Mataram (Antaranews NTB) - Berbekalkan pesan mendiang ayahnya, Abubakar Abdullah, beritikad untuk mengembangkan sebidang tanah warisan yang semula hanya dihuni tetumbuhan liar dan bebatuan karang, disulap menjadi resort yang secara tidak langsung telah menambah pendapatan sampingan para pemuda yang sesekali melaut mencari ikan.
Daerah itu bernama Gili (pulau) Gede, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, memang namanya kurang populer dibandingkan nama Gili Trawangan yang kesohor di manca negara. Padahal keindahan Gili Gede bisa dikatakan lebih unggul dengan pantai putih yang bersih, beningnya air laut, terumbu karang yang masih terjaga hingga membuat betah siapapun untuk berlama-lama di pulau itu.
Untuk menghidupkan dunia pariwisata di Gili Gede, bagi Abubakar Abdullah yang juga pernah berprofesi sebagai nelayan itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kendala yang harus dihadapi.
"Saya ingat omongan almarhum bapak saya saat mengajak berkunjung ke rekannya di Gili Trawangan. Ketika itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Omongan ayah itu, mudah-mudahan kamu bisa kembangkan Gili Gede," kata sarjana ekonomi dari Universitas Mataram itu.
Almarhum ayahnya itu melihat upaya warga Gili Trawangan yang tengah membangun dunia pariwisatanya. Saat itu atau di era 1990-an Gili Trawangan belum sepopuler saat ini, namun warganya sudah mulai membangun penginapan dari bambu sampai "bruga" (pendopo kecil) di pantai.
Potensi Gili Gede itu tidak kalah juga dengan Gili Trawangan, hingga ayahnya seringkali mengingatkan bocah kecilnya itu untuk mengembangkan Gili Gede. "Saya selalu ingat omongan ayah saya itu," katanya.
Setelah ayahnya wafat yang mengalami kecelakaan laut, dirinya bersama 11 kakak adiknya, mendapatkan warisan tanah 1 hektar di pantai yang menghadap ke Pulau Lombok. "Saya masih kelas 2 SMP waktu bapak meninggal," katanya.
Cobaan berikutnya, ada pihak yang menggugat atas kepemilikkan lahan itu, sampai berujung ke pengadilan. Membutuhkan waktu 15 tahun untuk mengikuti gugatan itu hingga akhirnya keluarganya dinyatakan berhak sebagai pemilik melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). "Tanah ini baru selesai saat dirinya sudah selesai bergelar sarjana," katanya.
Sebenarnya sejak lama kakak dan adiknya meminta untuk menjual tanah itu saja mengingat banyaknya persoalan status kepemilikkan. Bahkan ada juga yang pasrah saja diserahkan kepada si penggugat.
Dorongan untuk dijual muncul kembali di lingkungan keluarganya, namun pria kelahiran 1979 itu bersikukuh untuk tidak menjual hingga dirinya berinisiatif membeli tanah itu dengan cara mencicil kepada kakak dan adiknya. "Dari pada diambil oleh investor asing untuk dikelola menjadi resort, lebih baik ia membelinya secara nekat dengan bermodalkan dengkul," katanya.
Saat ini, Gili Gede memiliki 12 resort yang satu diantaranya milik Abubakar Abdullah. Resort yang dimilikinya dinamakan Thamarind Resort. Pegawai yang dipekerjakan, adalah para pemuda yang tinggal di Gili Gede.
Para pemuda Gili Gede itu diberikan pandangan bahwa tempat tinggalnya yang diseberangi dari Pulau Lombok memakan waktu sekitar lima menit itu, memiliki potensi besar dan tidak kalah dengan Gili Trawangan. "Banyak potensi dari snorkling, diving, memancing dan sejumlah kegiatan lainnya yang bisa dikuasai oleh pemuda Gili Gede," katanya.
Saya membuka mata para warga bagaimana mengembangkan wisata Gili Gede. Kalau biasanya memancing dapat ikan, sekarang memancing dapat uang hingga bisa mendapatkan uang sampingan untuk sehari-hari, papar Abubakar yang merupakan putra Gili Gede yang satu-satunya bergelar sarjana.
