Istanbul (ANTARA) - Amnesti Internasional meminta pihak berwenang Prancis untuk menghormati hak-hak masyarakat adat Kanak, di tengah kerusuhan yang berlangsung di wilayah luar negeri Prancis, Kaledonia Baru.
“Keadaan darurat yang diumumkan pemerintah Prancis dan pengerahan tentara Prancis, ditambah dengan larangan terhadap aplikasi media sosial TikTok, tidak boleh disalahgunakan untuk membatasi hak asasi manusia,” kata peneliti Pasifik Amnesti Internasional, Kate Schuetze.
Schuetze, dengan memperhatikan banyaknya korban jiwa dalam kerusuhan tersebut, mengatakan polisi Prancis dan gendarmeri hanya dapat menggunakan kekuatan jika dalam keadaan sangat krusial, dan memprioritaskan perlindungan hak untuk hidup.
Dia mengatakan bahwa pelarangan TikTok adalah tindakan yang tidak setimpal, dan akan melanggar kebebasan berekspresi. Schuetze menambahkan langkah seperti itu dapat menjadi preseden bagi pemerintah lain di seluruh dunia untuk membenarkan penutupan akses media sosial sebagai reaksi terhadap protes publik.
“Pihak berwenang Prancis harus menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat Kanak dan hak untuk berekspresi dan berkumpul secara damai tanpa diskriminasi. Orang-orang yang menyerukan kemerdekaan harus dapat mengekspresikan pandangan mereka secara damai,” kata Schuetze.
Baca juga: Amnesti desak Hong Kong menyelidiki serangan berdarah ketua kelompok HAM
Baca juga: Jaksa Agung menunggu keputusan formal amnesti Baiq Nuril
Sejak Senin (13/5), sedikitnya enam orang tewas dalam kerusuhan dan ratusan ditangkap. Protes memuncak setelah Majelis Nasional Perancis mengesahkan reformasi konstitusi mengenai aturan pemungutan suara.
Reformasi ini akan memberi warga negara Perancis, yang telah tinggal di pulau tersebut setidaknya selama 10 tahun, hak untuk memilih dalam pemilihan umum lokal. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan keadaan darurat di kepulauan itu pada Rabu (15/5) dan mengerahkan personel militer ke wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu
“Keadaan darurat yang diumumkan pemerintah Prancis dan pengerahan tentara Prancis, ditambah dengan larangan terhadap aplikasi media sosial TikTok, tidak boleh disalahgunakan untuk membatasi hak asasi manusia,” kata peneliti Pasifik Amnesti Internasional, Kate Schuetze.
Schuetze, dengan memperhatikan banyaknya korban jiwa dalam kerusuhan tersebut, mengatakan polisi Prancis dan gendarmeri hanya dapat menggunakan kekuatan jika dalam keadaan sangat krusial, dan memprioritaskan perlindungan hak untuk hidup.
Dia mengatakan bahwa pelarangan TikTok adalah tindakan yang tidak setimpal, dan akan melanggar kebebasan berekspresi. Schuetze menambahkan langkah seperti itu dapat menjadi preseden bagi pemerintah lain di seluruh dunia untuk membenarkan penutupan akses media sosial sebagai reaksi terhadap protes publik.
“Pihak berwenang Prancis harus menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat Kanak dan hak untuk berekspresi dan berkumpul secara damai tanpa diskriminasi. Orang-orang yang menyerukan kemerdekaan harus dapat mengekspresikan pandangan mereka secara damai,” kata Schuetze.
Baca juga: Amnesti desak Hong Kong menyelidiki serangan berdarah ketua kelompok HAM
Baca juga: Jaksa Agung menunggu keputusan formal amnesti Baiq Nuril
Sejak Senin (13/5), sedikitnya enam orang tewas dalam kerusuhan dan ratusan ditangkap. Protes memuncak setelah Majelis Nasional Perancis mengesahkan reformasi konstitusi mengenai aturan pemungutan suara.
Reformasi ini akan memberi warga negara Perancis, yang telah tinggal di pulau tersebut setidaknya selama 10 tahun, hak untuk memilih dalam pemilihan umum lokal. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan keadaan darurat di kepulauan itu pada Rabu (15/5) dan mengerahkan personel militer ke wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu