Jakarta (ANTARA) - Keluarga dari SA (27), korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang diduga disekap di Myanmar, mengajukan aduan masyarakat (dumas) ke Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri.
Perwakilan keluarga SA, Yohanna Apriliani, mengatakan, laporan dumas itu menindaklanjuti arahan dari Satgas TPPO Bareskrim.
“Kita sudah bercerita banyak tentang kasus SA kepada Satgas TPPO, lalu kita diarahkan lagi untuk mengajukan dumas sekaligus melampirkan berkas bukti-bukti lainnya,” kata Yohanna ketika ditemui di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin.
Ia menyebut, bukti-bukti yang dibawa antara lain adalah bukti percakapan korban SA dengan R, yakni sosok yang mengajak korban ke Myanmar, laporan keluarga korban ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan BP2MI, serta rekaman suara.
Yohanna yang merupakan sepupu dari SA bercerita bahwa pada mulanya korban ditawarkan pekerjaan di Thailand oleh R yang merupakan teman dekatnya. Ia menyebut, R menawari pekerjaan kepada korban ketika sudah berada di Thailand.
“R mengabarkan SA bahwa bosnya sedang mencari tenaga kerja dan R disuruh mencari 10 orang untuk satu tim,” kata dia.
Lantaran R merupakan teman dekat SA, korban pun tidak menaruh rasa curiga dan berangkat ke Thailand pada tanggal 11 Juli 2024. Selama empat hari di negara orang tersebut, ia mengatakan bahwa komunikasi SA dengan keluarga masih berjalan baik.
Lalu, R memberangkatkan SA terlebih dahulu dengan tujuan Mae Sot, Thailand dan berpisah di suatu terminal lantaran R masih harus mencari anggota tim baru lainnya. Akan tetapi, SA ternyata dibawa ke Myanmar dan ke lokasi kerja yang tidak sesuai ekspektasi.
“SA bilang perusahaan yang dituju itu jorok, kotor, kumuh, dan tidak seperti kantor-kantor sama sekali. Kata dia, lebih seperti rumah susun,” ucap Yohanna.
Kemudian, SA kehilangan kontak dengan R. Selama tinggal di Myanmar, SA disekap dan dimintai tebusan sebesar 30 ribu dolar AS atau sekitar Rp478 juta.
“Selama uang itu belum masuk, SA menelepon ke kita bahwa dia selalu disiksa sama orang sana. Tidak dikasih makan. Minum pun harus menunggu air hujan,” ujarnya.
Lantaran keluarga tidak bisa membayar, lanjut dia, pelaku memaksa meminta 30 persen bagian dari jumlah yang semula diajukan. Apabila tidak bisa dipenuhi dalam waktu empat hari, pelaku mengancam akan mengamputasi kaki SA.
Karena ketiadaan biaya, pihak keluarga pun meminta bantuan kepada pemerintah dan kepolisian untuk membantu membebaskan SA.
“Harapannya pastinya ingin ada pergerakan dari kepolisian Indonesia untuk kebebasan ataupun kepulangan SA karena kalau dari keluarga untuk bayar uang tebusan sebesar ratusan juta, kami benar-benar tidak mampu,” ucapnya.
Baca juga: Kementerian PPPA memantau pendampingan anak korban pemerkosaan dan TPPO
Baca juga: Polda NTB memperjuangkan dana restitusi korban dari 29 perkara TPPO
Adapun laporan dumas dari pihak keluarga SA telah diterima oleh Dittipidum Bareskrim Polri tertanggal 12 Agustus 2024. Sementara itu, Kemlu RI menyatakan bahwa telah berkoordinasi dengan otoritas Myanmar terkait dugaan penyekapan SA.
"Masih koordinasi dengan otoritas Myanmar, wilayahnya daerah konflik sehingga prosesnya kompleks," kata Diplomat Muda Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Rina Komaria.
Perwakilan keluarga SA, Yohanna Apriliani, mengatakan, laporan dumas itu menindaklanjuti arahan dari Satgas TPPO Bareskrim.
“Kita sudah bercerita banyak tentang kasus SA kepada Satgas TPPO, lalu kita diarahkan lagi untuk mengajukan dumas sekaligus melampirkan berkas bukti-bukti lainnya,” kata Yohanna ketika ditemui di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin.
Ia menyebut, bukti-bukti yang dibawa antara lain adalah bukti percakapan korban SA dengan R, yakni sosok yang mengajak korban ke Myanmar, laporan keluarga korban ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan BP2MI, serta rekaman suara.
Yohanna yang merupakan sepupu dari SA bercerita bahwa pada mulanya korban ditawarkan pekerjaan di Thailand oleh R yang merupakan teman dekatnya. Ia menyebut, R menawari pekerjaan kepada korban ketika sudah berada di Thailand.
“R mengabarkan SA bahwa bosnya sedang mencari tenaga kerja dan R disuruh mencari 10 orang untuk satu tim,” kata dia.
Lantaran R merupakan teman dekat SA, korban pun tidak menaruh rasa curiga dan berangkat ke Thailand pada tanggal 11 Juli 2024. Selama empat hari di negara orang tersebut, ia mengatakan bahwa komunikasi SA dengan keluarga masih berjalan baik.
Lalu, R memberangkatkan SA terlebih dahulu dengan tujuan Mae Sot, Thailand dan berpisah di suatu terminal lantaran R masih harus mencari anggota tim baru lainnya. Akan tetapi, SA ternyata dibawa ke Myanmar dan ke lokasi kerja yang tidak sesuai ekspektasi.
“SA bilang perusahaan yang dituju itu jorok, kotor, kumuh, dan tidak seperti kantor-kantor sama sekali. Kata dia, lebih seperti rumah susun,” ucap Yohanna.
Kemudian, SA kehilangan kontak dengan R. Selama tinggal di Myanmar, SA disekap dan dimintai tebusan sebesar 30 ribu dolar AS atau sekitar Rp478 juta.
“Selama uang itu belum masuk, SA menelepon ke kita bahwa dia selalu disiksa sama orang sana. Tidak dikasih makan. Minum pun harus menunggu air hujan,” ujarnya.
Lantaran keluarga tidak bisa membayar, lanjut dia, pelaku memaksa meminta 30 persen bagian dari jumlah yang semula diajukan. Apabila tidak bisa dipenuhi dalam waktu empat hari, pelaku mengancam akan mengamputasi kaki SA.
Karena ketiadaan biaya, pihak keluarga pun meminta bantuan kepada pemerintah dan kepolisian untuk membantu membebaskan SA.
“Harapannya pastinya ingin ada pergerakan dari kepolisian Indonesia untuk kebebasan ataupun kepulangan SA karena kalau dari keluarga untuk bayar uang tebusan sebesar ratusan juta, kami benar-benar tidak mampu,” ucapnya.
Baca juga: Kementerian PPPA memantau pendampingan anak korban pemerkosaan dan TPPO
Baca juga: Polda NTB memperjuangkan dana restitusi korban dari 29 perkara TPPO
Adapun laporan dumas dari pihak keluarga SA telah diterima oleh Dittipidum Bareskrim Polri tertanggal 12 Agustus 2024. Sementara itu, Kemlu RI menyatakan bahwa telah berkoordinasi dengan otoritas Myanmar terkait dugaan penyekapan SA.
"Masih koordinasi dengan otoritas Myanmar, wilayahnya daerah konflik sehingga prosesnya kompleks," kata Diplomat Muda Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Rina Komaria.