Mantan Presiden Mahasiswa BEM Fakultas Ekonomi Universitas Mataram tahun 1998 itu, mengajarkan pula para pemuda untuk mengenalkan dunia media sosial untuk memasarkan Thamarind Resort untuk menjaring wisatawan mancanegara maupun nusantara. "Hasilnya meski mempromosikan secara swadaya, kunjungan wisatawan perlahan-lahan mulai meningkat," katanya.
Dirinya memulai perjuangan membangun Thamarind Resort itu, pada 2013 sampai sekarang. Saat ini resort yang dikelolanya memiliki 17 kamar yang setiap tahunnya pada bulan Juni, Juli sampai Agustus merupakan puncak dari kedatangan wisatawan. "Paling sering wisatawan dari Jerman," katanya.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari pemuda Gili Gede, dia menyekolahkan dua pemuda untuk bersekolah di sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang pariwisata. Diharapkan nantinya mereka bisa mengelola pariwisata Gili Gede.
Dirinya juga menjadikan 11 investor asing yang memiliki resort di Gili Gede bukan menjadi pesaing namun dijadikan sebagai partner untuk bekerja sama. "Saya tidak anti asing, tapi saya ingin belajar dari mereka untuk mengelola resort ini," katanya.
Mereka (investor asing) benar-benar bisa mengelolanya, kenapa tidak kita belajar dari mereka. Dan kita terapkan bersama-sama dengan para pemuda di sini, paparnya.
Bahkan resort yang dikelolanya itu juga sering menerima para siswa SMK yang praktik kerja atau sekadar kunjungan studi wisata. "Saya menanamkan jangan selalu berpikiran negatif terhadap dunia pariwisata, ini kita punya Gili Gede kenapa tidak kita kembangkan bersama-sama sebaga putra daerah," katanya.
Di sisi lain, ia berharap adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk memperhatikan pariwisata Gili Gede yang sampai sekarang masih kurang promosinya dibandingkan dengan Gili Trawangan di Kabupaten Lombok Utara. "Terlebih lagi pasca gempa diperlukan promosi. Saat ini jumlah pengunjung turun drastis," katanya.
Ia juga meminta infrastruktur di Gili Gede untuk turut diperhatikan seperti pembangunan jalan untuk mengelilingi pulau itu. "Kalau sudah didukung dengan promosi dan infrastuktur yang memadai, semakin mudah mempromosikan Gili Gede," katanya.
Sekadar informasi, Gili Gede memiliki luas sekitar 450 hektar dengan panjang sekitar 4 kilometer dan lebar sekitar 500 meter dengan empat puncak bukit.
Kecamatan Sekotong memiliki 12 gili, yakni, Gili Gede, Gili Penyu, Gili Lontar, Gili Poh, Gili Rengit, Gili Layar, Gili Asahan, Gili Goleng, Gili Nanggu, Gili Tangkong, Gili Suda, dan Gili Kedis.
Dari ke-12 pulau itu, yang berpenduduk yakni Gili Gede dan Gili Asahan. Pengunjung akan dimanjakan oleh pemandangan nan eksotik seperti pantai putih, laut seperti aquarium alami karena saking beningnya air. Kalau ingin menginap tersedia penginapan di Gili Gede dengan bangunan alami yang menghadap laut.
Pengunjung bisa menyelam, snorkling, main kano mengelilingi Gili Gede, mendaki bukit, atau melihat sunrise dan sunset di pantai sampai surfing. Khususnya diving, snorkling dan surfing jangan khawatir tersedia pula instrukturnya.
Untuk mencapai Gili Gede, pengunjungi bisa menyeberangi dari dermaga Sekotong dengan tarif antara Rp15 ribu sampai Rp25 ribu perorang selama 5 menit. Untuk biaya penginapan dari Rp250 ribu perkamar sampai Rp1 juta perkamar. Biaya mengelilingi enam pulau sembari melakukan snorkling bisa menyewa perahu antara Rp3 juta jika lima orang sampai 6 orang pengunjung.
