Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono memandang perlunya kebijakan dari pemerintah agar harga minyak sawit bisa lebih kompetitif di pasar ekspor.
Sebagai negara tujuan utama ekspor, dia mencontohkan China yang mengurangi impor minyak sawit dari Indonesia mengingat harganya lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya.
"Minyak sawit ini harganya lebih mahal dibandingkan minyak bunga matahari, sehingga mereka (China) melakukan pembelian banyak, sehingga ada pengurangan impor (minyak sawit) mereka," kata Eddy di Belitung Timur, Babel, Rabu, menanggapi tren penurunan ekspor minyak sawit.
Eddy mengatakan kebijakan dari pemerintah yang diperlukan bagi industri misalnya dengan memainkan instrumen fiskal. Misalnya, jelas dia, harga minyak sawit dapat diturunkan sementara pada saat harga minyak sawit tidak kompetitif. Setelah kompetitif kembali, harga minyak sawit dapat dinaikkan kembali.
Meskipun pangsa pasar global untuk minyak sawit mendominasi di antara minyak nabati lainnya, Eddy mengingatkan bahwa pangsa pasar minyak sawit hanya 33 persen. Dengan kata lain, masih ada pangsa pasar sebesar 67 persen untuk minyak nabati lainnya termasuk minyak bunga matahari.
Sementara agar bisa mempengaruhi harga internasional minyak sawit, imbuh dia, dibutuhkan peningkatan pangsa pasar lebih dari 50 persen di antara minyak nabati lainnya.
"Apabila pangsa pasar minyak sawit itu bisa lebih dari 50 persen, baru kita bisa mengendalikan harga. Mengendalikan ya, maksudnya bahwa kita bisa memainkan harganya (bukan menetapkan harga)," kata dia.
Meskipun menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, Eddy mengatakan bahwa Indonesia juga tidak bisa menetapkan harga secara internasional. Penentuan harga minyak sawit internasional, jelas dia, merupakan pertemuan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand).
"Termasuk, walaupun Malaysia (produsen minyak sawit terbesar kedua dunia) itu punya bursa, dia juga tidak bisa mengendalikan harga. Malaysia itu juga sama sebenarnya (dengan Indonesia). Itu (harga minyak sawit internasional) adalah pertemuan antara supply dan demand sehingga terbentuk harga di situ," kata Eddy.
Baca juga: Ombudsman RI terima 239 laporan terkait isu kelapa sawit
Baca juga: Kementerian ATR melakukan inventarisasi sertifikat lahan 537 perusahaan Sawit
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya per Juli 2024 mencapai 1,62 juta ton. Jumlah tersebut turun tajam secara tahunan (yoy) dibandingkan Juli 2023 yang mencapai 2,75 juta ton.
Nilai ekspor CPO dan turunannya per Juli 2024 juga turun, yakni sebesar 39,22 persen (yoy) dari 2,28 miliar dolar AS menjadi 1,39 miliar dolar AS. Adapun secara bulanan (mtm), nilai ekspor CPO dan turunannya per Juli 2024 turun sebesar 36,37 persen dari sebelumnya 2,18 miliar dolar AS pada Juni 2024.