Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan lima orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Rorotan, Jakarta Utara, oleh Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya tahun 2019–2020.
"Setelah adanya kecukupan bukti permulaan pada proses penyidikan, KPK menetapkan dan mengumumkan lima orang sebagai tersangka, yaitu YCP, ISA, DNS, SIR, dan EKW," kata Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.
KPK selanjutnya melakukan penahanan para tersangka selama 20 hari, terhitung sejak tanggal 18 September sampai 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, para tersanga tersebut adalah Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) Yoory Corneles Pinontoan, Komisaris PT Totalindo Eka Persada (TEP) Saut Irianto Rajagukguk, Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan PPSJ Indra S. Arharrys, Direktur Utama PT TEP Donald Sihombing, dan Direktur Keuangan PT TEP Eko Wardoyo.
Asep menerangkan kasus tersebut berawal pada sekitar Februari 2019, kala itu PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan, Jakarta Utara, dengan luas sekitar 11,7 hektare seharga Rp950 ribu/meter persegi.
Pembelian awalnya akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai total Rp117 miliar.
Kemudian pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat ke PPSJ tentang kerja sama pengelolaan lahan seluas 11,7 hektare yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Jakarta Utara, dengan harga penawaran Rp3,2 juta/meter persegi menggunakan skema kerja sama operasional (KSO) pengelolaan tanah.
Selanjutnya tanggal 1 Maret 2019, dilakukan rapat negosiasi harga antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah tersebut yang dihadiri oleh YCP dan DNS. Keduanya menyepakati besaran harga tanah adalah Rp3 juta/meter persegi.
Saat itu PPSJ belum menunjuk KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran kerja sama operasional dari PT TEP.
Baca juga: KPK cegah satu WNA tinggalkan Indonesia terkait korupsi
Baca juga: KPK sita uang tunai dan barang bukti elektronik usai geledah rumah dinas Mendes
YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan tersebut sebetulnya di bawah Rp2 juta/meter persegi. Informasi harga wajar itu berdasarkan analisis internal dan informasi dari KJPP dan telah disampaikan kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut.
YCP bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk oleh penjual (PT TEP).
Kemudian pada 6 Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan perjanjian pendahuluan tentang perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP.
Pada awal Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total sebesar Rp30 miliar atas Perjanjian KSO ini. Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ.
Namun, YCP kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ.
Selanjutnya pada akhir Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan enam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas enam bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP.
Kemudian pada 22 Februari 2021, PPSJ melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan kepada PT TEP dan total pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 hektare (11,7 hektare luas awal ditambah 0,6 hektare penambahan luas pasca pengukuran ulang) adalah Rp370 miliar.
YCP menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan adalah tanah rawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
Selain itu, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI No. 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rumah Susun Sederhana.
Penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah di Rorotan yang dilakukan YCP lantaran diduga dipengaruhi oleh penerimaan fasilitas dari PT TEP.
YCP diduga menerima uang sebesar Rp3 miliar dari PT TEP dan diduga mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.
Pembelian aset YCP berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi EKW selaku Direktur Keuangan PT TEP dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.
Atas rangkaian peristiwa di atas penyidik KPK memperkirakan terdapat kerugian negara sekitar Rp223 miliar.
Atas perbuatannya kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sedangkan mantan Direktur Utama (Dirut) Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan saat ini tengah menjalani penahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Yoory didakwa melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara senilai Rp256 miliar terkait perkara korupsi pengadaan lahan di Cakung, Jakarta Timur.
Dalam surat dakwaan tersebut, Yoory didakwa melakukan korupsi bersama pemilik PT Adonara Propertindo Rudy Hartono dan Direktur Operasional Tommy Adrian.
Jaksa mendakwa Yoory menerima keuntungan Rp31,8 miliar, sementara Rudy mendapatkan keuntungan sebesar Rp224 miliar.
"Setelah adanya kecukupan bukti permulaan pada proses penyidikan, KPK menetapkan dan mengumumkan lima orang sebagai tersangka, yaitu YCP, ISA, DNS, SIR, dan EKW," kata Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.
KPK selanjutnya melakukan penahanan para tersangka selama 20 hari, terhitung sejak tanggal 18 September sampai 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, para tersanga tersebut adalah Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) Yoory Corneles Pinontoan, Komisaris PT Totalindo Eka Persada (TEP) Saut Irianto Rajagukguk, Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan PPSJ Indra S. Arharrys, Direktur Utama PT TEP Donald Sihombing, dan Direktur Keuangan PT TEP Eko Wardoyo.
Asep menerangkan kasus tersebut berawal pada sekitar Februari 2019, kala itu PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan, Jakarta Utara, dengan luas sekitar 11,7 hektare seharga Rp950 ribu/meter persegi.
Pembelian awalnya akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai total Rp117 miliar.
Kemudian pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat ke PPSJ tentang kerja sama pengelolaan lahan seluas 11,7 hektare yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Jakarta Utara, dengan harga penawaran Rp3,2 juta/meter persegi menggunakan skema kerja sama operasional (KSO) pengelolaan tanah.
Selanjutnya tanggal 1 Maret 2019, dilakukan rapat negosiasi harga antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah tersebut yang dihadiri oleh YCP dan DNS. Keduanya menyepakati besaran harga tanah adalah Rp3 juta/meter persegi.
Saat itu PPSJ belum menunjuk KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran kerja sama operasional dari PT TEP.
Baca juga: KPK cegah satu WNA tinggalkan Indonesia terkait korupsi
Baca juga: KPK sita uang tunai dan barang bukti elektronik usai geledah rumah dinas Mendes
YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan tersebut sebetulnya di bawah Rp2 juta/meter persegi. Informasi harga wajar itu berdasarkan analisis internal dan informasi dari KJPP dan telah disampaikan kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut.
YCP bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk oleh penjual (PT TEP).
Kemudian pada 6 Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan perjanjian pendahuluan tentang perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP.
Pada awal Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total sebesar Rp30 miliar atas Perjanjian KSO ini. Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ.
Namun, YCP kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ.
Selanjutnya pada akhir Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan enam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas enam bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP.
Kemudian pada 22 Februari 2021, PPSJ melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan kepada PT TEP dan total pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 hektare (11,7 hektare luas awal ditambah 0,6 hektare penambahan luas pasca pengukuran ulang) adalah Rp370 miliar.
YCP menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan adalah tanah rawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
Selain itu, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI No. 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rumah Susun Sederhana.
Penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah di Rorotan yang dilakukan YCP lantaran diduga dipengaruhi oleh penerimaan fasilitas dari PT TEP.
YCP diduga menerima uang sebesar Rp3 miliar dari PT TEP dan diduga mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.
Pembelian aset YCP berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi EKW selaku Direktur Keuangan PT TEP dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.
Atas rangkaian peristiwa di atas penyidik KPK memperkirakan terdapat kerugian negara sekitar Rp223 miliar.
Atas perbuatannya kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sedangkan mantan Direktur Utama (Dirut) Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan saat ini tengah menjalani penahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Yoory didakwa melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara senilai Rp256 miliar terkait perkara korupsi pengadaan lahan di Cakung, Jakarta Timur.
Dalam surat dakwaan tersebut, Yoory didakwa melakukan korupsi bersama pemilik PT Adonara Propertindo Rudy Hartono dan Direktur Operasional Tommy Adrian.
Jaksa mendakwa Yoory menerima keuntungan Rp31,8 miliar, sementara Rudy mendapatkan keuntungan sebesar Rp224 miliar.