Transportasi dari pusat pemerintahan Provinsi NTB, Mataram tidaklah sulit, jika menggunakan kendaraan pribadi memakan waktu sekitar dua jam dengan menyusuri pantai indah di kawasan Lombok Barat.
Daerah itu bernama Gili (pulau) Gede, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, memang namanya kurang populer dibandingkan nama Gili Trawangan yang kesohor di manca negara. Padahal keindahan Gili Gede bisa dikatakan lebih unggul dengan pantai putih yang bersih, beningnya air laut, terumbu karang yang masih terjaga hingga membuat betah siapapun untuk berlama-lama di pulau itu.
Untuk menghidupkan dunia pariwisata di Gili Gede, bagi Abubakar Abdullah yang juga pernah berprofesi sebagai nelayan itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kendala yang harus dihadapi.
"Saya ingat omongan almarhum bapak saya saat mengajak berkunjung ke rekannya di Gili Trawangan. Ketika itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Omongan ayah itu, mudah-mudahan kamu bisa kembangkan Gili Gede," kata sarjana ekonomi dari Universitas Mataram itu.
Almarhum ayahnya itu melihat upaya warga Gili Trawangan yang tengah membangun dunia pariwisatanya. Saat itu atau di era 1990-an Gili Trawangan belum sepopuler saat ini, namun warganya sudah mulai membangun penginapan dari bambu sampai "bruga" (pendopo kecil) di pantai.
Potensi Gili Gede itu tidak kalah juga dengan Gili Trawangan, hingga ayahnya seringkali mengingatkan bocah kecilnya itu untuk mengembangkan Gili Gede. "Saya selalu ingat omongan ayah saya itu," katanya.
Setelah ayahnya wafat yang mengalami kecelakaan laut, dirinya bersama 11 kakak adiknya, mendapatkan warisan tanah 1 hektar di pantai yang menghadap ke Pulau Lombok. "Saya masih kelas 2 SMP waktu bapak meninggal," katanya.
Cobaan berikutnya, ada pihak yang menggugat atas kepemilikkan lahan itu, sampai berujung ke pengadilan. Membutuhkan waktu 15 tahun untuk mengikuti gugatan itu hingga akhirnya keluarganya dinyatakan berhak sebagai pemilik melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). "Tanah ini baru selesai saat dirinya sudah selesai bergelar sarjana," katanya.
Sebenarnya sejak lama kakak dan adiknya meminta untuk menjual tanah itu saja mengingat banyaknya persoalan status kepemilikkan. Bahkan ada juga yang pasrah saja diserahkan kepada si penggugat.
Dorongan untuk dijual muncul kembali di lingkungan keluarganya, namun pria kelahiran 1979 itu bersikukuh untuk tidak menjual hingga dirinya berinisiatif membeli tanah itu dengan cara mencicil kepada kakak dan adiknya. "Dari pada diambil oleh investor asing untuk dikelola menjadi resort, lebih baik ia membelinya secara nekat dengan bermodalkan dengkul," katanya.
Saat ini, Gili Gede memiliki 12 resort yang satu diantaranya milik Abubakar Abdullah. Resort yang dimilikinya dinamakan Thamarind Resort. Pegawai yang dipekerjakan, adalah para pemuda yang tinggal di Gili Gede.
Para pemuda Gili Gede itu diberikan pandangan bahwa tempat tinggalnya yang diseberangi dari Pulau Lombok memakan waktu sekitar lima menit itu, memiliki potensi besar dan tidak kalah dengan Gili Trawangan. "Banyak potensi dari snorkling, diving, memancing dan sejumlah kegiatan lainnya yang bisa dikuasai oleh pemuda Gili Gede," katanya.
Saya membuka mata para warga bagaimana mengembangkan wisata Gili Gede. Kalau biasanya memancing dapat ikan, sekarang memancing dapat uang hingga bisa mendapatkan uang sampingan untuk sehari-hari, papar Abubakar yang merupakan putra Gili Gede yang satu-satunya bergelar sarjana.
