Lombok Tengah (ANTARA) - Pemilu telah usai, hasil pemilu telah ditetapkan, Presiden dan Wakil Presiden terpilih telah ditetapkan. Perintah Putusan Mahkamah Konstitusi telah juga dilaksanakan, sebagian putusan bahkan sedang dalam proses pelaksanaan. Sebagaimana kita pahami, bahwa  proses pemilu adalah sarana konvensional dalam merotasi pergantian kekuasaan, sebab dalamm konteks tata kelola pemerintahan yang baik, belum ada jalan yang lebih beradab dibandingkan dengan jalan Pemilu. Dengan demikian Guna mewujudkan pemilu yang berkualitas, negara harus menjamin adanya standar keberlangsungan proses pemilihan secara bebas, rahasia, jujur dan adil didukung dengan ketersediaan perangkat atau lembaga penyelenggara yang imparsial, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga untuk menciptakan kondisi iklim demokrasi suatu negara yang baik maka harus semakin kuat pelaksanaan norma nilai permusyawaratannya (democratic values) sebagai dasar dari perilaku etika politiknya (ethical-political-behaviour ) penyelenggara negara. (Lihat  Yayang Nanda Budiman,https://antikorupsi.org/id/).

Sebagai bangsa yang terus menerus berjuang menuju negara demokratis, maka tidak pernah jenuh untuk selalu berupaya lebih baik dari masa ke masa. Tentu kita juga tidak mau dianggap sebagai bangsa terbelah  karena perbedaan spektrum terhadap memaknai dan melaksanakan demokrasi, barangkali persoalan persoalan yang timbul dari prosesi pemilu 2024 yang lalu karena adanya perbedaan cara pandang dalam pengelolaan demokrasi yang dianut, walaupun dalam kaidah norma pemilu sudah diikat dalam bingkai norma mendasar yaitu UUD 1945 dan UU 7 tahun 2017.

Nyaris tiap jengkal waktu kita dihadapkan pada pemberitaan riuhnya penilaian publik terhadap proses Pemilu, bahwa selama proses pemilu 2024 berlangsung sebagaimana kita telah alami dan lalui menyisakan keadaan hukum, demokrasi dan politik yang tidak sehat, dilatari kepentingan individu, kepentingan kelompok kepentingan keluarga lebih diutamakan dan mengabaikan kepentingan rakyat. Pagar pembatas potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam konstitusi tidak dihiraukan, dan norma dilanggar bahkan ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan. Menyaksikan kondisi politik hukum yang sedang terjadi, ini menandakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum. Lihat (Podcas Fery Amsari di Speak Up Abraham Samad).

Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi menyebutkan, ada lima hal yang direkomendasikan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, diantaranya adalah Kematian petugas pemilu yang masih cukup tinggi, netralitas aparatur negara yang banyak dipertanyakan, merebaknya konflik kekerasan pasca pemilu di beberapa wilayah dan netralitas aparat negara (lihat Nasional Kompas, 22 Maret 2024).

Jika kita perhatikan PKPU 3 tahun 2022 bahwa tahapan penyelenggaran Pemilu 2024 meliputi 11 tahapan, Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi: perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu; pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu; penetapan Peserta Pemilu; penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; masa Kampanye Pemilu; Masa Tenang; pemungutan dan penghitungan suara; penetapan hasil Pemilu; dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD.

Nyaris pada semua tahapan penyelenggaraan ini KPU mendapat menuai kritik dan protes. Sebut misalnya soal fasilitas mobil dan apartemen, private jet, kunker luar negeri, kritik terhadap mutu kegiata-kegiatan rapat koordinasi dan konsolidasi nasional yang mewah bahkan mengundang artis dan band nasional, seolah melampaui esensi dan efiesiensi, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Kritik tersebut menjadi memory collective terutama sekali pada para mantan penyelenggara, karena memang situasi tersebut  “asing” dalam pengalaman pengelolaan penyelenggaraan Pemilu dari waktu sebelumnya.

