fransiskus dari dekat.
Selain itu, ada cerita Bagas Hapsoro yang ketika sebagai duta besar RI di Stockholm mempersiapkan substansi kunjungan Raja Swedia dan Ratu Silvia ke Indonesia pada 2017. Bertempat di Wisma Indonesia, Bagas bersama sang Raja membahas berbagai topik, mulai dari perubahan iklim hingga lagu "Kodok Ngorek".
Esti Andayani, yang terakhir kali dalam penugasannya sebagai diplomat RI menjabat sebagai duta besar untuk Italia, menekankan prinsip yang harus dicermati "bahwa setiap negara memiliki budaya, tradisi, dan aturan sendiri.
Ia memberi contoh saat bertugas di Norwegia. Ini terkait dengan kebiasaan warga berbagai negara, termasuk Indonesia tentunya, soal makan tanpa memakai peralatan -- seperti sendok dan garpu.
Kebiasaan makan pakai tangan, yang menurut sebagian orang adalah suatu kenikmatan luar biasa, ternyata bisa menjadi masalah hukum di Norwegia.
Di negara Nordik itu, kata Esti, makan pakai tangan, termasuk saat menyuapi anak balita, merupakan kebiasaan yang sulit diterima masyarakat.
Kebiasaan itu dianggap tidak higienis, khususnya bagi anak-anak balita, serta menyalahi etika bersantap dalam tradisi setempat.
"Banyak kasus anak para pendatang yang diambil alih pengasuhannya oleh pemerintah Norwegia akibat penerapan tradisi pengasuhan yang bertentangan dengan tradisi dan aturan setempat," tulis Esti.
Mission impossible
Tidak jarang diplomat dihadapkan pada krisis di negara tempat penugasan, yang mengharuskan mereka cekatan dalam mengantisipasi keadaan terburuk.
A.M Fachir adalah salah satunya. Ia menjalani satu hari yang menegangkan ketika bertugas sebagai duta besar untuk Mesir, negara yang dilanda gejolak revolusi pada 25 Januari 2011.
Pada masa itu, berbagai negara di Timur Tengah sedang dilanda gelombang aksi protes yang dikenal sebagai "Arab Spring".
Di tengah situasi yang memanas di Kairo, sang dubes dan tim KBRI dalam waktu singkat harus mempersiapkan kloter pertama evakuasi warga negara Indonesia -- berdasarkan arahan Presiden RI saat itu Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang menjadi tantangan adalah bahwa tim KBRI harus berpacu dengan waktu. Mereka hanya punya waktu 18 jam untuk mengumpulkan serta memilah 400 WNI yang masuk dalam skala prioritas kloter pertama.
Baca juga: World Water Forum adalah kemenangan diplomatik Indonesia
Baca juga: Lukisan mural "Together" peringati 75 tahun persahabatan Indonesia-Australia
Misi 18 jam itu juga termasuk harus mengurus izin pendaratan satu pesawat Garuda, yang sudah dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Kairo.
Pada saatnya, pesawat Garuda Boeing 747-400 berhasil terbang membawa pulang kloter pertama WNI yang dievakuasi ke Tanah Air.
Dalam 10 hari dan melalui enam kloter, ada 2.432 WNI yang berhasil diungsikan.
"Lega karena... mission impossible berhasil dilaksanakan," tulisnya.
Tak kalah heboh adalah cerita di belahan lain dunia, tepatnya dari KBRI di Warsawa, Polandia, yang ingin menangkap pencuri budaya Indonesia.
Kasus dugaan pencurian itu terungkap ketika Darmansjah Djumala bertugas sebagai duta besar Indonesia di negara itu. Sempat ada beberapa anggota pimpinan Kemlu RI yang terseret untuk turun tangan menangani kasus tersebut.
Yang ikut direpotkan adalah Menteri Luar Negeri --saat itu dijabat Marty Natalegawa, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik A.M. Fachir, serta Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Yuri Thamrin.
Pemerintah mana yang diincar oleh perwakilan RI di Polandia itu terkait pencurian budaya, bisa coba ditebak. Hint-nya: salah satu negara tetangga Indonesia.
Pengungkapan kasus itu sendiri berawal dari satu sosok yang sehari-hari mendukung tugas Darmansjah di KBRI Warsawa. Sosok itu tak lain adalah sekretarisnya sendiri. Namanya, Monika.