Mantan Presiden Mahasiswa BEM Fakultas Ekonomi Universitas Mataram tahun 1998 itu, mengajarkan pula para pemuda untuk mengenalkan dunia media sosial untuk memasarkan Thamarind Resort untuk menjaring wisatawan mancanegara maupun nusantara. "Hasilnya meski mempromosikan secara swadaya, kunjungan wisatawan perlahan-lahan mulai meningkat," katanya.
Dirinya memulai perjuangan membangun Thamarind Resort itu, pada 2013 sampai sekarang. Saat ini resort yang dikelolanya memiliki 17 kamar yang setiap tahunnya pada bulan Juni, Juli sampai Agustus merupakan puncak dari kedatangan wisatawan. "Paling sering wisatawan dari Jerman," katanya.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari pemuda Gili Gede, dia menyekolahkan dua pemuda untuk bersekolah di sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang pariwisata. Diharapkan nantinya mereka bisa mengelola pariwisata Gili Gede.
Dirinya juga menjadikan 11 investor asing yang memiliki resort di Gili Gede bukan menjadi pesaing namun dijadikan sebagai partner untuk bekerja sama. "Saya tidak anti asing, tapi saya ingin belajar dari mereka untuk mengelola resort ini," katanya.
Mereka (investor asing) benar-benar bisa mengelolanya, kenapa tidak kita belajar dari mereka. Dan kita terapkan bersama-sama dengan para pemuda di sini, paparnya.
Bahkan resort yang dikelolanya itu juga sering menerima para siswa SMK yang praktik kerja atau sekadar kunjungan studi wisata. "Saya menanamkan jangan selalu berpikiran negatif terhadap dunia pariwisata, ini kita punya Gili Gede kenapa tidak kita kembangkan bersama-sama sebaga putra daerah," katanya.
Di sisi lain, ia berharap adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk memperhatikan pariwisata Gili Gede yang sampai sekarang masih kurang promosinya dibandingkan dengan Gili Trawangan di Kabupaten Lombok Utara. "Terlebih lagi pasca gempa diperlukan promosi. Saat ini jumlah pengunjung turun drastis," katanya.
Ia juga meminta infrastruktur di Gili Gede untuk turut diperhatikan seperti pembangunan jalan untuk mengelilingi pulau itu. "Kalau sudah didukung dengan promosi dan infrastuktur yang memadai, semakin mudah mempromosikan Gili Gede," katanya.
Sekadar informasi, Gili Gede memiliki luas sekitar 450 hektar dengan panjang sekitar 4 kilometer dan lebar sekitar 500 meter dengan empat puncak bukit.
Kecamatan Sekotong memiliki 12 gili, yakni, Gili Gede, Gili Penyu, Gili Lontar, Gili Poh, Gili Rengit, Gili Layar, Gili Asahan, Gili Goleng, Gili Nanggu, Gili Tangkong, Gili Suda, dan Gili Kedis.
Dari ke-12 pulau itu, yang berpenduduk yakni Gili Gede dan Gili Asahan. Pengunjung akan dimanjakan oleh pemandangan nan eksotik seperti pantai putih, laut seperti aquarium alami karena saking beningnya air. Kalau ingin menginap tersedia penginapan di Gili Gede dengan bangunan alami yang menghadap laut.
Pengunjung bisa menyelam, snorkling, main kano mengelilingi Gili Gede, mendaki bukit, atau melihat sunrise dan sunset di pantai sampai surfing. Khususnya diving, snorkling dan surfing jangan khawatir tersedia pula instrukturnya.
Untuk mencapai Gili Gede, pengunjungi bisa menyeberangi dari dermaga Sekotong dengan tarif antara Rp15 ribu sampai Rp25 ribu perorang selama 5 menit. Untuk biaya penginapan dari Rp250 ribu perkamar sampai Rp1 juta perkamar. Biaya mengelilingi enam pulau sembari melakukan snorkling bisa menyewa perahu antara Rp3 juta jika lima orang sampai 6 orang pengunjung.
Transportasi dari pusat pemerintahan Provinsi NTB, Mataram tidaklah sulit, jika menggunakan kendaraan pribadi memakan waktu sekitar dua jam dengan menyusuri pantai indah di kawasan Lombok Barat.