Berikutnya publik sangat mengkritisi pada proses verifikasi Peserta Pemilu dalam hal ini partai politik calon peserta Pemilu 2024. KPU diduga tidak melakukan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024 sesuai mekanisne peraturan perundang undangan, partai yang seharusnya memenuhi syarat (MS) menjadi tidak memenuhi syarat (TMS) begitu sebaliknya (lihat Rosiana Silalahi dalam program ROSI (11/7/2024).  Kondisi ini sungguh sangat miris dan prihatin dalam memori bersama (memory collective) para penyelenggara pemilu terutama yang berakhir di tahun 2023 dan 2024.

Lebih tidak tertata lagi soal mekanisme masa jabatan KPU daerah yang tidak serentak sehingga menjadi lucu, si yayak yang belajar si yayik  yang mengerjakan. Satu pekan menuju hari H, komisioner daerah berangkat ke Jakarta menghadiri bimbingan teknis tata cara pemungutan dan penghitungan suara sepulangnya ke daerah bukannya membimtek jajaran dibawahnya, malah cari kotak kardus tempat buku dan pakaian untuk pamit meninggalkan kantor. Sebagian mereka mengakhiri masa jabatan karena sudah 2 periode, sebagiannya lagi karena “dikandaskan” tim seleksi yang tidak memiliki kompetensi pengetahuan dan kepekaan dalam menghidupkan cita cita luhur demokrasi. Kondisi ini sangat tidak rasional, tidak produktif dan termasuk menjadi pemicu kericuhan dan keributan saat pleno rekapitulasi disemua tingkatan. Bisa dibayangkan ada pleno rekapikatulasi  hasil penghitungan suara tingkat daerah sangat gaduh, unprosedural dan bahkan seperti tanpa aturan. (Lihat, https://www.tvOnenews.com Kabar Petang tvOne 4/3/2024).

Catatan kelam yang lain adalah soal pencalonan Pemilu DPD, MK memutuskan untuk KPU menyelenggarakan PSU Pemilu DPD Sumatera Barat, uang negara harus “digerus” 350 milyar kembali untuk pembeayaannya. (Lihat, Darmawan di media AntaraNTB 22/7/2024). Belum lagi persoalan Pemilu di Gorontalo, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan KPU untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS di Dapil 6 Gorontalo untuk Pileg tingkat DPRD Provinsi Gorontalo imbas empat partai di dapil ini tidak memenuhi syarat kuota pencalonan perempuan sebesar 30 persen. (Lihat, CNN Indonesia 6/6/2024).

Berikut soalnya pencalonan Presiden dan Wakil Presiden publik mengingat bahwa bermula ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “the guardian of democracy” mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah memberikan karpet merah istimewa untuk anak presiden andil berkompetisi sebagai calon wakil presiden. Adanya tendensi konflik kepentingan dalam perkara tersebut diperkuat oleh putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang menjatuhkan sanksi etik dan mencopot Anwar Usman sebagai ketua MK saat itu.

Sementara itu, terhadap kasus tersebut, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga memberikan peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI dan Komisioner KPU RI sebab telah menerima pendaftaran pencalonan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran tanpa lebih dulu merevisi Peraturan KPU agar selaras dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Muara kelam terakhir dari rezim penyelenggara Pemilu 2024 adalah pemberhentian tetap Hasyim Asyari sebagai Ketua merangkap anggota KPU RI 2022-2027.

Perjalanan demokrasi suatu peradaban bangsa memang tidak pendek, butuh waktu yang cukup dan butuh suatu semangat yang sama dari seluruh lapisan anak negeri, untuk bersama sama merawat praktek demokrasi yang saat ini tengah mengalami suatu penyakit mematikan, penyakit itu bernama kroni dinasti merubah posisi organ tubuh tidak pada tempat dan fungsi sebenarnya. Dalam kondisi kritis demikian selalu berharap agar supaya tidak berakhir dengan kematian demokrasi. Wallahu a'lam.

*) Penulis adalah Ketua KPU Lombok Tengah 2020-2024


Pewarta : Lalu Darmawan*)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025